Rektor Asing
Bramastia ;
Analis Kebijakan Pendidikan
Tinggi; Menyelesaikan Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Sebelas
Maret, Surakarta
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Seusai
mengunjungi kampus Universitas Negeri Surabaya, Menteri Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi M Nasir mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo mengarahkan
agar pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas dunia.
Menteri
itu mengungkapkan bahwa Tiongkok, Singapura, dan Arab Saudi memakai orang
asing sebagai rektor. King Saud University dulu tak diperhitungkan karena
peringkatnya di luar 500 besar dunia, tetapi sekarang sudah masuk peringkat
200 dunia karena memakai orang asing sebagai rektor.
Pada
hemat penulis, ambisi sang menteri merekrut rektor asing adalah mengarahkan
pendidikan tinggi supaya mampu bersaing di kelas dunia. Makna kelas dunia
adalah harapan perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam setiap pemeringkatan
yang dilakukan lembaga internasional. Andai impian berkelas dunia yang
dijadikan tujuan utama pemerintah dengan merekrut rektor asing, kiranya
pemerintah salah memahami apa yang dimaksud dengan universitas berkelas
dunia.
Sungguh-sungguh
Kalangan
akademisi tahu dan paham bahwa impian kampus di Indonesia rata-rata ingin dan
senantiasa terus berorientasi menjadi universitas berkelas dunia. Mimpi
tersebut sangat bagus serta layak dan harus diperjuangkan bersungguh-sungguh.
Menariknya, perjuangan menuju universitas berkelas dunia itu ternyata
sungguh-sungguh diupayakan semua kampus di Tanah Air.
Untuk
menggapai tujuan universitas berkelas dunia, hampir semua kampus sekuat
tenaga untuk naik kelas dalam pemeringkatan yang banyak diacu oleh Indonesia,
yakni Times Higher Education Supplement
(THES), Quacquarelly Symonds (QS) dan
Webometric. Masing-masing berlomba-lomba meningkatkan kualitas lembaga
dengan segala sumber dayanya untuk membangun cap menuju universitas berkelas
dunia.
Menjadi
universitas berkelas dunia menjadi syarat utama bagi Indonesia jika ingin
maju dan bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri meskipun ukuran dan
pengertian universitas berkelas dunia yang ditulis ahli hingga saat ini masih
belum memberi kejelasan secara pasti. Seakan-akan mengejar predikat itu
adalah pekerjaan semu yang tak akan ada habisnya.
Realitas
ini terjadi akibat perasaan subyektif dari tiap institusi dalam mengambil
rujukan pada aspek reputasi tanpa ada contoh konkretnya. Tolok ukur atas
universitas berkelas dunia yang dikemukakan dan disarikan dari beberapa
literatur terkesan ”subyektif” dan ”relatif”. Banyak perspektif yang dapat
digunakan dalam memahami universitas berkelas dunia mengingat pengertian yang
bervariasi dan belum adanya kesepakatan.
Akibatnya,
para pemangku kepentingan memiliki pemahaman universitas berkelas dunia
secara berbeda-beda pula. Meskipun demikian, secara garis besar semua
definisi universitas berkelas dunia mengacu kepada lingkup internasional
dengan penilaian dan pengakuan berskala internasional. Secara garis besar,
pengertian universitas berkelas dunia dipahami sebagai mekanisme pemeringkatan
dalam skala internasional. Ironisnya, untuk menuju universitas berkelas dunia
ditempuh berbagai cara yang terkadang jauh dari napas dan roh pendidikan
nasional, salah satunya adalah merekrut rektor asing.
Nasionalisme pendidikan
Pemerintah
Indonesia harus belajar dari sejarah Hindia Belanda: tahun 1867 berambisi
membentuk departemen masalah pendidikan yang disebut sebagai Departement van Onderwijs en Eredienst.
Keberadaan Departement van Onderwijs en
Eredienst bertujuan agar penduduk bumiputra, Tionghoa, dan golongan lain
mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan Barat sebagai dasar utama
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Padahal, di balik tujuan itu ialah
mengurangi dasar pendidikan nasional, semisal patriotisme, gotong royong, dan
berdikari.
Dalam
bahasa penulis, departemen itu merupakan roh halus dari liberalisasi yang
berkelindan dan menyusup ke relung pendidikan nasional. Liberalisasi asing
makin leluasa bergerak untuk menghancurkan sendi pendidikan melalui dalih
”bahasa” internasionalisasi pendidikan tinggi.
Inisiatif
merekrut rektor asing adalah bukti bahwa bangsa Indonesia kini sudah tidak
percaya diri lagi meskipun memakai dalih kebutuhan asing yang mendesak di
tengah derasnya persaingan global pendidikan tinggi.
Para
pemangku kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia perlu mengingat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 31 Ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa
pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan tinggi
kita harus dijaga serta dijauhkan dari nilai-nilai yang merusak karakter
ataupun aspek nasionalisme bangsa.
Andaikan
pemerintah memutuskan untuk liberalisasi sektor pendidikan tinggi, tidak
berarti pemerintah lantas kehilangan hak dalam mengatur kebijakan
internalnya.
Liberalisasi asing
Adalah
wajar bahwa wacana rektor asing membuat khawatir banyak pihak pendidikan
tinggi. Istilah ”liberalisasi rektor asing” dapat terjadi. Liberalisasi
rektor asing ibaratnya melahirkan kembali ”aktor swasta” yang menambahkan
nilai kompetitif bagi dan antarsesama penyedia jasa pendidikan tinggi.
Dengan
bermodal rektor asing, pendidikan tinggi kita makin masif bersaing serta
bebas membentuk branding pengakuan internasional institusi. Rektor asing
menjadi ujung tombak perguruan tinggi untuk berjuang dan berlomba meraih akreditasi
yang terbaik dari lembaga akreditasi nasional maupun internasional.
Implementasi
Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 26 Tahun 2015 semestinya mampu membendung
laju liberalisasi asing, termasuk rektor asing. Otonomi pendidikan tinggi
telah memberikan ruang bagi perguruan tinggi meliberalkan rektor asing untuk
keluar masuk kampus sembari menggilas kaum akademisi di dalam negeri.
Pemerintah
seharusnya memberikan proteksi bagi kaum akademisi dalam negeri, bukannya
meliberalkan rektor asing bebas di negeri kita karena bagi perguruan tinggi
yang sudah mampu dari sisi finansial, mendatangkan rektor asing semudah
membalik telapak tangan.
Ketika
posisi rektor perguruan tinggi sudah diliberalkan, penulis yakin banyak
negara yang langsung menyerbu untuk mengambil peluang sebagai rektor asing.
Pemerintah harus waspada apabila praktik liberalisasi berdampak pada sisi
prosedur regulasi, di mana peran pemerintah sering dihalang-halangi untuk
menetapkan kebijakan yang dapat mengurangi keuntungan dari liberalisasi.
Untuk
itu, pemerintah tidak perlu terburu-buru meliberalisasi pendidikan tinggi
dengan mengangkat rektor asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar