Kelola Harga Pangan
Dwi Andreas Santosa ;
Guru Besar IPB; Ketua Umum
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia; Penasihat Persaudaraan
Mitra Tani Nelayan Indonesia
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Siklus
tahunan harga pangan jelang hari raya dimulai. Siklus tersebut seolah-olah
menjadi penyakit menahun yang sulit disembuhkan. Berkaitan dengan hal
tersebut, Presiden Jokowi bertekad dan memerintahkan para pembantunya untuk
membalikkan siklus tahunan tersebut sehingga harga diharapkan turun selama
bulan Ramadhan. Apakah fakta yang terjadi sesuai harapan Presiden?
Harga
beberapa komoditas pangan sudah mulai merangkak naik sejak awal 2016. Harga
daging sapi rata-rata nasional terus naik sejak Januari dan mencetak rekor
baru di minggu pertama bulan Juni ini sebesar Rp 113.823 per kilogram. Harga
daging ayam, setelah turun cukup tajam sejak bulan Januari 2016 dan mencapai
harga terendah di bulan April, mulai bergerak naik dengan kemiringan yang
cukup tajam dan mulai mendekati rekor tertingginya pada tahun 2015.
Pola
kenaikan harga yang cukup tinggi juga terjadi pada gula pasir, minyak goreng,
dan telor ayam ras yang masing-masing sudah naik sebesar 18,9 persen; 10,9
persen; dan 7,7 persen dibandingkan harga terendahnya tahun 2016. Harga
bawang merah tercatat sangat tinggi di bulan April 2016, yaitu Rp 43.547 per
kilogram atau naik sebesar 40,6 persen dibandingkan Februari 2016. Harga
bawang merah itu mengkhawatirkan banyak pihak, termasuk pemerintah, karena
mencetak rekor harga baru yang jauh lebih tinggi dibandingkan rekor harga
tertinggi tahun 2015.
Komoditas
pangan yang harganya relatif stabil hanya beras, tepung terigu, dan kedelai.
Harga beras sudah mulai turun setelah mencapai rekor tertingginya pada
Februari 2016, yaitu Rp 10.894 per kilogram (harga beras medium rata-rata
nasional). Harga beras di minggu pertama bulan Juni ini sudah turun 3,0
persen dibandingkan Februari. Penurunan harga beras ini lebih disebabkan
panen raya yang berlangsung sejak April. Hal lain yang ikut menyumbang
turunnya harga beras yang lepas dari pantauan masyarakat adalah impor beras.
Impor beras pada triwulan pertama (Januari-Maret 2016, Kementerian Pertanian)
sudah mencapai 0,982 juta ton, yang lebih tinggi dibandingkan total impor
beras tahun 2015 sebesar 0,862 juta ton dan 2014 (0,844 juta ton).
Diperkirakan impor beras pada 2016 ini di atas 2 juta ton.
Impor
tepung terigu melonjak sangat tinggi sebesar 3,0 juta ton hanya di triwulan
pertama atau meningkat 72,2 persen dibandingkan triwulan pertama tahun 2015
(Kementerian Pertanian 2015; 2016). Peningkatan impor tepung terigu yang
tajam ini kemungkinan digunakan sebagai antisipasi peralihan konsumsi beras
ke pangan berbahan baku terigu akibat mahalnya harga beras dan perkiraan
produksi padi yang lebih rendah di tahun 2016 serta wacana peningkatan ekspor
produk pangan berbasis terigu ke luar negeri.
Harga
kedelai juga relatif stabil sehingga harga produk turunannya terutama tahu
dan tempe diperkirakan juga stabil selama puasa dan Lebaran. Produksi dalam
negeri hanya menyusun 13,3 persen total kebutuhan kedelai di Indonesia,
sedangkan sisanya (86,7 persen) impor. Dengan demikian, tepung terigu dan
kedelai sudah terintegrasi sempurna dengan pasar internasional sehingga
perilaku pasar domestik tidak berpengaruh signifikan pada pembentukan harga
kedua komoditas tersebut dan produk turunannya.
Tidak
demikian halnya dengan gula dan jagung. Meskipun impor kedua produk tersebut
sangat tinggi dan terus meningkat tiap tahun (pada 2015 untuk gula sebesar
3,47 juta ton dan jagung 3,50 juta ton), proporsi produksi dalam negeri
terhadap total konsumsi masih cukup besar, yaitu 41,8 persen untuk gula dan
85,0 persen untuk jagung. Sebagai catatan, untuk jagung kemungkinan produksi
dalam negeri hanya sekitar 45 persen dari yang dilaporkan selama ini dengan
proporsi produksi dalam negeri dibandingkan konsumsi mencapai 73,8 persen.
Dengan demikian, dinamika produksi dan pasar dalam negeri masih signifikan
berpengaruh terhadap pembentukan harga di tingkat konsumen.
Tata kelola harga
Melihat
dinamika harga pangan tersebut, cukup naif jika kemudian disimpulkan bahwa
untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri, maka serahkan
pembentukan harga domestik ke pasar internasional melalui pembukaan impor
pangan besar-besaran. Hal itu pernah disarankan Deputi Dirjen Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan, ketahanan pangan nasional harus
diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur oleh
WTO. Selain itu, banyak literatur terkait kebijakan pangan yang juga menyampaikan
pendapat yang sama.
Indonesia
pernah menerapkan kebijakan tersebut pada Januari 1999 hingga Januari 2004,
terutama untuk beras. Pada periode tersebut, Indonesia menerapkan kebijakan
impor terbuka dan monopoli impor oleh Bulog dihapus. Harga beras stabil dan
praktis tidak mengalami kenaikan selama lima tahun. Perbedaan harga beras
domestik dengan internasional juga relatif kecil. Periode tersebut juga
ditandai dengan impor beras rata-rata di atas 1 juta ton tiap tahun serta
menjadi penanda hancurnya produksi kedelai dan petani kedelai nasional.
Menyerahkan total sistem pangan nasional ke perdagangan pangan dunia sungguh
sangat berisiko dan memiliki dampak jangka panjang yang tidak dapat balik.
Musim
Semi Arab (Arab Spring) memberi
pelajaran yang sangat berharga untuk dunia. Kajian New England Complex Systems Institute, Cambridge, Amerika
Serikat, menyimpulkan bahwa dari berbagai faktor yang ada, peningkatan harga
pangan internasional yang tajam merupakan penyebab utama kerusuhan sosial dan
hancurnya beberapa negara di Afrika Utara dan Timur Tengah di tahun 2011
(Lagi dkk, 2011). Kehancuran yang hingga hari ini belum tersembuhkan dan
menyebabkan krisis kemanusiaan dan pengungsi terbesar pada abad ini.
Hal
kedua yang penting adalah perencanaan pangan berlandaskan data yang akurat.
Pola produksi, stok, dan konsumsi pangan sesungguhnya tidak banyak berubah
setiap tahun. Ketiganya dapat dipelajari dan dikaji dengan tepat sehingga
kebijakan yang diambil juga tepat sasaran. Sayangnya, data produksi dan stok sering
kali dikaitkan dengan kinerja kementerian terkait dan besaran anggaran. Hal
ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang bias dan tidak akurat. Berkaitan
dengan hal ini, penulis pernah mengusulkan agar Presiden membentuk Unit
Intelijen Data yang bisa memberikan masukan kepada Presiden untuk memutuskan
kebijakan pangan (DA Santosa, ”Waspada Pangan 2016”, Kompas, 3/5/2016).
Dalam
skala internasional, institusi yang sama pernah diusulkan oleh Dirjen dan
Direktur International Food Policy
Research Institute (IFPRI) untuk mengantisipasi krisis pangan dunia yang
terus berulang. Joachim von Braun dan Maximo Torero mengusulkan dibentuknya The Global Intelligence Unit yang
memiliki kapasitas memprediksi harga pangan dunia dalam jangka pendek maupun
panjang berdasarkan data produksi dan konsumsi yang akurat, mendesain sistem
rentang harga pangan yang dinamis, serta melakukan intervensi ketika harga
melampaui rentang yang ada.
Pasar liberal dan peran
swasta
Ketiga,
sistem pangan di Indonesia saat ini tergolong liberal. Pemerintah praktis
hanya memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap beras. Kapasitas
tersebut juga sangat terbatas karena hanya menguasai 6-9 persen dari total
produksi. Sebagian besar beras dan hampir seluruh pangan lainnya dikuasai oleh
pelaku usaha, produsen, dan masyarakat. Dengan demikian, semua upaya
pemerintah untuk mengintervensi pasar hanya akan berdampak kecil.
Dalam
kondisi seperti ini, sektor swasta memainkan peran penting dalam upaya
merespons harga yang tinggi dan menghindari krisis pangan (Gilbert,
University of Trento, Italia, 2012). Dengan demikian, upaya menjalin
komunikasi dan konsultasi antara pemerintah dan sektor swasta perlu
diperbaiki. Hampir 1,5 tahun terakhir ini yang dilakukan justru sebaliknya,
yaitu memperbesar saling ketidakpercayaan dan mencari ”kambing hitam” ketika
gejolak harga pangan terjadi yang justru membikin situasi semakin runyam.
Keempat,
saat ini yang paling memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek adalah
melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak kenaikan
harga pangan menjelang Lebaran. Operasi pasar untuk kelompok masyarakat
rentan merupakan langkah taktis yang bisa lebih masif dilakukan, selain juga
mewujudkan ide ”Voucher Pangan”.
Sesungguhnya
masyarakat Indonesia dalam batas tertentu cukup pejal menghadapi situasi ini,
yaitu melalui gerakan gotong royong yang biasanya muncul di saat-saat kritis
mendekati hari raya, baik melalui pembagian makanan pada saat buka puasa,
kenduri, pasar murah yang diselenggarakan berbagai kalangan, maupun
upaya-upaya charity lainnya. Semoga kita bisa melewati Ramadhan dan Lebaran
ini dengan damai dan penuh berkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar