Apologi Negara
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS, 13 Juni
2016
Kejahatan itu pilihan.
Kurang lebih begitu satu benang pintal buku James Q Wilson dan Richard
Herrnstein (1985) berjudul Crime and Human Nature. Kedua ahli kriminologi ini
memakai pendekatan "pilihan rasional" dari ekonomi yang ditiru
hampir semua disiplin ilmu sosial dalam memahami tindak kejahatan. Bahwa,
berbuat jahat itu pilihan rasional.
Meski demikian, Wilson
dan Herrnstein tidak berhenti pada kalkulus rasional. Mereka juga yakin bahwa
perilaku jahat dipengaruhi latar belakang keluarga, kelas sosial, lingkungan,
termasuk pendidikan.
Bagaimana dengan
kejahatan seksual yang lagi marak sehingga pemerintah menelurkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1 Tahun 2016? Bagaimana dengan
pembantaian PKI tahun 1965 yang hari ini masih diributkan para aktivis
kemanusiaan karena sudut pandang "korban" belum terinklusi dalam
penyelesaian? Bagaimana dengan semua kejahatan politik di zaman Presiden Soeharto
(1966-1998) yang hari ini justru mau dipahlawankan oleh sejumlah tokoh
politik?
Entah bersifat
konvensional atau nonkonvensional, kejahatan tetap pilihan sadar. Maka, ada
konsekuensi ganda: (1) memahami kejahatan harus memahami konteks dan (2)
dalam setiap kejahatan harus ada yang bertanggung jawab.
Dua jempol untuk
pemerintah karena keberpihakan moral yang serius terhadap anak-anak dan
perempuan korban kekerasan seksual. Respons yang cepat dan konsisten telah
memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Akan tetapi, hukuman
mati atau kebiri adalah sebuah perdebatan. Setidaknya ini pilihan yang belum
sepenuhnya menyentuh konteks karena terlalu dititikberatkan pada dimensi
hukuman. Kita belajar banyak dari kasus narkoba. Hukuman mati tidak
berbanding lurus dengan penyusutan jumlah bandar dan volume peredaran
narkoba. Sama dengan peningkatan pajak rokok yang tidak berpengaruh
signifikan pada indeks konsumsi rokok seperti dalam studi Callison dan
Kaestner (2012) dari Universitas Illinois di Chicago.
Kekerasan seksual bersifat multikausal. Perlu dipahami
peran keluarga, institusi pendidikan, lingkungan sosial, dan agensi moral
(seperti agama) dalam membentuk watak individu.
Memang, perppu ini ada
baiknya bila kita bicara soal keberpihakan secara emosional pada korban.
Sayangnya, yang dibutuhkan adalah keberpihakan moral yang mengharuskan adanya
solusi adil untuk semua: adil untuk korban dan adil untuk pelaku. Perspektif
humanis tidak mutlak memandang pelaku sebagai iblis, tetapi sekaligus manusia
yang punya hak asasi dan warga negara yang punya hak untuk dilindungi oleh
negara. Setiap pelaku memang harus diadili, tetapi tidak dengan cara yang
tidak adil.
Apologi negara
Berbeda halnya kalau
kita membahas kejahatan nonkonvensional yang sistemik dan sistematis. Misalnya,
pembantaian PKI tahun 1965 yang, sejujurnya, merupakan kejahatan negara
(state crime). Michael Mann (2005) bahkan menyebutnya classicide, pembantaian
kelas sosial. Lebih keras lagi, a
nationalization of death, nasionalisasi kematian, dalam istilah James T
Siegel (1998).
Itu kejahatan sistemik
yang dilakukan dengan sadar dan terencana oleh "negara". Dalam
mengadili perkara macam ini memang ada dilema. Para pelaku berlindung di
balik tameng "negara". Itu
masuk akal karena mereka melakukan itu bukan atas kehendak motivasi
individual, tetapi atas perintah sistem. Pelaku bahkan jadi
"korban" dalam dimensi tertentu. Maka, tidak cukup adil kalau
kejahatan sistemik seperti ini berakhir dengan mengadili serdadu lapangan.
Namun, di lain pihak,
komunitas korban menuntut yang lebih konkret karena kemanusiaan dan keadilan
selalu lebih tinggi daripada kewibawaan negara. Apa mungkin? Faktanya,
"mengadili negara" dianggap berlebihan dan biasanya tak terjadi.
Pimpinan tertinggi politik pada masa itu harus memikul tanggung jawab. Namun,
sampai hari ini, peradilan tidak tuntas. Bahkan, ada tuduhan baru bahwa
neokomunisme telah bangkit.
Situasi makin
berlebihan. Padahal, poin dasarnya adalah bahwa harus selalu ada harmoni
antara negara dan warga. Sebab, meski tak seradikal negara Hegellian, negara
dan rakyat adalah keutuhan inheren dalam ikatan kausal yang saling
mensyarati. Tak ada negara tanpa warga. Sebaliknya, warga tanpa negara
cenderung jadi kerumunan liar.
Maka, dalam konteks
kejahatan negara pada masa lalu, perlu ada pilihan tengah, yaitu: (1) negara
meminta maaf (state apology) kepada korban tanpa harus memborgol orang
tertentu yang pastinya sulit ditemukan; dan (2) hak-hak korban dipulihkan.
Apologi negara bukan
pertanda negara lemah. Sudah banyak contoh dalam sejarah. Tahun 1077, Kaisar
Henry IV berdiri tanpa alas kaki di atas salju selama tiga hari sebagai
apologi kepada Gereja melalui Paus Gregorius
VII terkait konflik dengan Gereja di masa lalu. Tahun 1924, Pemerintah
Persia (sekarang Iran) meminta maaf kepada Amerika Serikat sesudah wakil
konsul AS, Robert Imbrie, mati digebuk
massa di Teheran. Desember 2002, parlemen Norwegia memutuskan membayar
kompensasi kepada 12.000 anak tentara Jerman yang mengalami diskriminasi di
negeri itu sejak perang berakhir.
Syarat apologi adalah
kerendahan hati untuk mengakui masa lalu. Bahwa, otoritas politik di masa itu
telah memakai pendekatan yang keliru dalam menafsir situasi sehingga
menimbulkan korban kemanusiaan. Dalam konteks ini, atas nama demokrasi dan kemanusiaan,
apologi adalah pilihan moral terbaik. Di dalamnya tersirat akad moral untuk
tak mendaur-ulang sejarah. Sebab, kalau kejahatan itu pilihan, selalu ada pilihan juga untuk
tak melakukan kejahatan, demi dan atas nama apa pun! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar