Perppu Saja Tidak Efektif
Farouk Muhammad ; Wakil ketua DPD masa bakti 2014-2019;
Guru
Besar pada PTIK dan UI Jakarta
|
JAWA POS, 02 Juni
2016
MERESPONS maraknya
kejahatan seksual terhadap anak akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo telah
menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak pada 25 Mei 2016. Melalui perppu
tersebut, pemerintah telah menetapkan kejahatan seksual terhadap anak sebagai
kejahatan luar biasa. Perppu itu dibuat dengan semangat untuk menimbulkan
efek jera terhadap pelaku dengan memasukkan kebiri kimia sebagai salah satu
ancaman hukuman.
Data Komnas Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa 58 persen dari seluruh kasus
kekerasan terhadap anak pada 2015 adalah kekerasan seksual. Komnas Perempuan
juga mencatat bahwa dari 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan pada
2015, kekerasan seksual menjadi kategori terparah bagi kekerasan terhadap
perempuan di ranah publik. Yakni sebesar 61 persen dari 5.002 kasus.
Kekerasan seksual juga menjadi kategori kedua tertinggi di ranah personal.
Terdiri atas pemerkosaan 72 persen (2.399 kasus), pencabulan 18 persen (601),
dan pelecehan seksual 5 persen (166).
Memprihatinkannya fenomena
sosial tersebut membuat banyak pihak juga secara gencar menyerukan agar
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas
dan disahkan. Berbeda dengan Perppu Perlindungan Anak, RUU itu akan mencakup
penanganan kekerasan seksual secara lebih luas, termasuk kaum perempuan.
Masyarakat
yang Sakit
Perlu dipahami, munculnya
sebuah UU semata tidak akan menghilangkan sebuah bentuk kejahatan. Sebab,
masyarakat adalah produsen dari permasalahan sosial yang menimpa mereka
sendiri.
Kenyataannya, kasus-kasus
pemerkosaan akhir-akhir ini terbukti terkait dengan beragam permasalahan
sosial. Misalnya lemahnya kontrol sosial terhadap remaja yang mabuk-mabukan
serta ketiadaan ruang publik atau sarana fisik untuk remaja (terutama
laki-laki) sehingga mereka terseret dalam kegiatan nongkrong, pergaulan
bebas, peredaran miras ilegal, dan pembegalan.
Melalui penelitiannya di
Palembang, Dadang Purnama (2013) lebih jauh menunjukkan bahwa kekerasan
terhadap anak dan perempuan juga terjadi secara terstruktur dan membudaya.
Yaitu terkait dengan kekerasan fisik yang terjadi sehari-hari di tengah
masyarakat dan bagaimana masyarakat memperlakukan mereka yang lemah pada
umumnya.
Robert Merton (1968)
mengatakan, kejahatan merupakan cerminan bahwa sebuah masyarakat mengalami
disfungsi normatif. Akibatnya, individu akan rentan melakukan kejahatan
karena mereka telah terbiasa dengan beragam penyimpangan yang terjadi.
Tanggung
Jawab Negara
Sebagaimana dipaparkan di
atas, negara perlu memahami konteks kekacauan sosial tempat sebuah kejahatan
terjadi. Menyikapi fenomena kekerasan terhadap anak semestinya tidak
dilakukan secara reaktif dengan memunculkan pemberatan ancaman hukuman.
Penelitian Losel dan Schmucker
(2005) bahkan menemukan bahwa kebiri adalah hukuman yang tidak efektif.
Sebab, pelaku kejahatan seksual pada umumnya tidak memiliki tingkat hormon
testosteron yang berlebih.
Peran
Negara dan Masyarakat
Kegagalan masyarakat dan
negara di atas menunjukkan bahwa penanganan kekerasan seksual tidak boleh
berhenti hanya sampai pengesahan sebuah perppu atau produk hukum. Dengan
beban tanggung jawab sosial seperti itu, bangsa kita yang sedang sakit perlu
memikirkan kembali format kehidupan bermasyarakat.
Everett Wilson (1971)
menyatakan, terdapat tiga peran yang perlu diajarkan kepada setiap insan
untuk membentuk mereka menjadi komponen masyarakat modern. Yakni peran
spesialis, peran koordinasi, dan peran sipil/integrasi.
Peran spesialis adalah
pembelajaran profesi, sedangkan peran koordinasi mendorong agar seseorang
dengan profesinya dapat memberikan sumbangsih kepada pembangunan masyarakat.
Peran sipil/integrasi adalah pembelajaran mengenai perilaku sosial keadaban.
Adapun pendidikan peran
sipil mengajarkan bagaimana seseorang harus dapat menghargai dan tidak
mencederai orang lain. Pembelajaran peran sipil/integrasi menjadi beban
tanggung jawab segenap masyarakat.
Pendidikan atas cara
berperilaku tersebut harus terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dan
tidak sekadar muncul apabila terjadi tindak kejahatan. Dengan koreksi sosial
yang disiplin seperti itu, setiap insan masyarakat akan terinternalisasi atas
pesan moral yang ingin ditegakkan (Kelman, 1958).
Karena itu, dalam
menangani kekerasan terhadap anak dan perempuan, segenap komponen masyarakat
Indonesia harus memiliki pemahaman yang sama terkait membangkitkan
solidaritas dan budaya anti kekerasan dan perlindungan. Pertama, masyarakat
dapat memunculkan kembali kontrol sosial dengan berpartisipasi aktif dalam
memonitor lingkungan mereka. Kedua, masyarakat harus kembali membangun budaya
saling peduli sebagai pranata sosial dan menegur mereka yang tak acuh.
Ketiga, negara dapat mendukung upaya masyarakat dengan menguatkan institusi
sosial setingkat RT/RW, desa, dan perkumpulan warga dalam memunculkan gotong
royong berkearifan lokal.
Dapat dipahami, penerbitan
perppu serta reaksi publik dalam menyikapi fenomena kekerasan seksual
terhadap anak dan perempuan akhir-akhir ini cenderung lebih bersifat reaktif,
bahkan emosional. Penghukuman berat pelaku akan menjadi adil jika negara dan
masyarakat telah menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya dalam membangun
kondisi kehidupan yang saling melindungi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar