Kedaulatan
UMKM sebagai Kekuatan Local Branding
Irwansyah ; Perekayasa
Social Branding, Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
31 Desember 2016
BRANDING
merupakan proses membangun janji, pengalaman, dan relasi dalam pemikiran
konsumen (Murphy, 1998). Kebanyakan orang menganggap bahwa dengan membuat
nama dan logo, proses branding, telah dilakukan. Padahal, tantangan branding
ialah membangun seperangkat makna pada brand sehingga dapat membangun
kesadaran nyata. Branding juga proses transformasi dari aset fungsional
menjadi aset relasi sehingga kontribusi logika emosional membuat konsumen
tidak hanya merasakan manfaat fungsional, tetapi juga relasi yang
berkelanjutan.
Dengan
memahami branding dan prosesnya, 2017 hendaknya menjadi tahun untuk mendorong
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) membuat fondasi awal membangun brand
lokal karena branding bukan akhir dari tujuan, melainkan proses awal yang
panjang. Apalagi sejarah telah mengukir ketangguhan UMKM dalam krisis ekonomi
1998. Setidaknya Mudrajad Kuncoro (2008) mencatat adanya empat kekuatan,
yaitu (1) tidak memiliki utang luar negeri; (2) tidak banyak berutang ke
perbankan; (3) menggunakan bahan lokal, dan (4) berorientasi ekspor. Bahkan
kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto mencapai 57% dan 97% dalam
penyerapan tenaga kerja (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dan Bank
Indonesia, 2015).
Kesuksesan
UMKM dari brand lokal menjadi global brand diperlihatkan Frisian Flag. UMKM
pemerah susu Belanda bergabung membentuk koperasi dan menjadikan usaha mereka
mendunia. Bahkan dalam dunia perbankan, Rabo Bank merupakan keberhasilan
koperasi dan UMKM dalam skala internasional. Apalagi usaha waralaba seperti
McDonald's (bukan McDonalization), KFC, Pizza Hut, termasuk juga Ace Hardware
dan Alibaba.com memperlihatkan kemampuannya untuk menembus pasar global
dengan brand lokal. Belum lagi nama-nama yang selama ini dianggap pemain
global brand yang semua fondasinya berasal dari local brand.
Membangun kedaulatan
melalui made In(donesia)
Keberhasilan
UMKM di berbagai negara sebaiknya menjadi contoh pentingnya membangun
lokalitas. Studi terbaru (Dobson, 2016) di Selandia Baru menunjukkan
kecintaan masyarakatnya sebesar 52% memilih brand lokal. Bahkan, pada produk
seperti sayuran, daging, susu, makanan laut, dan yoghurt mencapai angka
59%-71% untuk produk lokal pilihan masyarakatnya. Pilihan memilih produk
brand lokal ditandai dengan harga dan nilai yang lebih baik, pengalaman, dan
rasa lokal.
Oleh
karena itu, sukses brand lokal dari UMKM dapat dibangun dari produk lokal
yang berdaulat dimulai dari bahan lokal, kecintaan dan pengalaman nasionalis,
dan manfaat serta rasa yang kuat dengan kekhasan lokal. Setidaknya ada tiga
yang dapat dilakukan. Pertama, dengan mengurangi ketergantungan impor terhadap
bahan baku dalam produksi lokal. Penyediaan bahan baku lokal tidak hanya
memperkuat ketahanan tetapi juga kedaulatan berproduksi.
Kedua,
meretas dan mempersingkat rantai distribusi dengan menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi. Kehadiran media baru dan mudahnya
mengimplementasikan teknologi baru telah diyakini menjadikan produsen juga
sekaligus konsumen dan terjadinya perdagangan antara konsumen dan konsumen.
Ketiga, keberadaan teknologi informasi dan komunikasi juga dapat menjadi alat
dan sarana dalam menembus pasar global.
Teknologi
informasi dan komunikasi juga telah membuka mata dan pikiran Jack Ma (pendiri
Alibaba.com) bahwa dunia kewirausahaan (entrepreneurship) dan UMKM tidak
hanya harus berdiri sendiri dan bertahan di pasar lokal. Dengan bergabung
dalam keberagamannya, UMKM bisa saling bagi produksi dan memperkuat pemasaran
antara satu dan lainnya. Karena itu, pemikiran Jack Ma patut diteladani
pelaku UMKM seperti (1) jangan pernah berhenti belajar, (2) pekerjakan orang
yang tepat, dan (3) berpikir jauh ke depan. Artinya berdaulat dan menjadi
bagian besar dari dunia internasional tidak terlepas dari upaya penguatan
internal secara gradual dan terus-menerus dalam keharmonisan dan
kesinambungan di luar dari faktor keberuntungan. Dengan demikian kata dan
filosofi made in(donesia) patut dipertimbangkan sebagai awal dalam kedaulatan
UMKM.
Sesuai
dengan kriterianya, UMKM dapat dibagi atas empat, yaitu (1) livelihood
activities yang menjadikan kegiatannya sebagai alat mencari nafkah dan berada
dalam sektor informal. Lalu, (2) microenterprise, yang memiliki sifat
perajin, tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan; (3) small dynamic
enterprise, yang memiliki jika kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan
subkontrak dan ekspor, dan (4) fast moving enterprise, yang memiliki jiwa
kewirausahaan dan dapat bertransformasi menjadi usaha besar.
Untuk
membangun kekuatan dalam kedaulatan dengan brand lokal, transformasi kriteria
UMKM patut dilakukan. Masyarakat harus disadarkan bahwa setiap kegiatan tidak
semata-mata untuk bertahan hidup, tetapi perlunya inovasi dan kreativitas
bersama. Ketergantungan terhadap pasokan dari asing dan bertumpu pada sumber
daya lokal perlu diretas. Kearifan dan pengetahuan lokal sebaiknya
dikembangkan untuk menghadirkan semangat dan daya saing yang dapat
berkelanjutan. Ketangguhan UMKM sudah pernah dibuktikan sehingga perlu
dipertahankan secara sistematis.
Oleh
karena itu, negara dan pemangku kepentingan perlu hadir dengan enam paket
kebijakan utama. Pertama, prioritas pemangku kebijakan tidak berhenti sebatas
menghasilkan regulasi, tetapi membuka ruang dialog antarpelaku usaha.
Kuncinya ialah kebijakan yang dikomunikasikan. Kedua, adanya bantuan
penyediaan dan membuka kesempatan memproduksi bahan baku lokal. Tahapan ini
memerlukan keberanian untuk berdaulat dari awal.
Ketiga,
proses aktivasi dan pemberdayaan brand lokal secara komprehensif. Proses yang
perlu dikawal secara bersama-sama. Keempat, penguatan, intervensi dan
pengawalan UMKM perlu dipertimbangkan dalam menghadapi pasar regional seperti
masyarakat ekonomi ASEAN dan pasar internasional karena prinsipnya UMKM ialah
bagian dari negara. Selanjutnya, kelima, mengurai masalah dan sumbatan tidak
hanya berbasis anggaran, tetapi juga berinisiatif dalam kajian akademis, kebijakan
dan aplikatif. Serta, keenam, mempersiapkan edukasi berbasis kemitraan pada
level produksi, distribusi, dan konsumsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar