Menimbang Nasib Oposisi
Adi Prayitno ;
Dosen Politik UIN Jakarta; Peneliti The Political Literacy Institute
|
KORAN SINDO, 30 Mei
2016
Konstelasi
politik nasional seketika berubah setelah Golkar secara resmi keluar dari
Koalisi Merah Putih (KMP) dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan
Jokowi-JK lewat keputusan munaslub yang digelar di Bali pada pertengahan Mei
lalu.
Bergabungnya
Golkar ke pemerintah seakan menjadi lonceng kematian bagi hadirnya oposisi
yang kuat. Matinya oposisi tentu saja merupakan ancaman serius bagi minimnya
pengawasan dan keseimbangan (check and
balances) yang lazimnya ada dalam setiap pemerintahan yang demokratis.
Padahal,
di masa awal terbentuknya kabinet Jokowi-JK, KMP menjelma sebagai kekuatan
penyeimbang yang dominan dengan kontrol politik signifikan di parlemen. Sepak
terjang KMP juga sempat merepotkan barisan koalisi partai pendukung
pemerintah. Sebut saja misalnya dalam kasus revisi Undang-Undang No 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang berhasil dirombak oleh
KMP, yaitu pemenang pemilu legislatif tak lagi secara otomatis bisa memimpin
DPR.
Bahkan
KMP membuat pemerintah kerepotan dengan manuver politik yang mereka mainkan.
Hampir setiap kebijakan pemerintah diinterupsi dan dilawan. Akibatnya relasi
antara eksekutif dan legislatif berlangsung dalam kecurigaan dan saling
menegasi. Hubungan tak harmonis antara eksekutif dan legislatif memperkuat
sinyal betapa sistem presidensial tidak kompatibel dengan multipartai ekstrem
seperti yang terjadi di Indonesia.
Sistem
presidensial akan berjalan dengan baik jika hanya ada dua partai atau dalam
sistem dengan jumlah partai sedikit. Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism, and
Democracy: The Difficult Combination (1993) menyebut kelemahan sistem
presidensial multipartai adalah kemungkinan terjadinya kelumpuhan (deadlock) akibat konflik eksekutif dan
legislatif.
Pemisahan
kekuasaan eksekutif dan legislatif dianggap bisa membuka ruang terjadinya
pemerintahan yang terbelah, yakni presiden dan parlemen dikuasai oleh
kekuatan partai politik yang berbeda. Munculnya dua kubu KMP dan KIH di awal
masa kabinet kerja Jokowi-JK dalam banyak hal telah membuat kedua lembaga
negara tersebut berjalan seimbang. Namun pada saat bersamaan, kuatnya oposisi
yang diperankan KMP berimplikasi pada kinerja pemerintah yang stagnan dan tak
produktif.
Koalisi Rapuh
Meski
kekuatan oposisi tak lagi signifikan, hanya menyisakan Gerindra dan PKS,
bukan berarti gejolak politik otomatis juga mereda. Justru di sinilah letak
tantangan utama yang sebenarnya akan dihadapi Jokowi-JK ke depan, yakni
mengelola koalisi tambun secara ajek demi menjaga stabilitas politik internal
partai pendukung.
Gemuknya
postur dukungan terhadap pemerintah bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa
menjadi kekuatan signifikan untuk memuluskan program prioritas. Namun di sisi
lain bisa menjadi batu sandungan karena potensi terjadinya friksi antarpartai
pendukung. Bukan tak mustahil, oposisi justru akan muncul dari partai
pendukung karena beda sikap dengan pemerintah.
Inilah
salah satu cacat bawaan sistem presidensial multipartai, yakni sulit
melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai pendukung
pemerintah. Problem pelembagaan koalisi bersumber pada tidak adanya basis
kesepakatan politik yang mengikat partai yang saling berkoalisi. Koalisi yang
terbentuk bersifat ad hoc, dadakan, serta memiliki kecenderungan transaksional.
Akibatnya,
bukan hanya bongkar pasang menteri yang kerap terjadi seperti di era
Abdurrahman Wahid, melainkan juga berimplikasi pada munculnya “oposisi dari
dalam” seperti yang telah dilakukan Golkar dan PKS terhadap Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam kasus Bank Century dan kenaikan harga BBM. Koalisi
rapuh ini juga berdampak pada lemahnya disiplin partai dalam mempertahankan
sikap dan prinsip politik mereka.
Kasus
bubarnya Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan pada periode pertama
pemerintahan SBY memperlihatkan bahwa koalisi hanya dijadikan ajang merebut
sumber kekuasaan ketimbang membangun kinerja nyata. Oleh karena itu, koalisi
harus didasarkan pada kontrak politik jelas yang berbasiskan kesamaan
ideologi, platform perjuangan, dan program kerja.
Bukan
koalisi yang hanya mengejar pos menteri. Begitu pun dengan Jokowi-JK, bukan
karena demi stabilitas pemerintahan, semua partai direkrut masuk. Sebab,
dalam logika sistem presidensial, seorang presiden tak bisa diturunkan di
tengah jalan oleh siapa pun, termasuk oleh parlemen tanpa alasan yang jelas.
Keharusan Oposisi
Jika
menimbang dinamika di atas, sesungguhnya arah politik Indonesia ke depan
masih tetap akan bergerak dinamis. Melemahnya kekuatan oposisi membuat
pemerintahan Jokowi-JK memang nyaris tanpa kontrol berarti. Akan tetapi
tambunnya postur koalisi pendukung pemerintah masih memungkinkan terjadinya
pengelompokan baru di parlemen akibat konflik internal antarpartai pendukung.
Terlepas
dari minimnya kekuatan oposisi di parlemen, kehadiran oposisi adalah
keniscayaan dalam sebuah sistem politik yang demokratis. Publik menaruh
harapan besar kepada Gerindra dan PKS untuk tampil konsisten sebagai oposisi
pemerintah. Dalam politik, kekuasaan harus dimaknai sebagai sesuatu yang
memiliki kecenderungan menyimpang dan disalahgunakan.
Sebab
itu kekuasaan harus dikontroldandiawasi. Mengutip tulisan Juan Linz, The Perils of Presidensialism dalam
Journal of Democracy (1990), seorang presiden yang dipilih secara
langsung berpotensi mengancam demokrasi. Sebabnya ada dua. Pertama, munculnya
personalisasi kekuasaan karena presiden terpilih mendapat legitimasi dari
rakyat. Oleh karena itu, presiden kerap bertindak sewenangwenang dan anti
kritik. Kedua, karena adanya rentang waktu pemerintahan yang tak dapat
disela.
Seperti
jabatan presiden selama 5 tahun tak bisa diganggu gugat maupun diturunkan di
tengah jalan. Karena kecenderungan seperti itulah kehadiran oposisi kuat
diperlukan guna menjaga keseimbangan kekuasaan. Hadirnya oposisi bukan hanya
berfungsi sebagai mekanisme kontrol kekuasaan, melainkan juga pada perannya
dalam melakukan kritik kepada pemerintah.
Meski
tak populer, pilihan menjadi oposisi sama terhormatnya dengan menjadi
penguasa. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan partai oposisi untuk
memainkan peran secara signifikan. Pertama, membangun isu yang lebih
substantif bukan normatif. Di sinilah letak pentingnya kekuatan ide sebagai
motor utama penopang oposisi. Kedua, partai oposisi harus menjadi minoritas
kreatif.
Meski
kalah jumlah, Gerindra dan PKS tak perlu patah arang. Dalam sistem
presidensial multipartai, migrasi dukungan partai politik bergerak dinamis
yang bisa terjadi setiap saat tanpa diduga. Akhirnya, apa pun alasan
pemerintah dalam membangun koalisi tambun itu, sikap kritis tak boleh
dihilangkan Gerindra dan PKS. Sebab akumulasi kekuasaan yang terlalu tambun
tentu akan menghilangkan kontrol terhadap pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar