"Melepaskan Diri" dari S&P
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
Tbk
|
KOMPAS, 13 Juni
2016
Sekitar minggu keempat
Mei lalu, gaung Indonesia akan mendapatkan predikat layak investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat
internasional Standard and Poor's begitu kuat dan menggema. Pemerintah sangat
optimistis, tahun ini saatnya Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi
dari S&P, mengikuti tiga lembaga pemeringkat internasional yang lain,
yaitu Moody's, Fitch, dan lembaga pemeringkat dari Jepang, R&I.
Tak ayal lagi, aura
optimistis ini menjalar positif di kalangan investor domestik dan asing,
pengusaha dan masyarakat. Pasar finansial begitu antusias dan bergairah
menunggu pengumuman dari Standard and Poor's (S&P) yang sempat berembus
di akhir Mei. Hanya sedikit yang menebak Indonesia tidak akan mendapatkan
predikat layak investasidari S&P dengan alasan prematur yang sulit
diterima.
Di luar dugaan, pada 1
Juni 2016, ternyata Indonesia gagal mendapatkan predikat layak investasi dari
S&P. Peringkat utang jangka panjang Indonesia hanya dipertahankan di BB+,
dengan prospek (outlook) positif, sama seperti tahun lalu (Mei 2015).
Sengatan tajam dari
S&P wajar menimbulkan banyak pertanyaan rasional dan emosional dari
pelaku ekonomi Indonesia dan investor asing. Mengapa S&P masih enggan dan
berani sendirian berseberangan dengan lembaga pemeringkat internasional
(Moody's, Fitch, dan R&I) yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan.
Sungguh ironis, sekitar lima tahun lalu, Indonesia sudah mendapatkan predikat
layak investasi dari Moody's, Fitch, dan R&I, tetapi tidak dari S&P.
Memang aneh.
Untuk itu, ada
baiknya, kita ambil hikmahnya saja, fokus berbenah ke dalam diri sendiri,
tidak perlu mengambinghitamkan orang lain. Kita terima saja dengan kepala
dingin apa yang menjadi catatan dari S&P untuk menggapai status layak
investasi suatu saat.
Tidak memperoleh
investment grade dari S&P, pada kenyataannya pasar finansial tidak
bereaksi negatif. Rupiah malahan menguat menjadi Rp 13.593 per dollar AS pada
3 Juni dari Rp 13.661 per dollar AS pada 1 Juni. Indeks harga saham naik ke
4.840 pada 3 Juni dari 4.844 pada 1 Juni. Sementara imbal hasil dari obligasi
RI bertenor 10 tahun relatif stabil, hanya sedikit koreksi dari 7,85 persen
pada 1 Juni menjadi 7,87 persen pada 3 Juni. Namun, Indonesia menjadi
kehilangan potensi cakupan investor yang lebih luas dan kemungkinan naiknya
harga aset finansial Indonesia.
Tak dalam waktu dekat
Oleh karena itu,
menarik untuk disimak apa yang menjadi catatan S&P dalam penilaiannya.
Indonesia mungkin akan mendapatkan status investment grade, dalam tahun ini
atau 12 bulan ke depan, jika pemerintah dapat memperbaiki kualitas belanja
negara, menunjukkan tren penurunan defisit fiskal dan utang pemerintah, serta
mereformasi subsidi BBM secara total dengan penyesuaian harga yang lebih
fleksibel.
Berdasarkan catatan
itu, tampaknya Indonesia akan sulit untuk mendapatkan peringkat layak
investasi dari S&P dalam waktu dekat. Apalagi, selama ini apa yang dilakukan
oleh S&P, variabel yang jadi fokus pengamatannya cenderung berubah-rubah
setiap tahun. Ditambah, dengan tuntutan perubahan yang drastis dalam waktu
yang singkat sehingga menjadi tantangan tersendiri.
Tahun 2014, S&P
kemungkinan menaikkan peringkat jika pemerintah melakukan reformasi subsidi
BBM untuk mengurangi kerentanan fiskal negara. Kemudian, tahun berikutnya,
2015, pemerintah disarankan untuk memperbaiki kualitas belanja negara, antara
lain harga BBM yang fleksibel mengikuti pergerakan pasar dan alokasi
investasi pemerintah yang tepat sasaran. Ternyata tahun ini, fokusnya
bergeser lagi ke hal yang lain.
Memang, harus diakui
bahwa pembenahan yang harus dilakukan Indonesia begitu banyak. Ketika satu
hal sudah dibenahi, maka ada pekerjaan rumah yang lain sudah menunggu untuk
jadi perhatian khusus. Dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK, sebenarnya
banyak kemajuan yang diperlihatkan oleh pemerintahan yang baru. Sebagai
contoh, yang tidak terlupakan dalam ingatan kita ketika pemerintahan
Jokowi-JK menghapus subsidi bensin dan hanya menyubsidi solar sebesar Rp
1.000 per liter pada 1 Januari 2015.
Suatu momen
bersejarah, pemerintah berhasil terbebas dari sandera subsidi BBM yang selalu
menjadi ganjalan berat APBN berpuluh-puluh tahun yang lalu. Akibatnya, tahun
2015, subsidi energi turun drastis 61 persen dari Rp 350 triliun menjadi Rp
138 triliun. Sementara pengeluaran untuk infrastruktur meningkat signifikan
menjadi Rp 312 triliun dari Rp 290 triliun pada tahun 2014.
Saya kira ini
pencapaian yang perlu diapresiasi dan kualitas pengeluaran yang jauh lebih
baik dari sebelumnya. Sayangnya, ini tidak cukup meyakinkan S&P bahwa
Indonesia layak mendapatkan peringkat layak investasi.
Ketika kita lagi
giat-giatnya membangun infrastruktur, muncul persoalan baru, yaitu bagaimana
pembiayaannya.
Pendanaan infrastruktur
Target pembangunan
infrastruktur senilai Rp 5.500 triliun dalam lima tahun adalah proyek yang
sangat ambisius. Pemerintah dalam setahun mungkin hanya bisa mengalokasikan
dana sekitar Rp 250 triliun-Rp 350 triliun sehingga ada kesenjangan yang
begitu besar untuk menutupi kekurangannya. Inilah yang menjadi perhatian
khusus dari S&P terkait dengan pembiayaan yang berujung pada defisit
fiskal dan utang pemerintah.
Kebutuhan pendanaan
infrastruktur tersebut memaksa pemerintah menaikkan target penerimaan pajak
secara signifikan. Akibatnya, target pajak menjadi sangat tidak realistis,
cenderung kontraproduktif, dan seolah menjadi sangat represif terhadap pelaku
ekonomi. Bukan tidak mungkin, jika hal ini berlangsung terus, pertumbuhan
ekonomi yang kurang memuaskan di kuartal I-2016, bisa makin terpukul di
kuartal-kuartal berikutnya.
Ambisi yang besar dari
pemerintah juga tercermin dari begitu banyaknya paket kebijakan yang sudah
dikeluarkan (8 paket tahun 2015 dan 4 paket tahun 2016). Namun, sayangnya
paket-paket ini hanya memberikan sentimen positif di awal dan belum terlihat
dampak lanjutan, serta implementasinya.
Seolah-olah paket
kebijakan ini hanya retorika dan belum terlihat dengan jelas valuasi moneternya.
Masyarakat, investor, dan pelaku usaha tampaknya sudah mulai agak tidak sabar
menunggu dampak positifnya ke perekonomian, khususnya paket kebijakan yang
sifatnya jangka pendek.
Oleh karena itu,
revisi APBN 2016 harus segera dilakukan agar postur APBN 2016 lebih rasional
untuk mendukung dinamika perekonomian yang berkembang saat ini. Target memang
harus optimistis, tetapi jangan tinggalkan kata "realistis" agar
pemerintah tidak melakukan guncangan-guncangan kebijakan yang bisa jadi
kontra produktif.
Kegagalan mendapatkan
predikat layak investasi dari S&P bukanlah akhir segalanya, tetapi
membuat kita makin melek untuk terus berbenah dan tidak cepat puas sambil
meletakkan dasar perekonomian yang kokoh dan berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar