Becerminlah
pada Hillary
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA INDONESIA,
10 November 2016
PADA
konvensi Partai Demokrat sekitar delapan tahun yang lalu, saya pernah menulis
betapa rakyat Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada satu momen yang sangat
historis. Mereka kala itu berada dalam sebuah dilema besar, tapi sekaligus
menjadi monumen penanda besar, bahwa pilihan apa pun yang mereka putuskan
akan menjadi hal pertama dalam sejarah bangsa dan negara 200 tahun lebih
mereka.
Apakah
mereka memilih seorang yang masih dalam stigma 'kaum budak' atau neger
Barrack Obama, atau perempuan pertama sebagai (kandidat) presiden AS? Saya
menguraikan beberapa data dan analisis yang menyatakan bahwa rakyat AS yang
konon begitu maju, rasional, progresif, dan...(tolong catat ini) demokratis
(bahkan menjadi standar atau acuan dunia), ternyata sangat seksis dan bias
gender. Jika dibandingkan dengan banyak negara lain (demokratis maupun
tidak), AS adalah negara yang paling pelit, rasis, seksis, dan penuh prasangka
dalam memilih perempuan sebagai pemimpin mereka.
Kita
ingat sejarah Dr Martin Luther King Jr, pejuang gigih bagi hak pilih kaum
Afrika-Amerika yang harus menerima nasib tragis, mati terbunuh karena
perjuangan itu. Walau hak pilih wanita sudah ada sejak 1920 di beberapa
negara bagian, hingga 1960-an negara-negara bagian selatan AS masih
melarangnya. Rebbeca Felton memang pernah menjadi senator pada tahun 20-an,
tapi hanya sebagai PAW, itu pun hanya dua hari. Baru pada 1932, senator
wanita pertama terpilih. Anggota DPR wanita pertama baru terjadi 1968, dan
wanita kulit hitam pertama pada 1992.
Kandidat
presiden wanita pertama yang maju hingga putaran akhir, ya baru Hillary
Clinton ini. Dua abad lebih setelah bangsa AS membentuk dirinya. Ia jauh
tertinggal ketimbang banyak negara lain dalam soal memberi kesempatan pada
perempuan untuk menjadi pemimpin mereka. Dan, tragis itu berlanjut hingga
hari ini.
Ketika
sekali lagi rakyat Amerika mendapat peluang bersejarah untuk memilih pemimpin
perempuannya pertama, atau calon pria yang ternyata penuh dengan bias,
pandangan rasialis, retorika kasar penuh kebencian layaknya preman kata-kata,
ternyata (sekali lagi) rakyat Amerika lebih memilih figur yang kontroversial
itu, yang tidak dikehendaki dunia itu, bahkan juga oleh pentolan (elite) dari
partainya sendiri; Donald Trump.
Kemenangan
telak Trump (276 suara berbanding 218 untuk Hillary) yang diikuti kemenangan
partainya, Republik, baik di Senat maupun Kongres AS, menjadi bukti paling
autentik dan sangat tajam dan kuat, betapa demokrasi kuasi ideal yang
diterapkan Amerika tidak mampu mencegah lahir dan berkuasanya seorang 'calon'
tiran yang membuat banyak kalangan (bangsa) memiliki kekhawatiran atau
kecemasan berat.
Kecemasan
itu tidak hanya datang dari kalangan bawah dan menengah Asia, seperti India,
Pakistan, hingga Asia Tenggara, bahkan Jonathan Powel, mantan Kepala Kantor
PM Inggris Tony Blair, mengkhawatirkan AS yang kian isolasionis di bawah
Trump. Rossiy TV, televisi resmi pemerintah Rusia, bahkan menyebut kemenangan
itu sebagai fait accompli sejarah atau 'bencana gempa bumi politik bagi
dunia'.
Kemenangan
Trump ini juga menciptakan kecemasan di AS sendiri yang belum ada
presedennya, ketika ada gerakan agar California yang kaya raya itu hendak
memisahkan diri dari negara induknya. Calexit, istilah yang dipakai meniru
Brexit yang terjadi di Uni Eropa. Kecemasan serupa diekspresikan dengan
ungkapan-ungkapan tragis di beberapa media utama global, seperti majalah Time
memprediksi AS akan meleleh total bila Trump menang.
Majalah
Esquire menjuluki bilioner itu sebagai 'pemimpin kebencian'. New Yorker
memasang doa di sampul majalah, 'Tuhan yang baik, Janganlah!', merujuk pada
kemenangan Trump. Tapi yang paling menarik ialah cover majalah Daily News
yang menyebut Donald Trump sebagai 'Badut (yang pengen) Jadi Presiden'. Satu
ungkapan yang mengingatkan kita pada komedi-ironik dalam carangan wayang Jawa
'Petruk Dadi Ratu'.
Apa
yang kemudian menjadi bahan kuat bagi permenungan kita ialah kenyataan adab
dan budaya Amerika, juga Eropa dan negara-negara kontinental lainnya, telah
mempertontonkan pada kita dan dunia, bagaimana tradisi dan adat dalam budaya
tersebut dipenuhi nafsu konflik yang sangat dominan. Syahwat kekuasaan yang
bahkan melampaui batas, pandangan stereotipik dan penuh prasangka terhadap
bangsa lain (the other), serta
modus mengalahkan lawan dengan cara apa pun, legal maupun tidak, bermoral
maupun amoral.
Hasilnya
kita tahu, justru hal-hal yang negatif dan destruktif tersebut, atas nama
national interest, berhasil menguasai kekuasaan. Saya tentu tidak akan
sembrono mengatakan adab bangsa Amerika Serikat terbelakang dalam soal-soal
seperti ini (keperempuan, ras, hingga proses kepemimpinannya). Tapi
sekurangnya rakyat Amerika Serikat dapat becermin dari kasus pemilu terakhir
ini, dalam banyak sejarah politik dan budayanya yang lain, bahwa mereka,
misalnya, bukanlah contoh apalagi yang terbaik atau ideal tentang bagaimana
kita harus menata hidup masyarakat, negara, juga negeri kita.
Mereka
bukan acuan atau standar. Siapa pun bangsa, termasuk bangsa Indonesia sini,
tentu tidak akan (karena kehilangan argumen) meniru apa yang sudah terjadi di
AS sana. Kita tentu tidak mentradisikan apalagi melembagakan satu pola relasi
politik yang diisi kebencian, dendam, syahwat kekuasaan yang abnormal, atau
perilaku kompetitif yang menghalalkan semua cara, Machiavelian kata sebagian
orang, zero sum game atau the winner takes all istilah bagi
sebagian lainnya.
Kita
adalah bangsa yang didewasakan adab dan budaya bahari. Adab yang terbuka
(open), penuh penerimaan (akseptan, lebih dari toleran), yang menghargai
kenyataan pihak lain bahkan menganggapnya sebagai bagian dari kita. Sentimen,
kecemburuan, nafsu menjatuhkan, hingga amarah yang berlebih bukanlah
eksemplar dari kebudayaan kita. Kesantuan, sifat yang memaafkan dan legowo (ikhlas hati) bukan hanya
cermin dari adab kita, tapi juga Islam yang 85% lebih rakyat kita yakini dan
praktikan.
Hillary, dengan kekalahan tragisnya dari
seseorang yang sebenarnya sudah ditinggalkan bahkan dilaknat para seniornya
sendiri di partai, adalah sebuah potret buram dari keadaban (demokratis) kita
saat ini. Tapi juga adalah cahaya yang memberi refleksi mendalam bagi rakyat
Amerika Serikat khususnya, masyarakat Indonesia pada bagian lainnya. Namun,
maukah kita bersama becermin darinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar