Membendung Kasus Kriminalisasi Petani
Dewi Kartika ;
Wakil Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
|
KOMPAS, 08 Mei 2016
Setelah
petani Kendal dan Indramayu, belum lama ini kriminalisasi terhadap petani dan
aktivis agraria kembali terjadi. Bukan hanya pemidanaan yang dipaksakan,
aparat berani membubarkan pelatihan reforma agraria yang digelar masyarakat
sipil.
Kisahnya,
Sofyan Ubaidi Anom alias Ubed—aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)—yang
sedang memberikan materi pelatihan reforma agraria dan pemetaan partisipatif
bagi petani Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, (28 Mei 2016), dijemput paksa dan
diinterogasi polisi. Ubed bersama dua petani dipaksa polisi menandatangani
surat penjanjian tak akan mengulangi perbuatan (pelatihan). Setelah dilepas
polisi, Ubed diminta segera meninggalkan Sragen.
Dalih
polisi, kegiatan pelatihan yang digelar KPA itu tanpa izin atau pemberitahuan
kepada kepolisian. Kesigapan polisi muncul karena pengaduan PTPN setempat
yang telah lama berkonflik atas lahan dengan rakyat, khususnya petani
Sambirejo. Penampakan hantu represi-otoritarianisme ”gaya Orba” di balik
jubah kapitalisme agraria pun menyeruak.
Kriminalisasi petani
Sepanjang
2015, KPA mencatat 252 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik 400.430
hektar dan melibatkan 108.714 keluarga. Sektor perkebunan menempati konflik
tertinggi (127 konflik atau 50 persen), disusul pembangunan infrastruktur,
kehutanan, pertambangan, pertanian, dan sektor pesisir/kelautan.
Selain
warga kehilangan nyawa, tertembak, dan luka-luka akibat penganiayaan,
masyarakat yang berkonflik pun kerap mengalami tindakan intimidasi dan
kriminalisasi oleh kepolisian, seperti penjemputan paksa, penangkapan,
pemeriksaan, penahanan, dan upaya-upaya pemidanaan yang dipaksakan lainnya.
Pada 2015, ada 278 korban kriminalisasi aparat, baik petani, masyarakat adat,
nelayan hingga aktivis agraria.
Dari
kasus Sambirejo dan kasus lainnya, ada tiga pelajaran penting. Pertama,
tindakan aparat keamanan yang menuding petani melakukan tindakan kriminal dan
melanggar hukum gara- gara mengadakan pertemuan pelatihan jelas menabrak
konstitusi. Kriminalisasi petani membuat ”kemakmuran rakyat” sebagai tujuan
politik agraria nasional (Pasal 33 Ayat 3) jadi kabur. Pembubaran pertemuan
petani juga mengabaikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat
(Pasal 28).
Kriminalisasi
petani menodai janji pemerintah menyejahterakan dan melindungi hak-hak
petani. Maraknya kriminalisasi petani menandakan otoritarianisme masih
bercokol.
Kedua,
maraknya kriminalisasi petani yang mengiringi kecenderungan pengadangan
kekuatan kritis kalangan gerakan sosial menunjukkan tendensi blokade
kesadaran kritis publik terhadap kekeliruan aktor dalam struktur kekuasaan.
Pertemuan kritis dibubarkan, buku-buku bernada kritis dilarang, bahkan
dibakar. Ini pertanda buruk bagi peradaban. Ibarat pepatah, ”buruk muka
cermin dibelah”. Pengelolaan negara yang mengabaikan emansipasi warga dan
menihilkan penghormatan atas kebebasan rakyat serta demokrasi, mencemaskan
kita sebagai bangsa beradab.
Ketiga,
tak adanya keseriusan pemimpin dalam mencegah dan mengendalikan aparat di
lapangan menambah parah keadaan. Pembiaran atasan terhadap bawahan
menyuburkan praktik kriminalisasi. Sudah kuno aparat jadi ”jongos”
kepentingan pemodal besar (swasta, milik negara, apalagi asing). Karena
dibiayai negara, aparat tak pantas mengkriminalkan rakyat golongan ekonomi
lemah. Dibutuhkan pembeda era ”demokrasi emansipasi warga” dengan era
”represif otoriter gaya Orba”. Tak cukup pemimpin sekadar prihatin.
Kriminalisasi
terhadap petani tak boleh dibiarkan. Harus ada ketegasan pimpinan nasional.
Institusi pertahanan dan keamanan tidak boleh bertindak represif serta
terlibat dalam konflik agraria atau sengketa pertanahan yang menyebabkan
petani menjadi pesakitan. Tentara dan polisi hendaknya netral dan tidak
condong memihak kepentingan pemodal. Semua institusi dan aparat mestinya
mengawal program- program strategis nasional, seperti reforma agraria yang
dijanjikan Nawacita.
Emansipasi petani
Mengingat
reforma agraria masuk ke dalam prioritas nasional yang diterjemahkan ke dalam
program dan kegiatan prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah 2017, hendaknya
semua unsur institusi melancarkan realisasi prioritas nasional tersebut.
Karena itu, kriminalisasi petani merupakan indikasi adanya subordinasi
terhadap kebijakan pimpinan nasional. Hal ini harus dicegah dan pelakunya
ditindak tegas.
Eskalasi
kriminalisasi penting dibendung. Kriminalisasi petani bukan hanya merugikan
petani, keluarga dan kawan seperjuangannya. Kriminalisasi petani berpotensi
mengganjal suksesnya program reforma agraria yang kini tengah dimatangkan
persiapan pelaksanaannya. Agar eskalasi kriminalisasi petani tak berlanjut,
Presiden Jokowi hendaknya melarang aparat gampang ”menyalahkan” dan
”menghukum” petani dan rakyat kecil yang sedang memperjuangkan hak-hak
konstitusionalnya.
Petani
dan rakyat miskin harusnya dibela dan dilindungi. Mendapatkan hak atas tanah
ialah hak warga negara yang dijamin konstitusi (UUD 1945) dan Undang-Undang
Pokok Agraria 1960, yang dipertegas Ketetapan MPR IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Gerakan
petani, buruh, nelayan, masyarakat adat—perempuan dan laki-laki—ialah wujud
partisipasi rakyat dalam reforma agraria. Kriminalisasi petani mestinya
digeser jadi emansipasi petani dalam reforma agraria sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar