Darurat Desentralisasi Fungsional
Irfan Ridwan Maksum ;
Guru Besar Tetap dan Ketua
Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Administrasi UI
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Bulan
April adalah bulan otonomi bagi bangsa Indonesia. Catatan terakhir dalam panggung
otonomi daerah di Indonesia tergores akibat persoalan merosotnya perekonomian
Kota Batam.
Menurut
sejumlah pihak, kemerosotan terjadi karena perseteruan Pemerintah Kota Batam
dan Otorita Batam yang tak kunjung usai mengenai siapa yang lebih berhak
mengelola arus perdagangan di kota tersebut. Juga pada titik-titik mana
urusan perdagangan di kota tersebut dapat dibagi-bagi antara pemerintah kota
dan pihak Otorita Batam.
Perseteruan
tersebut menyeruak ke panggung nasional lantaran dampaknya yang besar.
Bahkan, sampai-sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN dapat terpengaruhi karena pola kebijakan nasional, seperti di
Kota Batam dapat terancam. Untuk itu, ”kasus Batam” patut dicermati.
Cacat bawaan
Pola
kebijakan nasional di Batam memang memiliki cacat bawaan. Meskipun lahir
mulus dan tumbuh besar pada saat tertentu, Batam lahir dalam suasana
Indonesia yang sentralistik di bawah rezim militeristik dan otoriter. Nilai
pertumbuhan dalam kebijakan pembangunan yang diinginkan memuluskan
pengembangan Batam sebagai salah satu titik tumbuh dengan dibangunnya Otorita
Batam sebagai pihak pengendali di tingkat lokal.
Sejumlah
alasan geografis memperkuat Batam dijadikannya titik tumbuh tersebut,
terutama karena berhadapan dengan Singapura sebagai negara kota yang tumbuh
cepat di Asia Tenggara. Indonesia mau tak mau harus dapat mengimbanginya
dengan terobosan kebijakan pembangunan yang bernilai pertumbuhan tersebut.
Batam-lah pilihan yang tepat.
Pemerintah
kota pada saat itu pun dibuat sejalan dengan pola sentralistik yang sejalan
dengan UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat itu. Pemerintah Kota Batam
saat itu hanya administratif belaka. Wali kota sepenuhnya adalah wakil
pemerintah, bukan sebagai kepala daerah. Kepala daerah ada di tangan gubernur
yang juga sebagai wakil pemerintah. Pengendalian Batam dari Jakarta lebih
mudah. Di tangan presiden dan sejumlah menteri terkait, amat mudah memantau
Batam.
Pola
seperti ini tampak harmonis di lapangan pada saat tersebut. Bangsa Indonesia
lupa logika kelembagaan yang sepantasnya dipertanyakan pada rezim saat itu,
yang dapat jadi pelajaran berharga untuk saat ini yang meyakini nilai
demokrasi (lokal) menjadi acuan dalam manajemen pemerintahan.
Seharusnya
dipertanyakan asas apakah yang digunakan rezim Orde Baru dalam mengembangkan
Otorita Batam? Apakah sentralisasi? Kenapa terdapat lembaga lokal dengan
manajemen yang tidak di bawah satu kementerian mana pun secara langsung?
Demikian pula dekonsentrasi, apakah terdapat pelimpahan wewenang dari lembaga
atasannya? Tugas pembantuan dari pusat pun tidak, karena tidak melibatkan
daerah otonom di sana. Desentralisasi pun jelas tidak, karena tidak ada pemda
setempat yang jadi penanggung jawab.
Inilah
cacat bawaan Otorita Batam. Keberadaannya juga terbawa sampai masa reformasi.
Bangsa ini memperkuatnya dengan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas. UU ini pun layak dipertanyakan.
Otorita
itu mengatur kawasan fisiknya atau lembaganya? Jika fisiknya, di sana ada
pemerintah setempat yang oleh UU pula bertanggung jawab mengelola karena
terdapat penduduk setempat. Cacat bawaan mengatur keberadaan Batam ternyata
dinaikkan statusnya dalam UU, bahkan UU tersebut dapat diberlakukan di tempat
lain selain Batam di Indonesia. Cacat bawaan tersebut ternyata dapat dinilai
menular ke tempat lain.
Jika
kelembagaan, mestinya dicarikan mana alur tata kelolanya dalam konstruksi
negara- bangsa Indonesia, tidak abu-abu. Batam lahir karena kepemimpinan
rezim yang ingin menerobos kekakuan dalam rangka mendorong pertumbuhan
pembangunan Indonesia. Niat dan tujuannya bagus, tetapi tata cara prosedur
kelembagaannya tidak dipelajari terlebih dahulu dengan baik.
Jangan biarkan berlarut
UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kawasan khusus untuk
menampung persoalan-persoalan tersebut. Nyatanya, penyusun UU ingin
menghindari konflik seperti di Batam. Namun, rancangan peraturan pemerintah
di bawahnya hanya diamanahi mengatur peran-peran apa yang dimainkan
pemerintah daerah atas sejumlah kawasan khusus yang didirikan elemen
pemerintah pusat. Direncanakan diatur pula bahwa sejumlah kawasan khusus
dapat didirikan oleh pemda. Dengan demikian, penyusun UU masih berpikir
bagi-bagi lapak soal kawasan khusus ini.
Ketidakkonsistenan
juga terjadi pada definisi kawasan khusus itu sendiri dalam UU Pemda yang
baru. Definisinya menunjuk pada kawasan fisik, tetapi maknanya mampu
melakukan sejumlah kegiatan, artinya mengarah pada konsep lembaga.
Seharusnya
penyusun UU berpikir strategis terlebih dahulu. Masa Pemerintah Hindia
Belanda, dalam UUD perihal lembaga khusus yang nantinya dapat memiliki
kawasan (fisik) khusus, diatur dalam satu pasal tersendiri. Pada masa itu
yang masyhur, termasuk di Negeri Belanda sendiri saat ini, adalah kawasan air
yang berdasarkan catchment area aliran sungai dengan dikembangkannya
waterschappen sehingga baru terbentuk dua buah di Solo dan Yogyakarta. Namun,
sejak merdeka, pendiri negara menghapus pasal tersebut sehingga hilanglah
desentralisasi fungsional.
Tampak,
negara kita perlu kembali mengadopsi desentralisasi fungsional juga, bukan
hanya desentralisasi teritorial, seperti selama ini sepanjang kemerdekaan
diadopsi. Hilangnya konsep tersebut, menyebabkan terobosan rezim Soeharto
mengatur Batam menjadi masuk dalam wilayah abu-abu, sehingga begitu demokrasi
lokal dianut pecahlah konflik antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam.
Mungkin konflik tidak terjadi jika terdapat desentralisasi fungsional dalam
konstruksi lembaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi
fungsional menyebabkan terdapatnya lembaga lokal mandiri-otonom bukan
dimiliki pusat semata, bukan pula dimiliki pemda semata, tetapi milik
pemangku kepentingan lokal yang berkepentingan terhadap urusan yang
dikelolanya. Bagaimana pemangku kepentingan terkait dapat terlibat berperan
dalam lembaga tersebut, ini diatur dalam lembaga-lembaga yang tercipta di
dalamnya. Lembaga politik yang mengatur dikembangkan semacam dewan atau
lembaga representatif, sehingga terdapat pemerintah pusat dan pemda duduk
bersama di sana, bahkan terdapat masyarakat yang berkepentingan.
Lembaga
birokrasinya mandiri di bawahnya. Bekerja atas perintah lembaga pengaturnya
sehingga mampu untuk mengatasi konflik berbagai pihak yang ada, bahkan
mandiri dan profesional karena sumber keuangan dan sumber lainnya diatur
sendiri. Dengan dasar hukum yang kuat bahkan semestinya dalam UUD. Inilah
desentralisasi fungsional yang berbeda daripada desentralisasi teritorial
yang menciptakan pemda-pemda, seperti kita lihat sampai saat ini. Semoga ini
dapat diadopsi untuk mengatasi berbagai persoalan publik NKRI masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar