Puasa yang Gugur dan yang Subur
Yudi Latif ; Anggota Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia
|
KOMPAS, 14 Juni
2016
Bulan puasa datang
berpulang, mengajak kita jeda kerutinan. Ibarat musim gugur memberi pepohonan
saat meranggas. Dedaunan jatuh luruh, gugurtafakur, pulang ke akar,
menyuburkan kehidupan. Sesungguhnya bejana kehidupan yang penuh jemu susah
menerima pengisian. Perut yang terus-terusan kenyang jadi biang penyakit.
Hati yang mengejuju jenuh jadi perigi depresi. Organ yang tunak bergerak jadi
mudah lapuk.
Manusia memerlukan
jeda pengosongan, penyegaran, pengasoan. Sela puasa menjadi momen hibernasi
untuk memulihkan kesehatan jasmani-rohani. Sedemikian vitalnya, hingga Tuhan
pun mengajak seluruh manusia melakukannya; menghargainya sebagai kado spesial
buat-Nya.
Maksud puasa
mengurangi kepenuhan perut, janganlah diisi gairah konsumsi dengan ritual
melambung harga-harga. Maksud puasa melepas tekanan hati, janganlah disesaki
asap pergunjingan dan permusuhan. Maksud puasa mengistirahatkan organ tubuh,
jangan ditambah beban pencernaan.
Pengurangan konsumsi
bisa menurunkan kolesterol jahat dalam tubuh; berbagi gizi-kenikmatan pada
sesama. Pengosongan perut bisa mengistirahatkan pencernaan; memberi efek
detoksifikasi dan peremajaan sel-sel otak. Pelepasan tekanan hati, lewat
zikir dan aneka ibadah, membebaskan jiwa dan penjara rutinitas masalah.
Dengan mengendalikan
diri dari gravitasi syahwat bumi, roh manusia bisa mikraj ke langit
tertinggi. Dengan melesat ke langit suci, mental manusia terbang dari
kesadaran personal menuju transpersonal; dari kesadaran keseharian, menuju
kesadaran terluhur. Dari ketinggian penglihatan mata burung, kehidupan tampak
sebagai pola interkoneksi yang menautkan segala sisi kehidupan. Horizon
penglihatan meluas dari pernik-pernik eksistensi sehari-sehari menuju
eksistensi kosmik yang tak terhingga.
Dalam keluasan
kesadaran kosmis, manusia menyadari betapa kesatuan tak bisa dipisahkan dari
keragaman. Satu dalam semua, semua dalam satu. Dengan kesadaran transpersonal,
timbul kehendak untuk membuka ruang berbagi. Ketabahan untuk menghadapi
cobaan-ketidakpastian. Kesanggupan berdamai dengan misteri kehidupan. Riset
pun membuktikan, orang-orang yang melakukan puasa, zikir, dan meditasi secara
teratur pada saatnya akan lebih sadar, kurang stres, lebih positif, dan lebih
sehat.
Dengan puasa sejati,
derajat manusia ditinggikan melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu
menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah
melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi faktor produksi, budak
kekuasaan, dan alat percobaan. Dalam perbudakan nafsu, agama yang mestinya
pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru acap kali menjadi
penasbih atau setidaknya membiarkan kezaliman, permusuhan, dan pembodohan.
Di manakah misi
penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal
pertikaian, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang memilukan bahwa
aktor utama dari ”komedi omong” ini sering kali para pemuka agama sendiri? Di
masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama ”menjual” ayat untuk
menidurkan keresahan lantas memberi teladan akhlak dengan pamer kemewahan.
Agama pun tak henti
dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran, sebagai
amunisi dalam perebutan kuasa. Prinsip kerelaan dalam organisasi masyarakat
sipil-keagamaan pun dirobohkan oleh politik uang dan godaan kekuasaan. Umat
sekadar diperuntukkan bagi hasrat kuasa, bukan kekuasaan diperuntukkan bagi
perbaikan kehidupan umat.
Sedemikian rupa
sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain dari gairah keagamaan
selain dari sekadar ”budak nafsu”. Jika agama sebagai landasan kritik
terhadap berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah
menjadi fosil; sementara sumur moralitas lain pun mengering; bagaimana bisa
yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis
yang menopangnya.
Epos demokrasi selama
era Reformasi memperlihatkan, betapa politik sebagai teknik mengalami
kemajuan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Etik dan politik
bak minyak dengan air yang tak bisa dipersatukan. Elite politik lebih
mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum. Akrobat
demi akrobat politik yang dipertunjukkan penguasa semakin jelas menunjukkan
kebangkrutan moral kepemimpinan.
Politik tanpa landasan
etik bak bahtera yang berlayar tanpa kompas. Rezim silih berganti,
janji-janji digoreng dengan kecap nomor satu, sumber daya terkuras dengan
utang luar negeri yang terus membubung. Ada banyak gerak-gerik sekadar untuk
gerak di tempat. Kita seakan melaju ke depan, untuk tersesat di banyak
tikungan, yang membuat kita kembali ke titik awal.
Jeda Ramadhan memberi
momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang
mengerdilkan moralitas. Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun dan
berkuasa tak pernah ada puasnya kecuali dengan puasa. Pengendalian dirilah
akar tunjang pengendalian sosial. Adapun puasa bak kawah candradimuka
pelatihan kendali diri.
Sekiranya semua warga
mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang berlebih di satu kelompok bisa
disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol
keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang jatuh di musim
gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekitarnya. Sesekali kita pun
perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi
kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta
untuk yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar