Menanti Detik-Detik
Peluncuran Satelit Archipelago BRIsat
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan; Akademisi
dan praktisi bisnis yang juga Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia; Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain
Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA
(2007)
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Saya
sedang berada di Paris dalam perjalanan menuju Cayenne, French Guyana di
dekat Venezuela. Putra saya, Adam, yang sedang kuliah di Amerika Serikat
bahkan sudah lebih dulu terbang ke Cayenne. Bahkan ia sudah sampai ke area
dekat Kurou. Sebagai fotografer (dia pernah magang di Harian Kompas), kakinya
gelisah begitu melihat potensi obyek foto.
Dari
bandara Cayenne, rencananya kami akan pergi ke Guyana Space Center,
menyaksikan peluncuran satelit milik bank pertama di dunia: BRIsat.
Rekan-rekan
saya, ilmuwan asal Prancis begitu bersemangat. Maklum, mereka tahu persis
Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar dan terpanjang di dunia.
Quality Control
Pembicaraan
terputus saat putra saya mengabarkan dari Cayenne bahwa peluncuran masih baru
akan diluncurkan beberapa hari. Waktu saya tanya, ia menjelaskan begini:
“Wajar, ini barang teknologi, quality control-nya
ketat. Begitu ada sedikit anomali, mereka periksa lagi.”
Anomali
itu ada pada tahap persiapan yang menemukan adanya kelemahan aliran bahan
bakar antara satu elemen dengan elemen lainnya. Jadi masalah teknis saja.
Alhasil,
rencana mempercepat peluncuran yang semula ditargetkan Juli yang akan datang,
mungkin masih bisa dilakukan pada bulan puasa ini. Namun, namanya juga
teknologi, ketekunan dan kehati-hatian besar amat dibutuhkan.
Kalau ini bisa
dilaksanakan, maka ini hadiah Lebaran yang bagus buat bangsa Indonesia dari
BUMN-nya, selain Terminal 3 Ultimate bandara Soekarno Hatta yang Insya Allah
akan dioperasikan segera.
Akhirnya
kita punya bandara kelas dunia juga yang tak kalah dengan negeri tetangga.
Juga kita saksikan bank nasional kita unjuk gigi dengan satelit barunya yang
membuat transaksi amat efisien.
Tapi
saya senang melihat jajaran pimpinan BRI mengambil keputusan. Soal risiko,
dihitung hati-hati, tetapi mereka bukan tipe penakut. Apalagi Asmawi Syam,
dirutnya saat ini, dikenal sebagai sosok yang pernah mengawal BRI di
masa-masa sulit saat bertugas di masa peralihan Timor Leste.
Ia
bahkan pernah diberikan penghargaan “Melakukan Tugas Melampaui Batas
Kemampuannya”.
Ya,
itu saat BRI tinggal menjadi satu-satunya bank milik NKRI yang masih buka di
Timor Leste. Padahal satu persatu pegawainya sudah hidup dalam ancaman
kematian.
Kalau
saja ia penakut, sudah pasti cabang itu ia tutup, kembali ke kantor
wilayahnya di Denpasar yang jauh lebih nyaman. Namun akibatnya daya dukung
pasukan tempur RI di sana tak ada yang membiayai.
Jadi,
siang tadi saya mengikuti penjelasan Asmawi saat membahas masalah teknis
tersebut. Saya pikir, memang lebih baik sedikit bersabar, toh hanya beberapa
hari saja.
Di
dunia internasional, saya membaca rilis dari Arianespace yang mengabarkan
bahwa mereka amat bersungguh-sungguh menantikan peluncuran satelit ke-533 dan
ke-534 sekaligus.
Jadi,
ini adalah babak baru peluncuran satelit dunia. Pada satu roket yang sama,
diluncurkan dua satelit seberat 9.840 kg. Satunya milik BRI, satunya lagi
milik EchoStar XVIII yang dioperasikan DISH Network LLC. Maka quality control amat diutamakan.
Ekonomi Archipelago
Jadi,
mengapa saya ikut-ikutan bersemangat? Bukannya apa-apa. Sebagai ilmuwan yang
sudah keliling habis hampir semua pulau-pulau di Nusantara ini, saya pernah
punya ide mengembangkan mata kuliah baru, lengkap dengan buku teksnya: Ekonomi Archipelago.
Topik
ini juga sudah saya diskusikan dengan beberapa ilmuwan dari beberapa negara.
Tentu saja mereka merasa ada sesuatu yang baru.
Maklum,
Indonesia adalah archipelago terbesar dan terpanjang di dunia ini. Asal Anda
tahu saja, di dunia ini, perekonomian yang kita pelajari selama ini adalah
ekonomi mainland, semuanya serba
darat.
Negara
mengontrol ekonomi point-to-point
dalam satu kontinen daratan. Begitulah Eropa, Rusia, Tiongkok, Timur Tengah,
Afrika dan Australia.
Begitu
antarpulau, kita semua tahu, disparitas, cost
structure, leadership, infrastruktur dan aneka kesulitan selalu timbul.
Maka
mengelola ekonomi kepulauan itu dapat diibaratkan seperti Amerika Serikat
mengawal dunia memakai kapal individu dengan pulau-pulau yang beragam potensi
ekonomi dan disparitasnya.
Jangankan
soal antarpulau, menteri pada kabinet yang sama saja bisa berbeda pendapat
dalam menentukan dimana lokasi fasilitas pengelolaan Blok Masela di darat
atau di laut. Tentu saja point of view-nya
bukan cuma ekonomi belaka.
Nah,
di dunia ini, selain Indonesia, memang masih ada beberapa negara yang basis
ekonominya archipelago, yaitu Jepang, Filipina dan Maladewa. Tetapi
pulau-pulau mereka tak sebanyak kita. Demikian juga perbedaan alam dan
budayanya.
Maka
bagi saya, ekonomi kelautan, bukan cuma masalah transportasi. Ini soal
pengelolaan ekonomi.
Nah, apa kaitan
BRIsat dengan ekonomi archipelago tadi? Mengapa di dunia ini hanya baru bank
BRI yang tertarik mengembangkan satelitnya sendiri.
Begini,
selain masalah archipelago, kita tengah berada dalam era disruption. Disruption
sendiri dapat diartikan sebagai inovasi yang bisa membuat segala sesuatu yang
dilakukan incumbents bakal usang,
ketinggalam zaman.
Selain
itu, disruption biasanya dilakukan
dengan bisnis model baru yang berbeda dengan yang lama. Yang akibatnya,
mereka akan merusak pasar dengan posisi low
cost dan menawarkan pasar dengan biaya jauh lebih murah.
Ambil
contoh saja taksi online vs taksi konvensional lah. Sedangkan perbankan kini
sedang menghadapi ancaman serius dari fintech,
termasuk peer to peer lending dan crowdfunding. Wajar kalau BRI harus
mendalami strategi disruption.
Di
nusantara ini, asal Anda tahu saja, di pulau-pulau terpencil yang potensinya
besar, sering kali hanya BRI yang hadir.
Dari
catatan yang saya miliki, BRI memiliki lebih dari 10.600 cabang operasi,
dengan sekitar 240.000 electronic channel outlets dan 53 juta nasabah di
seluruh archipelago Nusantara.
Bayangkan,
berapa besar biaya yang bisa dihemat kalau bank ini mampu mendisrupsi bisnis
model-nya.
Pilihannya
bukan lagi change or die, tetapi disrupt or being disrupted.
Alhamdulilah
saat ini saya dengar masalah yang dihadapi pembuat satelit BRIsat mulai
ditemukan. Rupanya itu hanya masalah teknis ringan. Sekarang sedang
diperbaiki.
Saya
masih menunggu di Paris, sementara putra saya sudah menjelajahi bumi selatan
Amerika.
Dari
Cayenne, ia sudah melipir ke Suriname, menemui keluarga-keluarga Indonesia
yang sejak puluhan tahun lalu bermigrasi ke sana. Kadang saya terkekeh-kekeh
saat ia menceritakan Pak Suwito yang bekerja di Arianespace, berbaju batik
dengan celana bahan, tapi ia berbicara dalam bahasa Perancis berlogat Jawa
tapi tak bisa berbahasa Indonesia.
Rambutnya
panjang sampai ke kaki, jadi kata Adam, ia amat mirip dengan dukun di sini.
Putranya
diberi nama Gudel, dan ia baru saja tahu bahwa gudel adalah julukan anak
kerbau di Jawa.
Kini
putra-putri Suriname keturunan Jawa yang bekerja di Areanespace begitu
bergairah menanti peluncuran BRIsat.
Kita
doakan yang terbaik, dan mulai sekarang harus ada ekonom yang mendalami
ekonomi archipelago. Sebab big data
analitics-nya sebentar lagi sudah ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar