Post-sekularisme
F Budi Hardiman ;
Pengajar Filsafat Politik di
STF Driyarkara
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Apakah
Eropa sedang pulang ke agama? Pertanyaan ini menarik, tidak hanya untuk ilmu
politik internasional, tetapi terlebih untuk filsafat politis kontemporer.
Rentetan aksi teror Negara Islam Irak dan Suriah dan gelombang pengungsi
Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropa tidak hanya menyibukkan para politikus
dan menggelisahkan warga masyarakat. Tragedi-tragedi kemanusiaan itu juga
ikut mengubah lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal
sebagai negara-negara sekuler. Konstelasi intelektual baru itu bernama
post-sekularisme.
Apa
itu post-sekularisme? Bagaimana kita merespons ”isme” yang masih relatif baru
ini?
Gugurnya tesis
sekularisasi
Meski
sekarang telah menjadi istilah umum, sekularisasi, sekularitas, dan
sekularisme memiliki asal-usulnya yang sangat spesifik dalam gereja Katolik
Roma. Kata saeculum berarti zaman. Di Abad Pertengahan, sekularisasi
diartikan sebagai proses seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke
masyarakat. Kata itu pada masa Reformasi dipakai untuk proses pengalihan aset
gereja Katolik ke pihak Protestan. Menjadi sekular berarti juga menjauh dari
institusi religius.
Sejak
perjanjian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik
dan Protestan, sekularisasi menjadi istilah politis, yang berarti pemisahan
gereja dari negara. Istilah politis itulah yang kemudian kita kenal sampai
hari ini sebagai pemisahan antara agama dan politik. Regulasi-regulasi publik
harus dijauhkan dari simbol-simbol dan alasan-alasan religius, dan negara
harus netral dari doktrin-doktrin religius agar terwujud keadilan bagi semua
pihak.
Sekularitas
politis hanyalah salah satu arti. Dalam A
Secular Age, Charles Taylor menambahkan tiga arti lainnya. Sekularitas
sosiologis adalah menghilangnya iman dan praktik religius, sedangkan
sekularitas epistemis adalah hidup dalam immanent frame atau kondisi percaya
kepada Allah hanyalah salah satu opsi. Semua mengacu juga pada sekularitas
spasio-temporal, yakni orientasi kita pada zaman ini, pada saeculum. Di sini
jelas bahwa sekularitas Eropa bukan sekadar struktur politis, melainkan
sebuah Weltanschauung (wawasan
dunia). Orang modern melakukan hal-hal etsi Deus non daretur (seakan Allah tidak ada). Telah terjadi apa yang
disebut Weber disenchantment of the
world: Dunia tidak lagi berisi hal-hal gaib.
Hampir
semua negara demokratis di dunia saat ini menganut sekularisme politis dengan
kadar yang berbeda-beda. Prancis dengan laicite dan Turki dengan laiklik
berada di baris depan. Sisanya adalah varian-varian. Sekularisme politis
telah mengalami globalisasi. Namun, hal itu belum mengatakan apa pun tentang
kesadaran religius. Sampai tahun 1980-an, para intelektual Barat masih
meyakini suatu anggapan bahwa lewat modernisasi dan rasionalisasi, agama akan
punah dan masyarakat akan sepenuhnya sekular.
Anggapan
yang kemudian dikenal sebagai tesis sekularisasi ini dianut sejak abad-abad
silam di Eropa. Pemikir-pemikir utama Eropa, seperti Comte, Feuerbach, Marx,
dan Freud, menganggap agama sebagai semacam ilusi kolektif yang akan
ditinggalkan ketika sains, teknologi, dan rasionalitas sekular mendominasi
masyarakat. Tesis itu tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.
Alih-alih
punah, memasuki abad ke-21 agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor
yang menentukan dalam politik kontemporer. Diguncang isu terorisme dan
pengungsi Suriah, Eropa tidak lagi diam soal agama. Popularitas kekuatan
ekstrem kanan yang anti migran meningkat tajam. Persepsi kawan-lawan yang
dikaitkan dengan agama mulai tumbuh. Semua berarti satu hal: agama kembali
menjadi isu publik yang perlu dikalkulasi. Dunia ini tidak sepenuhnya
sekular, melainkan sekular sekaligus religius.
Kembalinya agama
Sejak
awal abad ke-21 ini, istilah post-sekularisme mulai masuk literatur filsafat
dan forum-forum akademis di Eropa. Sungguhpun demikian, belum ada definisi
yang bisa disepakati tentangnya. Seperti istilah yang nyaris menjadi
kembarannya, post-modernisme, istilah tersebut mengacu kompleksitas baru
seusai Perang Dingin, tetapi di sini fokusnya diberikan pada konstelasi baru
hubungan antara agama dan sekularitas di Eropa. Namun, seperti juga
sekularisme, post-sekularisme lebih daripada sekadar fenomena politis. Ada
juga aspek sosiologis, teologis, dan filosofis di dalamnya.
Seperti
diulas WA Barbieri, menguatnya kembali peran publik agama hanyalah salah satu
gejala post-sekular. Kebangkitan global agama, termasuk Islam di Amerika dan
Kekristenan di Tiongkok dan Rusia, menguatkan kembali orientasi pada hal-hal
supranatural, suatu proses sosiologis yang boleh disebut re-enchanment of the world. Post-sekularisme juga dapat
ditunjukkan lewat suburnya literatur kontemporer yang berupaya untuk
memberikan pendasaran teologis kembali agar iman dapat diyakini kembali dalam
sekularitas, sebagaimana tampak dalam kritik-kritik para teolog Kristiani
atas Pencerahan.
Di
rumah filsafat, post-sekularisme tampak dalam menguatnya minat kembali pada
agama, Allah, Alkitab, seperti dapat ditemukan pada Caputo, Levinas, dan
Jean-Luc Marion. Kearny, misalnya, mencari ”faith beyond faith” atau ”God
after God”.
Kehangatan
diskusi tentang post-sekularisme ini juga mendorong para pemikir Eropa untuk
menemukan kembali akar-akar religius sekularitas Eropa. Carl Schmitt dengan
teologi politisnya dan diskusi hangat antara Habermas dan Kardinal Ratzinger
di Muenchen tahun 2004 banyak memicu analisis genealogis ini, misalnya, untuk
menunjukkan bagaimana negara hukum sekular dan hak-hak asasi manusia
mengandung presuposisi-presuposisi teologis Kristiani. Post-sekularisme
bahkan menjadi kritik atas proses marginalisasi yang dialami oleh agama lewat
oposisi biner sekular-religius yang disebarkan lewat berbagai literatur dan
forum pasca Pencerahan. Talal Asad, misalnya, mencurigai oposisi
sekular-religius sebagai konstruksi Barat untuk mengokohkan dominasinya.
Post-sekularisme lalu disambut bagaikan pembebas baru, tetapi kali ini oleh
dan untuk agama.
Cukup
ironis bahwa ”agama” di sini tidak kurang daripada hasil konstruksi
sekularisme juga sehingga libido kekuasaan—kali ini berbusana teologi—tetap
operasional di dalamnya. Eropa tidak kembali ke agama dan menjadi religius.
Ia mungkin menemukan ungkapan baru bagi gairah kekuasaannya.
Post-sekularisme di
Indonesia?
Indonesia
belum post-sekular karena belum sekular. Namun, komentar seperti itu keliru.
Tidak ada sejarah universal bertahap yang dipimpin Barat. Globalisasi
sekularisme tidak menghasilkan sekularisme global, melainkan multiple
secularisms. Di Indonesia, agama tidak harus kembali karena tidak pernah
pergi. Di negeri ini ada terlalu banyak hal yang dikaitkan dengan agama, dan
terlalu sedikit hal yang berjarak darinya. Kata ”sekularisme” pun terdengar
porno di negeri saleh ini sehingga sempat didaftarhitamkan. Sebaliknya,
post-sekularisme mungkin akan disambut hangat. Namun, di sini kita justru
perlu waspada.
Post-sekularisme
Eropa mengandaikan sekularisme politis yang matang sehingga prosedur negara
hukum demokratis tetap menjadi platform dialog agama dan sekularitas. Menurut
Habermas, di sini agama pun ditransformasikan menjadi lebih ”rasional”. Inti
post-sekularisme sebenarnya proses belajar antara agama dan sekularitas dalam
masyarakat majemuk. Karena itu, dalam masyarakat serba-agama, seperti
Indonesia, tidaklah tepat memahami post-sekularisme sebagai penguatan kembali
peran publik agama karena agama sudah terlalu kuat di sana. Jika di Barat
sekularitas ditantang untuk belajar mendengarkan agama kembali, di Indonesia
justru sebaliknya: Agama ditantang untuk belajar dari sekularitas agar tidak
menyepelekan kemanusiaan.
Proses
saling belajar agama dan sekularitas itu tidak asing bagi kita sebab telah
tercantum dalam Pancasila. Bukankah hanya sila pertama bicara tentang agama,
sedangkan keempat lainnya tentang sekularitas? Indonesia dikonsepkan sebagai
negara modern yang tidak serong ke negara agama, tetapi juga bukan negara
sekular. Tanpa gaduh dengan post-sekularisme, Indonesia sebenarnya
post-sekular, sekurangnya dalam cetak-birunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar