Natuna Milik RI, Airnya Milik RRT?
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Ternyata Indonesia
tidak memiliki pandangan yang sama tentang Laut Tiongkok Selatan yang
diperebutkan beberapa negara atas klaim tumpang tindih kedaulatan. Pada Senin
(13/6), Presiden Joko Widodo memanggil para pembantunya membahas soal
perbedaan pandangan di antara para pejabat negara, dan Menko Polhukam
mengatakan akan menentukan sikap Indonesia di Laut Selatan (Kompas, 14/6).
Banyak persoalan
Indonesia terkait dengan Laut Tiongkok Selatan, terutama menjelang putusan
Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) untuk mengeluarkan pandangan atas
permintaan Filipina, khususnya terkait 9 garis putus-putus (9-DL) Tiongkok
maupun status pulau, karang, beting, dan lainnya. Walaupun selama ini
Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan di wilayah itu,
keputusan PCA akan berdampak pada banyak persoalan lain yang dihadapi
Indonesia.
Selama ini, banyak
pihak, khususnya di lingkungan ASEAN, berharap Indonesia memainkan peranan
yang lebih besar daripada hanya sekadar mediator yang tidak berpihak. Tetapi,
pada kenyataannya, dalam persoalan ini keberpihakan Indonesia tidak cukup
hanya menyatakan 9-DL ilegal, karena tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (UNCLOS).
Setidaknya ada
beberapa faktor perlu diperhitungkan Indonesia. Pertama, banyaknya kapal ikan
Tiongkok menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan Indonesia,
mengganggu program pemerintah membenahi sistem perikanan nasional yang selama
ini dicuri kapal-kapal asing. Ini merugikan Indonesia setiap tahun sekitar 20
miliar dollar AS.
Kedua, patroli penjaga
pantai RRT dalam beberapa kali insiden berani masuk ke perairan Indonesia
dalam upaya mencegah penahanan kapal nelayan RRT yang ditangkap Indonesia.
Bahkan, dalam insiden terakhir pada akhir bulan Mei lalu, kapal penjaga
pantai RRT sudah mendekati jarak 50 kilometer dari perairan teritorial
Indonesia di Pulau Natuna.
Dan ketiga, di kapal
ikan Guibei Yu 27088 yang ditangkap oleh KRI Oswal Siahaan-354 (OSA-354)
kedapatan peta berjudul Nansha yuchang zuoye tuji (Atlas Kawasan Penangkapan
Ikan Spratly). Pada halaman 3 peta, seluruh perairan di sekitar Kepulauan
Natuna dianggap sebagai wilayah penangkapan ikan lengkap dengan angka-angka
acuan ke peta yang lebih rinci.
Artinya, pernyataan
Beijing yang sering disampaikan melalui juru bicaranya, menyembunyikan adanya
kepentingan nasional RRT di perairan Kepulauan Natuna. Beijing selalu
mengatakan RRT tidak keberatan apa pun atas kepemilikan Natuna oleh
Indonesia. Tetapi, wilayah perairannya adalah milik RRT sebagai kawasan
penangkapan ikan nelayannya.
Kolom ini akan tetap
bertanya, apakah pemerintah memahami mengenai eksistensi peta ini? Kalau
mengetahui adanya peta ini, apakah pemerintah pernah menyampaikan protes
secara diplomatik kepada Beijing? Atau, pemerintah mengetahui tetapi diam
saja dan membiarkan saja seolah-olah bukan masalah besar bagi kepentingan
nasional Indonesia?
Fitur wilayah
penangkapan ikan dalam peta RRT ini jelas tidak menghormati wilayah
kedaulatan perairan Indonesia. Dalam praktik negara bersahabat, seharusnya
RRT menanggapi dan menghapus fitur yang jelas dan nyata dinyatakan dalam peta
tersebut sebagai wilayah Indonesia.
Atau, kita bawa
masalah ini ke Tribunal International
for the Law of the Sea (ITLOS) membela kedaulatan dan hak kepentingan
nasional kita. Ini perlu tecermin dalam kesamaan pandangan pejabat negara
seperti keinginan Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar