Urban Sufism
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 10 Juni
2016
Akhir 1990 saya
kembali ke Jakarta setelah selesai menamatkan doktor di Turki. Almarhum
Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Utomo Danandjaja (Mas Tom) meminta saya untuk
bergabung ke Yayasan Paramadina.
Keduanya tidak memberi
pengarahan apa pun tentang apa yang mesti aku lakukan di Paramadina. Keduanya memberi
kebebasan terserah saya mau apa, yang penting mau bergabung mengembangkan Paramadina
yang sudah dikenal sebagai gerakan moral-intelektual keislaman, dengan basis
utama kelas menengah kota dan kalangan elite. Yang menonjol dari kegiatan
Paramadina kala itu adalah menyelenggarakan Klub Kajian Agama (KKA) setiap
bulan, bertempat di hotel berbintang.
Peserta datang dengan
membeli karcis. Panitia menyediakan minuman dan makanan ringan, serta makalah
yang hendak disajikan malam itu. Cak Nur selalu menjadi pembicara, didampingi
pembicara tamu secara bergantian. Topik kajian pun begitu beragam, semuanya
disajikan dalam makalah ilmiah. Sebelum dimulai, ada kalanya para peserta
disuguhi permainan piano.
Melihat antusiasme
kelas menengah terhadap studi islam dengan pendekatan ilmiah, dialogis, tanpa
semangat menggurui, maka saya bersama Elza Taher dan Budhi Munawar Rahman
lalu menyusun paket-paket studi Islam layaknya sebuah forum kuliah di
universitas. Pusatnya di Pondok Indah Plaza Tiga, Jakarta Selatan. Setiap
tema kuliah, kami pecah-pecah menjadi 8-16 topik pertemuan, dengan
menghadirkan dosen secara bergantian sesuai minat dan bidang keahliannya.
Dalam kajian tematik
ini, saya selalu hadir mendampingi dosen tamu. Kalau dosen tidak hadir, saya
sebagai gantinya. Mungkin tahun itu Paramadina merupakan pionir
menyelenggarakan studi Islam secara tematik, terstruktur, dan sangat diminati
kalangan eksekutif. Peserta hadir ke Paramadina sesuai dengan mata kuliah yang
dipilihnya.
Pada Sabtu banyak
peserta yang mengikuti kuliah pagi hari, pukul 10.00-12.00 WIB, diteruskan
mengambil kuliah sore pukul 14.00-16.00 WIB. Beberapa topik kajian itu antara
lain: Pengantar Studi Islam, Sirah Muhammad, Tema-Tema Pokok Alquran, Hukum
Islam, Filsafat Islam, Sejarah Islam, Ilmu Kalam, dan Tasawuf. Karena diisi
oleh beragam dosen, kajian Islam ini tanpa disengaja menerapkan pendekatan
interdisipliner. Islam didekati secara historis, rasional, filosofis, dengan
pedoman dasar Alquran dan semangat tasawuf, yaitu penghayatan akan kasih
sayang Allah. Semesta ini hadir karena cinta-Nya.
Manusia diciptakan
karena cinta-Nya. Para Rasul diutus karena cinta-Nya. Islam adalah agama
cinta. Itulah salah satu pesan yang terkandung perintah agar memulai semua
tindakan dengan bacaan basmalah. Bismillahirrahmanirrahim. Jadi, kajian Islam
di Paramadina berangkat dari wahyu Alquran, lalu didekati dengan berbagai
disiplin ilmu, seperti Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Tasawuf. Oleh karena
itu, beberapa peneliti asing menempatkan Paramadina sebagai pionir gerakan
urban sufism atau sufisme perkotaan.
Sebuah pendekatan
tasawuf populer, dengan menekankan bimbingan untuk meraih pencerahan
intelektual dan hati. Ini berbeda dari tarekat yang dibimbing oleh guru
spiritual secara langsung dengan bacaan zikir atau wirid dalam jumlah
tertentu. Metode yang dirintis Paramadina ini sekarang sudah tumbuh di
berbagai tempat. Salah satu kelebihan Paramadina adalah berbagai ceramah yang
disajikan ditulis dan diterbitkan dalam bentuk buku, terutama ceramah oleh
Nurcholish Madjid.
Sekian banyak buku
karangan Nurcholish Madjid pada awalnya adalah makalah-makalah di Paramadina,
yang ditulis secara serius dengan standar ilmiah. Tak banyak penceramah yang
juga penulis serius. Yang menonjol tentu saja Pak Quraish Shihab. Karya-karya
tulisnya akan menjadi amal jariah dan umurnya menjadi lebih panjang dari usia
biologisnya. Kita mengenal Imam Ghozali pun lewat dan karena warisan karya
tulisnya, terutama Ihya Ulumuddin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar