Jegal
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 10 Juni
2016
Ini sudah terang-benderang. Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) memang hendak menjegal calon perseorangan dalam pemilihan kepala
daerah lewat revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Calon
perseorangan menjadi "barang tak sedap" di hidung para politikus.
Ini gara-gara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama nekat maju untuk
jabatan kedua melalui jalur independen itu. Kenekatan gubernur yang akrab
disapa Ahok ini menimbulkan tsunami politik yang pada ujungnya memberi kesan
penurunan citra partai politik.
Presiden Joko Widodo sejak awal memberi
jaminan, revisi tak akan memberatkan calon independen. Besaran dukungan untuk
calon independen lewat pengumpulan copy kartu tanda penduduk tak akan
dinaikkan. Ini janji Jokowi yang dipatuhi DPR. Tapi DPR bukan orang goblok,
mereka selalu mencari celah. Celah itu ada tiga. Pertama, pendukung harus
sudah masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu sebelumnya. Celah kedua,
verifikasi faktual. Dan celah ketiga, dicabutnya kemandirian Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dalam membuat aturan.
Keharusan pendukung masuk daftar DPT membuat
pemilih pemula tak sah sebagai pendukung. Tentang verifikasi faktual, ada
dalam Pasal 48 ayat 3 yang dalam revisi ini diberi rincian. Salah satu
rincian berbunyi, "Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat
verifikasi faktual, pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan
pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) hari
terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut." Jadi, kalau
lewat tiga hari tetap tak ditemui, hasil dukungan dicoret.
Yang jadi masalah, apakah Panitia Pemungutan
Suara (PPS) cukup punya tenaga untuk verifikasi yang jangka waktunya hanya
dua minggu itu? Apakah PPS punya jadwal pasti untuk mendatangi setiap
pendukung ke rumahnya sehingga sang pendukung siap mengorbankan hari
kerjanya? Apakah kantor PPS buka 24 jam sehingga sang pendukung bisa datang
di malam hari seusai bekerja? Dampak serius dirasakan di daerah-daerah,
seperti Yogya dan Kabupaten Buleleng, Bali, yang siap mengusung calon
independen. Katakanlah Teman Ahok tergolong militan, bagaimana dengan di
daerah yang pendukungnya tinggal di desa terpencil?
KPU tidak bisa membuat aturan lain, misalnya
verifikasi dilakukan secara acak dengan alasan waktu dan keterbatasan tenaga.
Selain melanggar undang-undang, KPU dibelenggu dengan Pasal 9 ayat 1 yang
terkait dengan tugas dan wewenangnya. Pasal itu menyebutkan, "Menyusun
dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis pemilihan setelah
berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam RDP (rapat dengar pendapat)
yang keputusannya mengikat." Jadi, apa pun peraturan KPU nantinya,
aturan itu harus lewat DPR dan mengikat. Ini bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 22E ayat 5 yang menjamin kemandirian KPU.
Hanya untuk menjegal Ahok di Jakarta,
undang-undang dibuat dengan merugikan pasangan perseorangan di seluruh
Nusantara. Revisi ini pun terkesan balas dendam karena DPR tak berhasil
menyusupkan pasal agar calon gubernur, bupati, dan wali kota berikut wakilnya
yang berasal dari DPR dan DPRD tidak termasuk yang mengundurkan diri dari
jabatannya. Wacana pun digulirkan dengan menyebutkan, pemilihan kepala daerah
sepatutnya lewat partai politik. Kalau begitu, hapus saja calon perseorangan
dari undang-undang, sehingga kepala daerah diusung hanya oleh partai seperti
calon presiden. Cuma, apakah sekarang partai politik masih diminati rakyat?
Itu yang harus dijawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar