Asketisme Teologis
Teuku Kemal Fasya ; Aktivis
Jaringan Antariman;
Dewan Pakar PW Nahdlatul Ulama
Aceh
|
SATU HARAPAN, 30
Mei 2016
Pergaulan antar-iman
bukan semata perjumpaan simbolis. Ada banyak kebaikan dan kekayaan spiritual
di dalam proses pertemuan itu. Perjumpaan dan dialog intra dan antar-iman
kerap membawa kesegaran baru dalam melihat masalah-masalah
sosial-budaya-teologi.
Kebaikan perjumpaan
seperti itu kadang bisa meningkatkan kualitas iman dan kematangan teologis.
Hal itu baik untuk merawat kebhinekaan bangsa ini, dan memperbaiki
solidaritas kemanusiaan dan sosial berlandaskan Pancasila.
Tiga Perjumpaan
Perjumpaan pertama
dengan Pastor Dominikus Doni Ola, direktur Pastoral Keuskupan Sibolga adalah
yang paling terngiang. Secara fisik perjumpaan pertama baru terjadi saat saya
diundang sebagai pembicara pada seminar “Dialog
Antariman : Menggalang Persaudaraan Sejati Anak Bangsa” 21-22 Desember
2015 di Sibolga. Sebelumnya “di alam rohani” beberapa kali kami
berkomunikasi. Pertemuan itu turut mengundang pemuka agama Kristen dari
Singkil. Kebetulan saat itu kasus Singkil baru lewat beberapa bulan.
Kasus Singkil ternyata
tidak membuat Pastor Doni gundah. Ketika banyak peserta lainnya mulai
mengutuki keadaan dan menguar perasaan tertekan sebagai minoritas, Pastor Doni malah bersikap lain. Baginya,
situasi Singkil bisa terjadi di mana saja ketika dialog antarumat tidak
terjadi. Ia mengkritik sikap kaum Kristiani yang kurang membangun refleksi
diri.
Dalam dialog yang
terjadi di waktu senggang, Pastor Doni mengingatkan saya pada sejarah
perubahan paradigma Katolik di era modern, yaitu pertemuan Konsilisi Vatikan
II (11 Oktober 1962- 8 Desember1965). Dalam pertemuan itu hadir dokumen yang
dinamakan Nostra Aetate. Inti utamanya ialah pentingnya gereja melihat dunia
non-Kristen secara lebih empatik dan rendah hati. Kata Nostra Aetate di awal
dokumen Konsili Vatikan II berarti “di tengah zaman kita”.
Tragedi Singkil dalam
pandangan Pastor Doni terjadi karena Kristen gagal berdialog dengan komunitas
non-Kristen. “Bahkan setelah melihat gereja-gereja Protestan yang bagus-bagus
itu dibongkar, saya malah rela gereja kami saja dibongkar sebagai gantinya.”
Memang gereja Katolik awalnya hanya satu yang ditarget bongkar. Kemudian
sempat menjadi tiga, tapi akhirnya saat eksekusi dibongkar dua dari empat
gereja. Satu gereja sebagai “martir” bagi gereja Protestan lain.
Perjumpaan kedua
adalah dengan Pdt. Adolv Bastian Marpaung, ephorus Gereja Kristen Protestan
Angkola (GKPA). Awal pertemuan terjadi di Forum Sibolga. Semula saya mengira
Pdt. Adolf seorang muslim, karena berpeci dan mengucapkan “assalamulaikum”
dengan fasihnya.
Kesan baik di
pertemuan itu menyebabkan saya diundang untuk hadir di Padang Sidempuan pada
10 Maret 2016 dalam acara dialog antariman “Menyikapi Radikalisme dan
Fenomena Sosial Negatif”. Pdt Adolf
ingin menunjukkan bahwa asal kekristenan di Sumatera Utara bukan hanya
Tarutung, Tapanuli Utara yang mayoritas Kristen, tapi juga Sipirok, Tapanuli
Selatan yang islami dan banyak pesantren.
Namun Kristen-Muslim
di Tapanuli Selatan bisa hidup rukun tanpa pernah lancung ke permusuhan. Pdt
Adolf sendiri menulis tesis master tentang teologi Islam damai. Ia tak pernah
melihat Islam Indonesia sebagai ancaman. “Islam phobia hanya cocok bagi orang
yang sakit jiwa dan tidak pernah mau mengerti Islam”, katanya dalam seminar.
Tak sedikit keluarga besar Pdt Adolf muslim. Saat kunjungan keluarga besar ia
sering mengambil inisiatif untuk menghadirkan makanan halal. Dalam pertemuan
itu, pimpinan GKPA semua memakai peci Angkola yang lebih menyimbolkan Islam.
Perjumpaan ketiga
adalah dengan sosok nyentrik di Singkil. Ia dipanggil Ustadz Abdul Manaf.
Penampilannya sama sekali tidak mengesankan pemuka agama. Kerap mengendarai
sepeda motor butut keliling Singkil, dengan topi koboi, dan sendal jepit. Ia
rajin mengunjungi keluarga-keluarga miskin dan mengambil anak-anak mereka
untuk disekolahkan. Menurutnya Islam di Singkil semakin tertinggal jika
anak-anak sampai tidak sekolah.
Ustadz Manaf membangun
beberapa pesantren di Singkil. Modalnya hanya berkomunikasi dengan
orang-orang kaya untuk patungan dalam pembangunan. Sisanya ia meminjam di
bank dan mencicilnya sendiri. Ia tak bersedia menemui pejabat. Masyarakat
Singkil menyebutkan Ustadz Manaf punya ilmu kasyaf, hanya memohon bantuan
kepada orang yang tepat dan semua tanpa proposal.
Saat muncul seruan
untuk menyerang gereja 13 Oktober 2015, ia melarang santri-santrinya ikut
serta. Baginya menghela “Kristenisasi” bukan dengan cara merusak gereja, tapi
membangun pusat pendidikan dan mengajarkan generasi muda nilai-nilai agama
Islam yang damai dan penuh keunggulan. Ia menamakan semua pesantrennya dengan
Darul Mahabbah : Taman Penuh Cinta!
Melampaui Ego Agama
Apa yang dilakukan
orang-orang berjiwa besar itu dan jauh dari publisitas disebut sikap asketis.
Asketisme mengajarkan pengolahan kesadaran untuk menuju kebaikan dari
totalitas kehidupan. Agama sebenarnya memiliki peluang memunculkan sikap
asketis. Namun sayang yang galib muncul malah praktik egoisme. Di tengah
dunia yang semakin hedonis dan materialistis seperti saat ini, agama sering
terseret menjadi kapitalistik dan materialistik.
Akibatnya, model-model
praksis seperti ini jarang terlihat. Yang sering muncul sikap tidak peduli
atas keyakinan pihak lain, cenderung merendahkan iman lain sebagai penoda dan
pendosa, atau lari pada spiritualitas sinis, apatis, dan pasif.
Saat ini kecenderungan
di kalangan pemimpin agama atau aktivis keberagaman hanya menonjolkan
egoismenya, baik ego identitas agama atau ideologi khas aktivis. Yang
teraktualisasi hanya “mengutuk” dan “mendesak”, bukan menyerukan kebaikan.
Jarang muncul sikap adil dalam melihat masalah dengan kepala dingin.
Kecenderungan seperti ini hanya akan melahirkan masalah baru bagi umat.
Padahal pikiran tenang bisa memandu pada banyak alternatif penyelesaian.
Model keimanan seperti
itu tidak terlihat di jiwa tiga sosok di atas. Bagi mereka, mengutip kalimat
Gus Dur, “Tuhan tidak perlu dibela”. Tuhan lebih besar dari semua persangkaan
duniawi. Ini yang harus ditumbuhkan. Jalan asketisme seharusnya sering
ditapaki oleh para agamawan dan umat beriman.
Kaum asketis tidak
terkurung pada badan, pikiran, materi, simbol, identitas keagamaan yang hanya
melahirkan sikap semu dan penderitaan. Gagasan seperti ini kerap terlihat di
kalangan kaum sufi dan budhis. Mereka menjauhkan segala hal yang bisa
mengerdilkan semangat ilahiyah : cinta dunia/samsara/hub ad-dunyaa! Teringat
kata-kata Bikhu Sri Pannavarro, “Budha tidak menginginkan semua orang harus
menjadi penganut agama Budha. Nilai-nilai Budha tidak semakin besar ketika
orang berbondong-bondong pindah ke agama Budha.”
Tak salah jika kita
juga mengambil pelajaran dari Paus Fransiskus, pimpinan ke-266 dalam
kelembagaan tertinggi Katolik Roma. Ia orang Argentina keturunan Italia yang
sangat keras pembelaannya pada dunia-dunia tersingkirkan. Di sebuah pidatonya
ia mengkritik cara beriman dengan mengklaim Tuhan. “Tidak ada Tuhan Katolik”!
Cara begitu hanya akan melahirkan penderitaan bagi kelompok iman yang lain.
“Yang diperlukan di dunia yang sudah berada di persimpangan ini adalah
mencari jalan baru untuk menyebar kebaikan”.
Dalam Islam, manifesto
seperti ini terbaca pada Al Quran surat Al Maidah (3) : 2: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Salah satu tafsir kata
“pelanggaran” (al-‘udwan) juga
memasukkan makna permusuhan dan menzalimi manusia di dalamnya. Konsekuensi
logisnya, jika semangat permusuhan/zalim ada di dalam dada, tentu ia bukan
orang beriman.
Benar, di dalam setiap
kebaikan pasti ada jalan menuju Tuhan. Dan jalan itu pasti lurus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar