Mewaspadai Musuh (Ideologis) Pancasila
Listiyono Santoso ; Staf Pengajar Ilmu Filsafat dan Etika
Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 01 Juni
2016
PANCASILA telah disepakati
founding fathers sebagai dasar
negara. Karena itu, wajar jika setiap rezim -mulai Orde Lama, Orde Baru,
hingga Orde Reformasi- selalu berusaha menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam praktiknya, setiap rezim belum mampu mempraksiskan Pancasila
menjadi kenyataan hidup sehari-hari. Banyak praktik berbangsa dan bernegara
kita yang kontraproduktif dengan Pancasila. Menguatnya intoleransi sosial,
ketidaksantunan berpolitik, kekerasan, praktik peradilan yang tidak adil, dan
sebagainya.
Gerakan reformasi hanya
menjadi involusi dalam praktik berbangsa kita. Gerakan yang tidak mengubah
apa pun, kecuali hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Ia tidak memberikan arah
bagi praktik berkehidupan kebangsaan, tetapi melahirkan kelas-kelas elite
yang memiliki modal untuk menjadi penguasa politik dan ekonomi. Kekuatan
pemilik modal tercipta untuk menyandera demokrasi permusyawaratan kita. Tidak
heran, jika dalam setiap pemilihan umum, hanya orang-orang yang memiliki
modal yang selalu memenangkan kontestasi politik.
Musuh
Ideologis Pancasila
Keinginan untuk
mengembalikan Pancasila sebagai jiwa bangsa kembali bergelora belakangan ini.
Kesadaran tersebut muncul di mana-mana. Mulai kalangan legislatif hingga
masyarakat pada umumnya. Keinginan mulia ini patut diapresiasi karena
berkeinginan mengembalikan perjalanan bangsa ke jalan yang benar. Meski
demikian, keinginan mulia ini akan menemui tantangan besar justru melalui
pengabaian bangsa ini terhadap pelembagaan nilai-nilai Pancasila. Persis saat
kita abai dalam waktu yang lama, masuklah nilai-nilai baru yang justru
memberikan warna dominan dalam pembentukan ideologi setiap generasi. Yakni,
liberalisme dan sektarianisme.
Diskursus ideologi kita
saat ini sesungguhnya bermuara dalam dua ideologi ini. Yang satu berwajah
humanisme liberal dengan praktik ekonomi kapitalis, gaya hidup bebas, dan
konsumtif. Yang satunya berwajah ''agamis'' dengan praktik fundamentalisme
agama. Formalitas agama menjadi bagian dari gaya hidupnya.
Musuh ideologi bangsa ini
bukan lagi komunisme, karena ideologi tersebut sudah selesai. Setiap ideologi
yang kontraproduktif dengan nilai kemanusiaan pasti akan mati dengan
sendirinya. Hanya, karena komunisme pernah memberikan luka sejarah, setiap
warga bangsa seolah menjadikan komunisme sebagai musuh bersama tiada akhir.
Pada saat yang sama, musuh ideologis Pancasila lainnya, yaitu
liberal-kapitalisme dan fundamentalisme sektarian, mampu memikat setiap
generasi menjadi pengikutnya.
Dua ideologi ini
berpotensi mencerabut warga bangsa dari kepribadian Pancasila. Karena tidak
vis a vis dengan Pancasila, warga bangsa tidak pernah menjadikannya musuh.
Sebaliknya, mereka justru mengakrabi dan mempraktikkannya. Tidak heran jika
dua ideologi ini begitu leluasa memberikan pengaruh pada setiap generasi. Ia
begitu mudah ditemukan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, bahkan
pendidikan formal kita.
Tidak salah Dennys Lombard
pernah mengatakan bahwa salah satu proses pembaratan banyak terjadi di
lembaga pendidikan. Sekolah-sekolah kita adalah sekolah-sekolah yang
mencerabut warga bangsa dari logika keindonesiaan. Sekolah kita tidak
mengajarkan keindonesiaan, melainkan berguru kepada ''Barat''. Cara berpikir,
gaya hidup, serta pandangan hidupnya khas dominan ''Barat''.
Di sisi lain, muncul pula
sekolah-sekolah berbasis agama yang bersifat segregatif. Memisahkan diri dari
kelompok lainnya. Model pengajarannya pun jauh dari cerminan nilai luhur
budaya Indonesia. Wajah keindonesiaan menjadi tidak muncul dalam lembaga
pendidikan seperti ini. Meletakkan dasar keagamaan bagi setiap generasi adalah
hal penting, tapi memberikan visi kebangsaan kepada setiap generasi juga
merupakan keharusan. Bagaimana meletakkan visi keagamaan dan visi kebangsaan
menjadi satu kesatuan merupakan keharusan yang tidak boleh terabaikan.
Generasi liberal dan
sektarian saat ini sudah terlahir. Ia bermukim dalam lembaga-lembaga
pemerintahan, di partai-partai politik, dan di kampus-kampus. Mereka yang
telah mengubah watak ekonomi kerakyatan menjadi ekonomi kapitalistis.
Mengubah demokrasi permusyawaratan menjadi demokrasi liberal. Tidak heran
jika ada kepala daerah yang memberikan ruang bagi ritel-ritel modern dan
membiarkan usaha kecil lambat laun mati.
Ada pula yang sibuk memberi izin
eksploitasi sumber daya alam, tanpa memperhatikan ekologi sosial.
Kampung-kampung di tengah kota digusur demi mal-mal dan apartemen-apartemen.
Generasi ini tidak memusuhi Pancasila, tapi mempraktikkan liberalisasi dan
sektarianisme dalam berbangsa.
Dunia kampus pun demikian.
Disesaki nalar liberal di satu sisi dan nalar sektarian di sisi lainnya.
Jangan-jangan teori-teori ilmiah yang dikembangkan dalam dunia akademik kita
adalah teori-teori yang kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasila.
Alih-alih memberikan kontribusi bagi penguatan kebangsaan, yang terjadi
justru memperlemah nalar kebangsaan generasi muda untuk kian antipati
terhadap Pancasila.
Inilah tantangan berat
dalam mempraksiskan nilai-nilai Pancasila. Ketika nilai-nilai Pancasila belum
tertanam secara kukuh, setiap generasi didoktrinasi oleh nilai liberal dan
sektarian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar