Muhammad Ali
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Psikologi UI;
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia YAI
|
KORAN SINDO, 12 Juni
2016
Pada 1970-an hanya ada
dua peristiwa yang mampu membuat Jakarta lengang seperti musim Lebaran, yaitu
pertandingan bulutangkis final All England atau Thomas Cup (Indonesia selalu
jadi juara) dan pertandingan tinju Muhammad Ali.
Muhammad Ali wafat
pada 3 Juni 2016 dalam usia 74 tahun. Walaupun pernah kencing darah karena
ginjalnya kena pukulan berkali-kali dan menderita Parkinson akibat otaknya
dihajar terus-menerus, usia Ali lebih panjang dari usia harapan orang Indonesia
yang hanya 70,76 tahun, terutama penduduk laki-lakinya yang hanya 68,3 tahun.
Walaupun “anak”
sekarang yang berusia 40 tahunan ke bawah tidak terlalu kenal siapa Muhammad
Ali yang sebenarnya, orang-orang yang sekarang berumur 50 tahun ke atas tentu
masih ingat ketika Muhammad Ali bertanding di Indonesia melawan juara kelas
berat Belanda, Rudi Lubbers, pada 20 Oktober 1973 di Gelora Bung Karno,
Senayan.
Waktu itu, dengan
tiket masuk termahal (Ringside A) Rp27.500 (US65,00 atau sekitar Rp850,000
dalam nilai rupiah yang sekarang) dan termurah Rp1.000, penonton bisa
menyaksikan bagaimana Ali mematahkan hidung Lubbers dalam pertandingan 12
ronde yang seru. Sesudah itu, Muhammad Ali pernah beberapa kali lagi datang
ke Indonesia (yang terakhir 23 Oktober 1996) dan menjadi idola orang Indonesia,
bukan hanya karena dia petinju yang hampir tak terkalahkan, tetapi karena Ali
beragama Islam.
Walau begitu, Ali
bukan malaikat. Ia menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan istri
pertamanya, Sonji Roi (1964), hanya bertahan dua tahun karena Ali keberatan
atas busana Sonji yang tidak islami. Perkawinan keduanya dengan Belinda Boyd
(1967), dikaruniai tiga anak, tetapi juga harus berakhir setelah 10 tahun
(1977) karena Belinda memergoki Ali sedang selingkuh dengan Veronica Porche
Anderson, yang kemudian menjadi istri ketiga Ali (1977), dikaruniai dua putri
dan tetap menjadi istrinya sampai akhir hayat Ali.
Muhammad Ali mungkin
bukan contoh yang baik untuk perkawinan seperti yang diidealkan orang
Indonesia. Bahkan semasa Bu Tien Soeharto masih menjadi ibu negara, pernah
terbit PP 10/1983 yang melarang semua PNS dan anggota TNI/Polri untuk
berpoligami. Hasilnya memang Pak Harto tidak berpoligami, tetapi tetap banyak
menterinya dan pejabat tinggi lainnya yang diam-diam berpoligami.
Dalam hubungan ini Ali
masih lebih baik karena walaupun pernah beristri sampai tiga orang, tetapi
dijalaninya dengan sistem seri (satu mengikuti yang lain), bukan sistem
paralel (beberapa istri sekaligus) sehingga Ali tidak pernah berpoligami.
Namun, yang mungkin paling dikenang dari Ali sekitar 1970-an itu adalah sikap
heroismenya untuk menolak wajib militer.
Kita tahu bahwa masa
itu sedang terjadi perang Vietnam, yaitu perang yang melibatkan Amerika
Serikat, yang menyebabkan AS mewajib-militerkan pemuda-pemuda Amerika untuk
dikirimkan ke garis depan di Vietnam. Sebagai warga negara AS yang
bernasionalisme tinggi, seharusnya Ali memenuhi panggilan wamil itu, tetapi
dia justru berseru (saya terjemahkan bebas), “Tidak, saya tidak mau terbang 10.000 mil dari rumah hanya untuk
membunuh dan membakar bangsa lain yang miskin dan untuk meneruskan dominasi
kulit putih pedagang budak terhadap bangsa-bangsa lain yang berkulit lebih
gelap di mana pun di seluruh dunia.”
Selanjutnya dia
mengatakan, “Musuh kita yang sejati ada
di sini (di AS). Saya tidak akan mengkhianati agama saya, rakyat saya, dan
diri saya sendiri dengan cara menjadi budak mereka yang mencari keadilan,
kebebasan, dan persamaan hanya untuk kepentingannya sendiri. Kalau saya yakin
bahwa perang ini akan membebaskan dan menyamakan hak 22 juta rakyat saya,
tidak usah dipanggil, besok pun saya akan datang sendiri untuk mendaftar
wamil. Saya tidak rugi apa-apa untuk membela keyakinan saya. Mau dipenjara?
Silakan. Rakyat kami sudah dipenjara selama 400 tahun.”
Inilah yang disebut
integritas kepribadian yang sesungguhnya! Sama sekali tidak ada kaitannya
dengan Pakta Integritas yang mana pun.
Tanpa banyak
cing-cong, apalagi upacara pakta atau bahkan sumpah pocong, Muhammad Ali
menunjukkan kepada siapa dia berpihak, yaitu kepada rakyat sendiri (minoritas
kulit hitam Amerika Serikat, yang telah empat abad dijajah oleh pemerintah
kulit putih yang “thogut “ atau kejam serta tidak adil) dan kepada agamanya
sendiri.
Memang awalnya, pada
1964, ketika pertama kali masuk Islam, Ali yang aslinya bernama Cassius Clay
Junior bergabung dengan Nation of Islam (sejenis Negara Islam) yang
kontroversial dan antikulit putih, tetapi perkenalannya dengan Malcolm X
(tokoh pejuang kulit hitam) menyadarkannya bahwa Islam tidak mengajarkan
rasialisme. Ini kutipan ucapannya, “Membenci
orang-orang karena warna kulit mereka adalah salah. Dan, tidak masalah warna
kulit apa yang membenci. Perbuatan ini benar-benar salah.”
Maka, pada 1974 ia
bergabung dengan Jamaah Sunni (seperti kita, Islam Indonesia) yang toleran dan
pada masa-masa akhir hayatnya Muhammad Ali menyesalkan kekerasan yang
mengatasnamakan agama Islam, “Apa yang
benar-benar merisaukan saya adalah bahwa nama Islam dilibatkan, dan sebagian
muslim adalah pelakunya yang memantik persoalan dan memicu kebencian dan
kekerasan. Islam bukan agama pembunuh. Islam berarti damai. Saya tidak bisa
hanya duduk-duduk di rumah dan menonton orang melabelkan muslim sebagai
penyebab dari problem ini.”
Tiga nilai utama dari Revolusi Mental yang digagas Presiden
Jokowi adalah integritas, etos kerja, dan gotong-royong. Yang pertama dari
tiga yang utama itu adalah integritas. Muhammad Ali adalah salah
satu pribadi rujukan
bagi yang ingin tahu seperti apa sih orang yang punya integritas itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar