Asa Baru Perdamaian Palestina-Israel
Retno LP Marsudi ;
Menteri Luar Negeri RI
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Untuk
pertama kali, Indonesia terlibat langsung dalam pertemuan yang membahas
perdamaian Palestina dan Israel. Pertemuan di Paris, 3 Juni 2016, yang
melibatkan Sekretaris Jenderal PBB, negara Quartet, anggota tetap Dewan
Keamanan PBB, dan sejumlah negara kunci ditujukan untuk membahas persiapan
konferensi perdamaian internasional yang menurut rencana akan dilakukan pada
akhir 2016. Pertemuan Paris ini belum melibatkan Palestina dan Israel.
Diundangnya
Indonesia dalam pertemuan ini merupakan buah hasil diplomasi Indonesia yang
secara konsisten mengupayakan perdamaian Palestina, terutama dalam memberikan
dukungan bagi diperolehnya hak-hak sah rakyat Palestina untuk memiliki suatu
negara yang merdeka dan berdaulat. Pada Maret 2016, Indonesia telah menjadi
tuan rumah KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam mengenai Palestina, Al
Quds and Al Sharif.
Untuk
lebih mendekatkan diri kepada perjuangan Palestina, Indonesia telah memiliki
Konsul Kehormatan di Ramallah sejak Maret 2016. Kepemimpinan Indonesia dalam
penyelenggaraan KTT Luar Biasa OKI ini mendapatkan apresiasi besar negara OKI
maupun dunia internasional, termasuk pada saat pertemuan Paris.
Setiap
kali muncul satu inisiatif baru mengenai perdamaian Palestina dan Israel,
selalu muncul kegamangan apakah inisiatif tersebut akan dapat dijalankan.
Kegamangan ini bukan tanpa alasan. DK PBB paling tidak telah mengeluarkan
Resolusi 242 (1967), 338 (1973), 1397 (2002), 1515 (2003), dan 1850 (2008).
Terdapat pula beberapa inisiatif yang telah dicoba untuk dilakukan, antara
lain Madrid Principles (1991), Inisiatif Perdamaian Arab (2002), dan Peta
Jalan Quartet (2003).
Karena
itu, sangat wajar jika semua pihak yang hadir dalam pertemuan sadar bahwa
pertemuan di Paris bukan merupakan pertemuan yang mudah. Semua sadar bahwa
konflik Palestina dan Israel merupakan isu yang sangat complicated. Semua
juga sadar adanya kepentingan yang berbeda, bahkan sangat berbeda, dari
pihak-pihak yang ikut dalam pertemuan Paris.
Lepas
dari kegamangan tersebut, pertemuan Paris patut mendapatkan dukungan. Pada
KTT Luar Biasa OKI di Jakarta, Maret 2016, negara-negara OKI telah memberikan
dukungan terhadap inisiatif Perancis ini. Kehadiran negara-negara kunci dalam
pertemuan Paris menunjukkan adanya komitmen dan upaya untuk menjaga momentum
agar isu Palestina dan Israel tidak hilang dari radar perhatian
internasional.
Urgensi negosiasi
Dunia
internasional menyadari bahwa kemandekan negosiasi telah menjadikan situasi
di lapangan semakin memburuk. Salah satu contohnya adalah berlanjutnya
pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Terus
berlangsungnya pembangunan permukiman ilegal akan mengubah demografi penduduk
di tanah Palestina dan hal ini akan semakin menyulitkan upaya penyelesaian
konflik yang adil dan langgeng.
Semakin
memburuknya situasi inilah yang menjadikan masyarakat internasional semakin
sadar mengenai pentingnya mendorong dimulainya negosiasi kembali.
Berlanjutnya konflik Palestina-Israel akan menyulitkan terciptanya perdamaian
dan stabilitas di kawasan Timur Tengah. Ketidakstabilan kawasan Timur Tengah
tentunya akan memengaruhi stabilitas dan perdamaian dunia.
Kehadiran
negara-negara kunci, termasuk negara kunci di kawasan sekitar wilayah
konflik, dalam pertemuan Paris merupakan satu awal yang bagus. Mereka bukan
hanya pengamat (observer), tetapi
pemangku kepentingan (stakeholders)
yang perlu dilibatkan. Dukungan negara-negara tersebut harus diapresiasi dan
digunakan untuk memperkaya beberapa hal yang selama ini tidak atau belum
dilakukan oleh proses sebelumnya.
Pertemuan
Paris kali ini menghasilkan satu komunike bersama di mana delegasi Indonesia
aktif dalam negosiasi text communique tersebut. Proses pembahasan draf
komunike bersama dapat dikatakan tidak mudah. Hasil akhir komunike yang
disahkan secara konsensus itu memang tidak mungkin dapat memenuhi harapan dan
posisi setiap negara. Hal ini sekali lagi menunjukkan kerumitan isu yang dibahas.
Dalam
pembahasan pada tingkat menteri luar negeri, Indonesia menyampaikan bahwa
perdamaian Palestina-Israel adalah hal yang diinginkan oleh dunia. Tugas
masyarakat internasional adalah mendorong, memfasilitasi, dan menciptakan
kondisi yang kondusif agar perdamaian dapat tercipta. Negosiasi baru dapat
dibangun dengan menggunakan semua prinsip yang sudah ada dalam proses-proses
sebelumnya termasuk resolusi-resolusi DK PBB. Dan, yang tidak kalah penting
artinya, Indonesia menekankan bahwa semua upaya harus dilakukan dalam rangka
pencapaian a two state solution berdasarkan garis batas 1967 dengan Jerusalem
Timur sebagai ibu kota Palestina.
Beberapa prinsip
Jika
pertemuan internasional mengenai perdamaian jadi dilakukan akhir 2016,
Indonesia telah mengusulkan beberapa prinsip yang perlu mendapatkan
perhatian:
Pertama,
pentingnya menciptakan kondisi yang kondusif. Indonesia menekankan confidence
building measure (CBMs) harus segera diupayakan kembali. Kegiatan-kegiatan
yang merefleksikan CBMs harus segera dilakukan, yaitu diakhirinya semua
bentuk tindak kekerasan; dihentikannya segera semua pembangunan permukiman
ilegal dan kedua pihak harus menjamin keamanan.
Kedua,
keterlibatan pihak yang berkonflik harus segera dilakukan. Bagaimanapun juga
tidaklah mungkin inisiatif perdamaian dilakukan tanpa konsultasi dengan kedua
pihak yang berkonflik. Namun, perlu juga dicatat, bahwa negosiasi secara
bilateral sejauh ini tidak berhasil.
Karena
itu, diperlukan adanya perubahan paradigma dengan dukungan masyarakat
internasional. Keterlibatan pihak ketiga selain ditujukan untuk menjembatani
perbedaan dalam perundingan juga dapat digunakan sebagai penekan untuk
memastikan negosiasi akan berjalan.
Ketiga,
perlu dikembangkannya paket insentif internasional (internasional
incentive package) untuk mendukung
upaya penyelesaian konflik. Paket ini dapat berupa bantuan kemanusiaan,
bantuan pembangunan, kemitraan ekonomi, akses pasar dan investasi, serta
pengembangan kapasitas. Paket insentif ini juga merupakan bagian dari CBMs.
Keempat,
diperlukan satu tenggat (timeline) yang jelas dan realistik bagi negosiasi
dan bagi implementasinya. Tenggat yang jelas, tetapi realistik ini diperlukan
untuk memberikan dorongan kuat bagi penyelesaian masalah.
Kelima,
momentum penyelesaian konflik harus terus dinyalakan masyarakat
internasional. Hal ini tentunya perlu kepemimpinan, komitmen, dan kontribusi
dari banyak pihak.
Pertemuan
Paris telah usai. Satu hal penting hasil pertemuan adalah adanya satu
kebulatan tekad bahwa a two-state solution
merupakan satu-satunya opsi yang harus diambil bagi negosiasi selanjutnya.
Yang menjadi tugas selanjutnya adalah bagaimana a two state solution dapat diwujudkan. Komitmen yang tulus bagi
terciptanya a two-state solution melalui kebijakan dan tindakan yang nyata
harus segera dilakukan, terutama oleh pihak yang berkonflik.
Sebuah
awal baru telah dimulai. Semoga awal baru ini akan berakhir membuahkan hasil.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar