Konsumen Beras dan Kebijakan Pemerintah
M Husein Sawit ; Senior Policy Analyst pada Center for Agriculture
and People Support; Salah seorang
pendiri House of Rice
|
KOMPAS, 13 Juni
2016
Beras tidak lagi
dianggap konsumen sebagai komoditas yang homogen, tetapi berubah menjadi
produk yang heterogen. Artinya, konsumen berpendapatan menengah ke atas
memilih beras untuk konsumsi dengan mempertimbangkan atribut: bentuk, warna,
rasa, dan jenis atau merek.
Demikianlah salah satu
penemuan penting hasil riset tentang perilaku konsumen beras yang disampaikan
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia di sebuah seminar di Jakarta
baru-baru ini. Riset dilakukan di 13 kota (Medan, Padang, Jambi, Bengkulu,
Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Jember, Denpasar, dan
Makassar), mencakup hampir 2.000 responden bukan penerima beras untuk rakyat
miskin (raskin).
Mengapa itu terjadi?
Pemicunya: pesatnya urbanisasi dan partisipasi wanita dalam bekerja,
meningkatnya pendapatan masyarakat, serta menurunnya jumlah orang miskin.
Pada saat yang sama, pasar swalayan tumbuh sangat pesat hingga ke wilayah
pedesaan.
Sebuah penelitian
memperlihatkan bahwa pertumbuhan permintaan beras kualitas bagus (premium)
mencapai 11 persen per tahun, mengambil pangsa 38 persen dari total beras
yang beredar di Tanah Air. Kelompok ini kurang begitu peduli dengan harga
beras naik atau tinggi asalkan beras kualitas yang diinginkan tersedia di
pasar.
Penelitian yang sama
juga memperlihatkan bahwa permintaan beras kualitas rendah (medium) semakin
kecil dengan pertumbuhan 9 persen per tahun, mengambil pangsa hanya 21
persen. Peminat beras kualitas rendah adalah masyarakat berpendapatan rendah,
sebagian di antaranya masyarakat miskin.
Namun, perubahan itu
belum didukung oleh industri penggilingan padi (PP) yang kuat. Jumlah penggilingan padi besar (PPB)
mengambil porsi hanya 1 persen dari total 182.000 unit PP yang ada, atau
sekitar 10 persen dari total kapasitas giling. PPB adalah penghasil beras
kualitas premium atau kualitas di atasnya, bermerek, putih karena mereka
memiliki alat dan mesin yang lengkap, menerapkan teknologi tinggi dan
higienis sehingga mampu memproduksi beras berkualitas dengan harga lebih
murah. Produsen inilah yang menyuplai beras ke pasar-pasar formal untuk memenuhi
permintaan beras berkualitas,
bermerek sesuai dengan tuntutan
konsumen.
Kebijakan perberasan
Kebijakan perberasan
nasional belum banyak berubah dari yang dirancang pada akhir periode 1970-an,
terutama dalam kaitannya dengan insentif bagi petani terutama harga pokok
pembelian (HPP), stabilisasi harga di tingkat konsumen atau intervensi pasar,
dan cadangan beras pemerintah (CBP) atau stok beras Bulog. Hampir semua
kebijakan beras nasional bertumpu pada sisi suplai.
Pemerintah melalui
sejumlah kebijakannya menggiring agar Indonesia mampu menghasilkan beras
dalam jumlah banyak, berswasembada dalam kuantitas, tanpa banyak
mengaitkannya dengan preferensi konsumen.
Hal itu
"cocok" hingga akhir 1990-an ketika konsumen pada umumnya lebih
mementingkan makan nasi banyak, "asal kenyang", bertumpu pada beras
kualitas medium. Hal itu diperkuat
oleh keberadaan industri penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S) yang
didukung pemerintah. Hingga akhir 1990-an, diperkirakan 96 persen jumlah PP
adalah PPK/S atau produsen beras kualitas rendah. Pada saat sekarang, jumlah
PPK/S menurun dalam persentase, tetapi meningkat dalam jumlahnya.
Hasil penelitian itu
berimplikasi luas terhadap kebijakan beras di masa mendatang. Di antaranya
yang terpenting adalah, pertama, petani harus didorong (diberi insentif yang
layak) agar mereka mampu menghasilkan gabah yang berkualitas, dengan
memerhatikan varietas yang dapat
menghasilkan beras aromatik/beras lokal, pulen, panjang. Insentif untuk itu
harus dirancang, salah satu di antaranya pemberian insentif yang berbeda
sesuai dengan kualitasnya. Misalnya, premiun lawan medium, beras lokal lawan
beras IRRI.
Kedua, intervensi
pasar yang lebih efektif adalah harus menggunakan beras kualitas premium.
Inflasi yang berasal dari beras di 86 kota dominan ditentukan oleh beras
kualitas premium. Dalam kaitan dengan itu, CBP tidak boleh lagi seperti
sekarang, yakni beras kualitas rendah, sama seperti beras untuk program
raskin.
Untuk CBP, seharusnya
tidak saja volume ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton, tetapi kualitasnya juga
harus premium. Program raskin sebaiknya dinormalkan jumlahnya, tidak lebih
dari 1,5 juta ton per tahun untuk daerah-daerah (kabupaten/kota) yang rawan
pangan, dihentikan pada bulan-bulan panen raya, serta digeser pada bulan-bulan
puncak paceklik November-Januari.
Ketiga, industri PP
haruslah diperkuat. PPK/S hendaknya diintegrasikan dengan keberadaan PPB
sehingga tak saling mematikan, terutama dalam perebutan bahan baku gabah. PPB
harus ditata agar dapat menerima beras pecah kulit (PK) sebagai bahan baku
yang berasal dari PPK/S. PPK/S harus pula diperkuat dengan merancang insentif
agar mereka melengkapi alat/mesin (dryer, husker, dan separator) sehingga
mampu menghasilkan beras PK yang berkualitas.
Dengan beras PK yang
berkualitas, PPB dapat menghasilkan beras berkualitas sesuai dengan
permintaan konsumen, serta mampu bersaing di pasar tunggal ASEAN. Dengan
mengintegrasikan itu, PPK/S akan lebih mampu bersaing dengan beras impor.
Keempat, pemerintah
sebaiknya tidak menyerahkan merek/label beras pada "tangan
pedagang" yang tanpa industri PP karena itu sangat merugikan konsumen
seperti yang terjadi selama ini. Pengadaan semua beras berlabel/bermerek
harus dilakukan oleh industri PP sehingga isi serta kualitas beras lebih terjamin,
serta sejalan dengan penerapan undang-undang labelling. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar