Perlukah CSR Diatur Undang-Undang?
Zainal Abidin ;
Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA
|
KORAN SINDO, 11 Juni
2016
Wacana penyusunan
undang-undang (UU) tentang corporate
social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan (TJSP)
saat ini tengah menguat kembali. Bahkan
terdengar kabar bahwa DPR tengah berinisiatif menyusun undangundang tersebut.
Sepengetahuan penulis, saat ini baru ada dua negara yang secara tegas
mengatur CSR atau TJSP dalam perundangundangan mereka, yaitu India dan
Mauritius.
Keduanya secara tegas
menyatakan CSR merupakan levy atau pungutan. Indonesia sendiri mengatur CSR
dalam Undang-Undang Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan sedang dalam
proses penyusunan UU tersendiri.
Pasal 1 butir 3 UU
tersebut menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah
komitmen perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik
bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya Pasal 74
menyebutkan: (1) perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan; (2) tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran;
(3) perseroan yang
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; (4) ketentuan
lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Dengan demikian
ketentuan Pasal 74 mewajibkan perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan, meskipun kewajiban ini masih terbatas pada perseroan
yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Selain itu ketentuan Pasal 74 juga mendelegasikan pengaturan lebih lanjut
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan peraturan pemerintah
(PP) yang sampai kini PP tersebut belum terbit.
Mengisi kekosongan
itu, beberapa pemda berinisiatif menerbitkan peraturan daerah (perda) yang
berkaitan dengan CSR. Walaupun sempat diberlakukan, akhirnya beberapa perda
itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lalu perlukah CSR diatur secara
khusus dalam UU?
Definisi tanggung
jawab sosial menurut ISO 26000 ialah tanggung jawab individu/organisasi atas
dampak keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup,
dengan cara transparan dan beretika, berkontribusi pada pembangunan
berkelanjutan.
Pelaksanaan tanggung
jawab sosial seharusnya mengacu pada nilai-nilai dasar dan hierarkis, mengapa
CSR perlu dilakukan oleh perusahaan. Ada empat dasar hierarki pelaksanaan
CSR, yaitu menghindari dampak negatif akibat operasional perusahaan,
meminimumkan, merehabilitasi dan mengompensasi. Jadi pelaksanaan CSR dimulai
dari penghindaran dampak negatif, bukan sekadar bagi-bagi uang.
Filosofi pelaksanaan
CSR pada dasarnya bersifat voluntary
(sukarela) dan sering kali merupakan tindakan yang melampaui kepatuhan
terhadap peraturan atau hukum yang berlaku di suatu negara. Itu sebabnya CSR
minimal adalah kepatuhan pada regulasi. Sejatinya, dengan memahami prinsip
ini, kegiatan CSR tidak perlu diatur dalam UU tersendiri.
Bagaimana mungkin
sebuah regulasi bisa mengharuskan siapa pun untuk melampaui apa yang tertera
di dalamnya? Kalaupun akhirnya diterbitkan UU tersendiri tentang CSR, pada
hakikatnya itu merupakan kemunduran karena sifat CSR yang awalnya bersifat
voluntary (sukarela) terdegradasi menjadi mandatory
(kewajiban). Apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia?
Ruang lingkup tanggung
jawab sosial menurut ISO 26000 mencakup tata kelola organisasi, HAM, praktik
tenaga kerja, operasi bisnis yang adil, isu konsumen, lingkungan hidup, serta
pelibatan dan pengembangan komunitas. Segala hal yang berkaitan dengan hal-hal
di atas sudah cukup banyak regulasi yang mengaturnya. Sudah banyak regulasi
umum di Indonesia yang mengatur hal tersebut.
Regulasi umum misalnya
regulasi tentang tata kelola perusahaan, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan,
antikorupsi, antimonopoli, perlindungan konsumen, kesejahteraan sosial, dan
penanganan fakir miskin. Sudah banyak regulasi sektoral yang diatur, misalnya
regulasi terkait minyak dan gas, usaha pertambangan, dan kehutanan.
Memang pada
kenyataannya sebagian besar regulasi sektoral tersebut hanya mengatur
sebagian kecil saja komponen CSR. Walaupun berbagai regulasi di atas itu
sudah diberlakukan, ternyata cukup banyak yang belum diketahui oleh
perusahaan dan pemangku kepentingannya sehingga dibutuhkan kompendium secara
umum dan sektoral agar bisa diketahui secara persis apa saja kewajiban dunia
usaha yang terkait CSR.
Selain itu, di dalam
regulasiregulasi itu ditemukan banyak hal yang belum konsisten sehingga
membutuhkan analisis kesenjangan dan harmonisasi untuk memastikan
konsistensinya. The last but not least
pemerintah juga sangat perlu mawas diri terhadap kapasitas dan moralitas
politisi dan para pemimpin di tingkat pusat dan daerah.
Jika CSR diatur dalam
UU tersendiri, kemudian tereduksi menjadi donasi perusahaan (seperti
selentingan yang beredar tentang UU CSR yang telah disusun), hal itu akan
membawa moral hazard yang tinggi
dan berpotensi semakin menjerumuskan banyak pihak ke dalam godaan untuk
korupsi. Sebagaimana ditunjukkan pada fenomena sekarang,
mulai ada pemerintah
daerah dan lembaga negara yang sangat getol meminta donasi perusahaan. Ini
akan menjadikan CSR sebagai corporate
political activity dan berpotensi menciptakan konflik kepentingan antara
(aparat) pemerintah dan perusahaan. Bila hendak membangun Indonesia yang
bersih, hal-hal seperti itu seharusnya dihindari, bukan malah difasilitasi
melalui regulasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar