Operasi Bulog Keluar dari Pakem
Sapuan Gafar ; Mantan
Wakabulog
|
KOMPAS, 02 Juni 2016
Kekisruhan operasi
pasar Bulog dalam rangka stabilisasi harga pangan terus dikeluhkan.
Sebenarnya sejak 2011 operasi Bulog sudah keluar dari pakem yang biasa
dipakai sebagai pedoman dasar sejak 1970.
Mengapa hal itu
terjadi dan apa konsekuensinya?
Operasi Bulog
didasarkan pada teori bufferstock yang diadopsi dari operasi bufferstock
untuk karet. Untuk beras dikenal sebagai ”teori waduk”, pada saat musim hujan
menampung air yang berlebih, kemudian dialirkan pada musim kemarau.
Untuk penerapan teori
waduk diperlukan tiga instrumen pokok. Pertama, kebijakan harga dasar (floor price) yang harus dijaga oleh
pemerintah, dalam hal ini oleh Bulog. Apabila harga cenderung turun di bawah
harga dasar, diperlukan intervensi untuk menyerap surplus musiman sampai
harga dasar aman.
Kedua, kebijakan harga
batas atas (ceiling price) untuk
ancar-ancar kapan diperlukan operasi pasar apabila harga cenderung naik di
atas harga yang dikendalikan. Ketiga, antara harga batas bawah dan harga
batas atas harus ada selisih harga yang cukup merangsang perdagangan
antarmusim dan antardaerah dengan memperhitungkan ongkos simpan, susut, dan
biaya angkut.
Oleh karena sistem
operasi Bulog berdasarkan teori waduk, terdapat ciri-ciri khas yang
membedakan dengan perusahaan pada umumnya. Pertama, tak mengenal target
jumlah yang akan dibeli, perencanaan didasarkan pada prognosis. Jika harga
gabah/beras sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP), tak ada kewajiban
untuk membeli (intervensi pasar). Prognosis dapat berubah di tengah jalan,
misalnya terjadi kekeringan atau perubahan kebijakan pemerintah.
Kedua, tidak berebut
barang di pasar apabila harga gabah/beras sudah di atas HPP. Ketiga, tidak
membentuk jaringan pembelian sampai petani sehingga tidak menyiapkan
infrastruktur untuk keperluan itu. Keempat, Bulog hanya beroperasi saat ada
surplus musiman dan hanya membeli di daerah surplus produksi.
Kelima, prinsip saling
menjamin, pemerintah mengeluarkan anggaran untuk program peningkatan produksi
padi, hasilnya dijamin oleh Bulog untuk dibeli sesuai dengan aturan yang
berlaku. Untuk itu Bulog mendapat kemudahan kredit yang dijamin oleh Menteri
Keuangan, sedangkan Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena
adanya jaminan anggaran yang digunakan untuk cadangan beras pemerintah dan
raskin.
Mengapa keluar pakem?
Perubahan mendasar
pada pemasaran beras terjadi sejak 1990-an dan perubahan lebih besar lagi
terjadi setelah krisis moneter 1997/1998. Perubahan pertama terjadi pada
1990-an dengan mulai berkembangnya perdagangan beras yang dibungkus dalam
kemasan plastik 5 kg dan 10 kg disertai merek tertentu.
Muncul pula permintaan
beras kristal yang dipoles dengan mesin khusus (KB). Ternyata inovasi ini
mendapat respons baik dari konsumen yang didukung munculnya supermarket di
kota- kota besar. Dengan demikian, mulai terjadi perubahan perdagangan beras
yang sebelumnya dalam bentuk curah dengan kemasan 100 atau 50 kg menjadi
kemasan kecil dan bermerek.
Perubahan kedua yaitu
berkembangnya penggilingan keliling yang di Yogyakarta dinamakan mesin
grandong. Penggilingan keliling ini menggunakan mesin Engelberg untuk
mengupas kulit dan menyosoh, yang hasil berasnya mengandung butir patah yang
tinggi.
Kelebihan penggilingan
padi keliling adalah menjemput bahan baku di depan pintu rumah petani. Karena
itu, kini terjadi perebutan bahan baku gabah yang ketat antara penggilingan
padi keliling, penggilingan kecil, dan penggilingan besar. Di Kabupaten
Bantul saja jumlah mesin grandong diperkirakan mencapai 700 buah lebih.
Selanjutnya, terjadi
spesialisasi pengolahan gabah/beras, penggilingan kecil dan penggilingan
keliling menghasilkan ”beras asalan” dengan kadar air beras lebih dari 14
persen dan beras patah lebih dari 30 persen. Beras asalan ini kemudian diolah
oleh penggilingan besar menjadi beras kualitas medium dengan broken berkisar
15-20 persen atau menjadi kualitas premium dengan memoles yang lebih bening
lagi dan mengurangi beras patahnya yang selanjutnya dikemas dalam kemasan
kecil.
Perubahan ketiga,
mulai 2008-2010 para pemodal besar ikut meramaikan perdagangan beras, mereka
sangat gesit menyerbu pasar gabah dan beras asalan untuk memenuhi langganan
mereka berupa beras kelas medium yang dicirikan dengan kemasan curah 50 kg
dan beras kelas premium yang dicirikan kemasan 5 kg dan 10 kg dengan merek
tertentu serta beras kelas super dengan aroma khas yang hanya dapat
dihasilkan dari daerah tertentu (ethnic rice).
Sebagai konsekuensi
perubahan pasar dan pemasaran beras tersebut, mulai 2011 Bulog sulit
mendapatkan beras sesuai persyaratan kualitas seperti yang di dalam instruksi
presiden disebut beras kelas medium. Hal ini sebenarnya akibat perebutan
bahan baku berupa gabah dan ”beras asalan” sehingga membuat harga pembelian
Bulog yang ditetapkan oleh pemerintah selalu di bawah harga pasar.
Oleh karena tekanan
pemerintah dan publik bahwa Bulog kalah dengan swasta, mulai 2011 Bulog
mengatasinya dengan mengalah pada keadaan pasar dengan berebut barang di
pasar sehingga akhirnya terjadi keluhan-keluhan penerima raskin.
Keadaan yang sama juga
terjadi pada pemerintahan Jokowi, karena manajemen Perum Bulog dianggap
lamban dalam pembelian beras pada 2015. Dua direkturnya dicopot sekaligus,
tetapi ini tidak menyelesaikan masalah karena pembelian juga tidak mencapai
target.
Model swasembada
Sebenarnya, kekisruhan
operasi Bulog ini diakibatkan oleh kesalahan kita dalam melihat model
swasembada beras yang masih melihat keadaan kita sama dengan 30 tahun yang
lalu. Padahal, keadaan yang kita hadapi sudah berubah, paradigmanya sudah
berubah dari komoditas menjadi produk. Ciri pemasaran dalam bentuk produk itu
antara lain orientasi konsumen didasarkan pada market driven atau didorong
oleh pasar. Padahal, cara berpikir adalah bagaimana memproduksi
sebanyak-banyaknya dengan tidak memedulikan kemauan konsumen.
Karena itu, model
swasembada ke depan dalam era perdagangan bebas ASEAN disarankan berupa
swasembada dalam pengertian ”surplus neraca perdagangan pangan”. Komoditas
dan produk yang mempunyai daya saing didorong untuk diekspor, termasuk beras
jenis tertentu.
Kita punya produk
beras hitam dan beras merah untuk melayani permintaan khusus bagi mereka yang
diet dan penderita diabetes sehingga perlu dikembangkan untuk dalam negeri
dan ekspor. Beras aromatik dari Sulawesi Selatan yang disukai konsumen Timur
Tengah pun perlu didorong untuk bisa diekspor.
Neraca perdagangan
pangan kita sebenarnya sudah surplus sejak 1990-an karena didukung oleh
ekspor hasil perkebunan pangan dan perikanan. Untuk itu, perlu terus didorong
guna menutup defisit impor biji-bijian dan ternak/daging.
Tugas Perum Bulog
adalah fokus untuk memelihara cadangan pangan (cadangan beras pemerintah,
ASEAN Food Security Reserve dan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve
(APTERR), yaitu Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan), serta melayani pelanggan
PSO/komersial serta perdagangan internasional.
Dalam rangka sinergi,
tugas Perum Bulog diharapkan ditingkatkan menjadi perusahaan holding di
bidang pangan yang bersinergi dengan perusahaan yang bergerak di bidang
produksi, industri pengolahan, logistik (angkutan dan pergudangan, bongkar
muat), perdagangan, dan lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar