Senja Kala IS
Smith Alhadar ;
Penasihat ISMES;
Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
|
MEDIA INDONESIA,
04 Juni 2016
AKHIR-AKHIR
ini Negara Islam di Irak dan Suriah (IS) melancarkan serangan bom bunuh diri
di kota-kota di Irak dan Suriah. Serangkaian bom bunuh diri di Baghdad paling
tidak menewaskan 150 orang tak berdosa, sedangkan serangan di Tartus dan
Jableh, Suriah, menewaskan 154 orang dan melukai sekitar 300 lainnya. Namun,
serangan-serangan ini bukan menunjukkan keperkasaan IS dalam meluaskan
pendudukan di wilayah-wilayah itu sebagaimana yang dilakukan pada waktu-waktu
sebelumnya, melainkan bentuk ekspresi keputusasaan atas kekalahan di berbagai
front menyusul serangan gencar pasukan Irak dan pasukan Suriah serta milisi
Kurdi yang dibantu serangan udara pasukan koalisi pimpinan AS (di Irak dan
Suriah) dan pasukan Rusia (di Suriah).
Saat
ini sedang terjadi perang kota di Fallujah antara 1.000 anggota IS yang
menduduki kota itu sejak 2014 dengan puluhan ribu personel gabungan pasukan
Irak yang dibantu serangan udara koalisi. Bisa dipastikan perang ini akan
dimenangi gabungan pasukan Irak karena ketidakseimbangan kekuatan antara
kedua kubu yang berperang.
Kemenangan
di Fallujah akan membuka jalan bagi penaklukan Kota Mosul di utara Fallujah
yang merupakan kota utama dan satu-satunya IS di Irak. Kini Peshmerga (milisi
Kurdi Irak) yang sedang menyerang Mosul sudah berada di pinggiran kota itu
setelah berhasil memukul mundur pasukan IS di enam desa di sekitar Mosul.
Serangan gabungan pasukan Irak pimpinan unit pasukan khusus antiterorisme ke
Mosul dari arah selatan setelah Fallujah ditaklukkan dan Peshmerga di utara
Mosul akan mempercepat kejatuhan Mosul.
Di
Suriah, Tentara Demokratik Suriah (SDF) dengan kelompok utama Unit
Perlindungan Rakyat Kurdistan (YPG), dibantu serangan udara Rusia, berhasil
memukul keluar IS dari Kota Kafr Shoush dan Braghida di Provinsi Aleppo. Pada
waktu bersamaan, SDF yang dibantu pasukan khusus AS berhasil membuat kemajuan
signifikan di sebelah utara Kota Raqqa, ibu kota de facto IS. Pada 24 Mei silam, juru bicara militer AS yang
berbasis di Baghdad, Kolonel Steve Warren, mengatakan, jika SDF yang dilatih
dan dipersenjatai AS berhasil menduduki Raqqa, keberhasilan itu akan jadi
akhir dari IS.
Melemahnya
IS mulai terlihat sejak kejatuhan Ramadi, ibu kota Provinsi Anbar, Irak, pada
Desember 2015, disusul kejatuhan Kota Palmyra di Suriah pada Maret 2016.
Sejak itu wilayah IS berkurang sebanyak 22%, sementara populasi di teritorial
IS menurun dari 9 juta menjadi 6 juta jiwa. Terbunuhnya beberapa pemimpin
teras IS ikut memberikan pengaruh negatif pada kelompok teror itu. Sebut saja
Maher al-Bilawi, komandan utama IS di Fallujah, yang tewas oleh serangan
udara AS pada 27 Mei, dan Abd al-Rahman Mustafa al-Qaduli, pemimpin tertinggi
kedua IS setelah Abubakar al-Baghdadi, yang tewas oleh serangan udara AS pada
Maret silam. Al-Qaduli atau dikenal dengan nama Abu Alaa al-Afri bertanggung
jawab atas urusan keuangan, politik, dan administrasi IS.
Selain
mengepalai Dewan Syura yang menjadi penasihat Al-Baghdadi, ia juga gubernur
di beberapa provinsi di Suriah. Kematian al-Bilawi membuat IS goyah sehingga
memudahkan pasukan gabungan Irak memasuki Fallujah, sementara tewasnya
Al-Qaduli membuat sulit IS untuk memulihkan diri.
Pelemahan
IS terjadi berkat tindakan pemerintah Turki yang menutup akses IS ke dunia
luar melalui wilayah Turki menyusul serangan IS terhadap Kota Suruc di Turki
pada Juli tahun lalu, yang menewaskan 32 warga Turki keturunan Kurdi. Akibat
penutupan wilayah perbatasan Turki-Suriah, tidak ada lagi ekstremis asing
yang masuk ke Suriah untuk bergabung dengan IS sehingga khilafah teror ini kehilangan
sumber daya manusia yang cukup signifikan. Padahal, dalam perang pembebasan
Palmyra saja, IS kehilangan 417 pasukan. Kekurangan personel pasukan IS bisa
dilihat dari apa yang terjadi di Fallujah. Menurut Jan Egeland, Sekrataris
Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia, IS menggiring sekitar 100 pemuda di
Fallujah untuk dipaksa bertempur mempertahankan kota itu.
Selain
jatuhnya harga minyak dunia, ditutupnya wilayah Turki yang merupakan akses
penjualan minyak IS ke pasar gelap di Turki membuat pendapatan IS dari sektor
minyak anjlok hingga 30%. Perusahaan analisis di AS, HIS, mengungkapkan pada
Maret silam, pendapatan IS merosot menjadi US$56 juta (sekitar Rp737 miliar)
per bulan dari sebelumnya US$80 juta (Rp1,05 triliun) per bulan sejak
pertengahan tahun lalu. Produksi minyak IS juga anjlok, dari 33 ribu barel
menjadi 21 ribu barel per hari dalam rentang waktu yang sama. Banyak
fasilitas produksi minyak mereka hancur akibat serangan koalisi pimpinan AS.
Sekitar 50% pendapatan IS berasal dari penarikan pajak dan penyitaan, 43%
dari minyak, dan sisanya dari penyelundupan obat-obat terlarang, penjualan
listrik, dan donasi.
Saat
ini IS masih menjadi kekuatan di Irak di Suriah. Namun, kekalahan mereka di
berbagai front, berkurangnya sumber daya manusia, serta penurunan pemasukan
mereka yang signifikan meningkatkan tantangan bagi IS dalam mengelola
teritorial untuk jangka waktu panjang. Sekiranya AS mau berkoordinasi dengan
Rusia dalam serangan mereka ke IS, tentu eksistensi IS akan lebih cepat
berakhir. Namun, Washington menolak berkoordinasi dengan Moskow karena selain
menyerang IS, Rusia juga menyerang kelompok oposisi Suriah yang didukung AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar