Pendidikan Seks pada Anak, Perlukah?
Muazzah Muhammad ;
Guru Sekolah Sukma Bangsa
Pidie, Aceh
|
MEDIA INDONESIA,
09 Mei 2016
DALAM sepekan terakhir
media massa di Indonesia dihebohkan dengan kasus yang menimpa Yuyun, 14, yang
ditemukan tewas setelah diperkosa 14 anak baru gede (ABG). Kasus pemerkosaan
dan pembunuhan warga Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding,
Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, itu jadi perhatian publik karena seperti
fenomena gunung es. Tiga bulan lalu, ditemukan mayat bocah berusia 9 tahun
dalam sebuah kardus, dan dipastikan juga jadi korban kekerasan seksual.
Salah satu stasiun TV
menyatakan kasus kekerasan terhadap anak sejak 2010 (117 kasus) mengalami
kenaikan hingga 500% pada 2015 (560 kasus). Ragam kekerasan yang terjadi
ialah mulai fisik, peleceh an seksual, hingga pembunuhan. Pelaku kekerasan
mulai orang tak dikenal, pendidik (guru), hingga orang terdekat
(orangtua/kerabat).
Seyogianya orang dewasa
menjadi pelindung anak, bukan malah jadi predator. Di rumah, orangtua dan
kerabatlah yang bertanggung jawab memberikan kenyamanan sehingga si anak
tumbuh dalam kasih sayang. Di sekolah, guru dan segenap tenaga kependidikan
bertanggung jawab memberikan kenyamanan. Begitu juga di lingkungan
masyarakat, orang dewasa patut melindungi mereka. Hal itu sebagaimana tertera
dalam UU Perlindungan Anak Pasal 16 ayat 1, yaitu ‘Anak-anak berhak
mendapatkan perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi’.
Secara psikologis, anak yang
dibesarkan dengan kekerasan akan belajar untuk melawan. Jika dibesarkan
dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Sementara itu, jika
dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Anak yang dibesarkan dengan
persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam hidupnya.
Ada
kecanggungan
Dalam budaya masyarakat
Timur, masalah seks masih dianggap tabu sehingga sangat sulit untuk
menanamkan pendidikan seks kepada anak sejak dini. Sejak dulu orangtua
menganggap anak-anak akan tahu dengan sendirinya seiring dengan pertambahan
usianya.Ada istilah `tidak pantas' yang ditanamkan pada anak jika ingin
bertanya tentang seks.
Namun, zaman makin
berkembang pesat. TV dan internet menyediakan banyak pengetahuan apa saja
(termasuk seks) tanpa sensor. Orangtua tidak bisa lagi menjawab pertanyaan
kritis anak dengan sembarangan. Contohnya, “Dari mana adik bayi ada?“ Mungkin
dulu sudah pasti jawabannya dari pesawat. Sekarang iklan produk susu
kehamilan jelas menggambarkan bayi ada di dalam rahim ibu. Internet menyajikan
banyak video proses persalinan. Bahkan, video tak senonoh dengan mudahnya
dapat diakses siapa saja.
Kekerasan yang kerap
didapatkan anak, khususnya kekerasan seksual, sebenarnya dapat diminimalkan
dengan pembekalan pengetahuan seks sejak usia dini. Dengan tidak membiarkan
masalah seks menjadi hal yang tabu bagi anak, ia akan banyak tahu dan mampu
menjaga diri lebih baik. Menurut seorang pakar kesehatan
(http://www.alodoktor.com), pendidikan seks harus sudah diberikan sejak usia
balita, hanya sebatas memberikan pengertian adanya perbedaan antara tubuh
lelaki dan perempuan.
Ketika anak dalam usia
sekolah, peran orangtua dan guru harus sejalan dan seirama. Anak sudah harus
dijelaskan dengan benar tentang anatomi tubuh manusia. Dokter Boyke dengan
jelas mengatakan memberikan perumpamaan pada alat kelamin justru ber akibat
buruk pada pemahaman seks anak.
Nurul Chomaria (Pendidikan
Seks untuk Anak, 2014), mengatakan pendidikan seks pada anak-anak bukan
berarti mengajarkan soal hubungan badan, melainkan lebih pada upaya
memberikan pemahaman kepada anak tentang organ seks mereka, juga naluri
alamiah yang mulai muncul, serta bimbingan dalam menjaga dan merawat organ
intim se suai dengan pemahaman usia mereka. Melalui pendidikan seks yang
benar, anak-anak diharapkan dapat melindungi diri dan terhindar dari
pelecehan, sementara para remaja diharapkan lebih bertanggung jawab dalam
menjaga naluri seks mereka.
Toilet
training
Pemberitaan seperti kasus
pelecehan seksual atau penganiayaan anak/remaja dapat kita jadikan contoh
untuk penanaman pendidikan seks terhadap anak. Kita, selaku orangtua maupun
guru, dapat menjelaskan siapa saja yang boleh menyentuh tubuh anak (daerah
vital), bagaimana cara menyelamatkan diri jika ada orang asing yang berusaha
menyentuh tubuh anak secara tidak sopan, atau hal-hal tidak baik yang
dilakukan dengan teman lawan jenis.
Pada anak usia SD, sekolah
dapat memberikan pengetahuan seks melalui toilet training, yaitu anak diajari
cara membersihkan diri dengan benar sehingga tidak sembarangan orang dapat
menyentuh daerah intim si anak. Guru bidang sains dapat menjelaskan secara
terang anatomi tubuh laki-laki dan perempuan dengan segala perbedaannya,
menjelaskan menstruasi pada wanita, ereksi pada laki-laki, serta proses
kehamilan. Jika guru merasa kurang mampu melakukannya, ia dapat mengundang
‘guru tamu’ (dokter kandungan) yang lebih kompeten dalam memaparkan
pendidikan seks pada anak.
Pada anak usia SMP dan
SMA, pendidikan seks secara gamblang dijelaskan dalam pelajaran biologi. Yang
menjadi tantangan ialah bagaimana guru mampu mengemas pelajaran itu hingga
tidak disalahartikan siswa. Memberikan contoh kasus faktual akan lebih
mengena untuk anak remaja. Tujuannya ialah sebagai tindakan preventif agar
anak tidak terjerumus pada pergaulan bebas.
Sudah saatnya sekolah
menjadi sumber pengetahuan yang relevan mengenai seks pada anak, dan
memasukkannya dalam kurikulum sekolah. Dengan demikian, anak tidak lagi
merasa penasaran dan mencari tahu sendiri melalui berbagai media tanpa arahan
dan bimbingan yang akhirnya menjerumuskan mereka pada pemahaman yang salah,
atau ingin ‘mencoba informasi’ yang mereka peroleh.
SD Sukma Bangsa memberikan
pengetahuan seks pada siswa baru melalui toilet training saat MOS (masa
orientasi siswa), dan secara berkala diulang (selama kelas satu) untuk
memupuk pemahaman dan pembiasaan. Sementara itu, untuk siswa yang sudah lebih
dewasa, guru bidang sains yang berperan aktif sebagai sumber pengetahuan seks
memberikan penjelasan tentang alat reproduksi dan cara menjaganya. Unit
keamanan sekolah juga sangat ketat dalam hal penjemputan siswa SD. Hanya
orangtua atau keluarga yang dikenal yang diperbolehkan membawa pulang anak.
Jika si penjemput tidak dikenal, satpam memastikan ke guru apakah siswa
diperbolehkan pulang.
Saya juga seorang guru
biologi, dan ketika mengajar pada bab reproduksi (kelas 9 dan 12), saya
melakukan jajak pendapat dengan siswa dan melakukan diskusi mengenai cara
menjaga kesehatan alat reproduksi serta manfaatnya. Saya meminta mereka
mencari berbagai informasi melalui media cetak maupun elektronik tentang
kasus-kasus yang berkenaan dengan seks, yang kemudian juga akan menjadi bahan
diskusi di kelas. Selain itu, sekolah Sukma Bangsa Pidie juga bekerja sama
dengan dinas kesehatan kabupaten setempat untuk memberikan sosialisasi
kesehatan reproduksi bagi siswa SMP dan SMA.
Anak yang sudah memiliki
pemahaman seks dengan baik tidak akan dengan mudah dikelabui para predator
anak. Rusaknya generasi bangsa akan menjadi awal hancurnya negara. Orangtua,
guru, dan seluruh lapisan masyarakat harus menjadi kontrol bagi perilaku anak
sehingga tidak akan ada lagi kasus penganiayaan, pelecehan seksual, dan
pembunuhan, terutama pada anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar