UU Pilkada 2016: Tantangan bagi Parpol
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat
International IDEA Stockholm (2007-2013)
dan UNDEF New York (2006-2008)
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Persetujuan
DPR dan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang pekan lalu tidak menggembirakan
bagi kemunculan calon perseorangan sebagai alternatif dan pemberantasan
korupsi. Secara keseluruhan, UU Pilkada 2016 hanya memperkuat posisi partai
politik dalam pilkada.
Kenyataan
itu, dalam cara pandang positif, semestinya menjadi peluang dan momentum bagi
parpol untuk membenahi diri agar bisa keluar dari situasi relatif terpojok
selama ini. Penguatan parpol jelas sangat penting dalam rangka membangun
demokrasi yang kuat dan workable.
Parpol yang lemah karena konflik internal dan/atau kurang memiliki
kredibilitas dan akuntabilitas membuat demokrasi sulit terkonsolidasi.
Parpol
umumnya mengalami kemerosotan kredibilitas dan akuntabilitas, antara lain,
karena cukup banyak figur parpol yang menjabat gubernur, bupati, dan wali
kota terlibat kasus korupsi; seperti juga wakil-wakil mereka di DPR.
Dalam
keadaan seperti itu, calon-calon parpol dalam pilkada mendapat tantangan
serius dari calon perseorangan—yang lazim juga disebut sebagai calon
independen. Bahkan sosok, seperti Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama, yang maju
untuk masa jabatan kedua kali meninggalkan parpol yang dulu mendukungnya pada
periode pertama.
UU
Pilkada 2016 mempersempit kemunculan calon perseorangan (Pasal 48) yang
mengatur ”verifikasi faktual” pendukung calon perseorangan. Meski verifikasi
teknis bisa dilakukan, jelas sangat berat bagi calon perseorangan sehingga
mereka harus berpikir ulang maju pilkada tanpa lewat parpol.
Dari
segi ini, meski menguntungkan parpol, jelas hal tersebut sekaligus merupakan
kerugian bagi politik demokrasi. Hegemoni parpol terhadap proses politik
demokrasi semakin tidak memberikan ruang memadai bagi aspirasi politik
nonparpol. Di sinilah terletak salah satu tantangan utama bagi parpol pasca
penetapan UU Pilkada 2016. Parpol sepatutnya memberikan kompensasi kepada
pemilih atas kerugian yang mereka terima karena menyempitnya aspirasi politik
alternatif lewat calon perseorangan.
Kompensasi
itu dapat diwujudkan dalam merespons serius tantangan bagi parpol, yaitu
penguatan kewajiban moral dan etis untuk; pertama, melakukan konsolidasi
internal dan; kedua, perbaikan kredibilitas dan akuntabilitas. Dengan cara
itu, parpol memiliki hak moral untuk menjadi hegemon politik.
Jika
parpol gagal dalam perbaikan internal, pemilih kembali berhadapan dengan
realitas pahit, yaitu tidak memiliki alternatif, kecuali memilih calon-calon
yang disodorkan parpol—meski tidak punya rekam jejak baik sebagai calon
kredibel dan akuntabel.
Lebih
pahit lagi, keadaan seperti ini dapat meningkatkan apatisme politik. Kian
banyak pemilih yang secara sadar menjadi golput alias golongan putih yang
tidak mencoblos dalam pilkada dan juga pemilu nasional. Keadaan ini jelas
tidak menguntungkan bagi demokrasi untuk menjadi ”satu-satunya permainan di
kota” (the only game in town).
Meski
UU Pilkada 2016 memberikan hegemoni kian kuat kepada parpol, saat yang sama
juga menghadirkan tantangan lain yang tak kalah beratnya. Hal ini menyangkut
pilkada yang bersih dari politik uang. Dari sudut ini, UU Pilkada secara
implisit memberikan tantangan kepada parpol untuk membangun proses politik
yang bersih dari politik uang.
UU
Pilkada sendiri terlihat ambigu terhadap politik uang. UU Pilkada ini hanya
mengatur pencegahan politik uang setengah hati (Kompas, 3/6). Ambiguitas ini
sepatutnya tidak dimanfaatkan parpol untuk kepentingan sendiri; dan
sebaliknya mempertegas diri secara internal dan eksternal dengan membangun
kultur anti-politik uang.
Pada
satu segi, UU ini mengatur pemberian sanksi berat, seperti pembatalan calon
kepala daerah/wakil kepala daerah (Pasal 73 Ayat 2) yang terbukti melakukan
politik uang. Prosedur pembatalan calon yang terbukti melakukan politik uang
juga dipermudah melalui keputusan langsung Bawaslu tanpa harus menunggu
keputusan pengadilan.
Meski
demikian, di pihak lain, UU Pilkada tidak mengatur jelas dan tegas definisi
politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif. Tanpa pengertian dan
pembatasan jelas, sangat sulit mengenakan sanksi kepada calon yang memainkan
politik uang.
Sebaliknya,
UU Pilkada (Pasal 73 Ayat 1) tidak melarang calon memberikan biaya
transportasi dan hadiah bagi peserta kampanye terbatas. Dalam penjelasan
pasal ini disebutkan, pemberian dana untuk makan minum, transportasi, bahan
kampanye, dan hadiah lain tidak termasuk politik uang.
Pengaturan
seperti ini jelas bertentangan dengan konvensi yang dipegang pakar ilmu
politik, ahli tentang korupsi, dan publik. Semua bentuk pemberian yang
disebutkan tadi pada dasarnya termasuk politik uang.
Berbagai
bentuk pemberian seperti itu sudah lama merajalela bahkan sebelum sang calon
mencalonkan diri secara resmi—dan selanjutnya sepanjang masa kampanye. Sudah
menjadi pengetahuan umum, semua bentuk pemberian itu tak jarang menjadi kartu
truf terakhir mendapatkan suara para pemilih melalui sebagai operasi fajar.
Berhadapan
dengan UU Pilkada 2016 yang ambigu atau setengah hati dalam pemberantasan
politik uang, harapan kini banyak bergantung pada KPU. KPU semestinya
menetapkan ketentuan yang mengatur lebih ketat besaran atau bentuk bantuan.
Tak
kurang pentingnya—dalam kaitan dengan tantangan terhadap parpol—adalah
perlunya parpol mengembangkan paradigma dan praksis politik yang bersih dari
politik uang dan korupsi. Ini tantangan tidak mudah, tetapi bukan tidak
mungkin asal ada niat, tekad, dan konsistensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar