Melawan Kekerasan dengan Kearifan
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
09 Mei 2016
KASUS yang terjadi pada
Yuyun jelas sangat memukul dunia pendidikan pada umumnya. Pelaku kekerasan
seksual yang dilakukan anak-anak yang masih berada di bangku sekolah itu
jelas menunjukkan kegagalan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan,
seperti orangtua, guru, kepala sekolah, dan birokrasi dalam menjaga muruah
pendidikan kita yang menjunjung tinggi budi pekerti. Fenomena Yuyun jelas
merupakan puncak perilaku tak terkontrol anak-anak kita karena selain tidak
memperoleh perhatian yang layak dari para orangtua mereka, juga rusaknya
lingkungan tempat mereka tinggal.
Kekerasan memang akan
terus ada sepanjang kesadaran kita tentang kehidupan ini sebagai sebuah
tantangan. Karena itu, kita harus pandai pula berpikir tentang lawan dari
kekerasan yang seharusnya menjadi bagian dari perilaku kita. Menurut saya,
lawan dari kekerasan ialah perdamaian, dan damai ialah karakter. Untuk
mencapainya dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang
melalui sebuah skenario.
Jika skenario ialah sebuah
rencana, pendidikan ialah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk
menggali potensi damai dalam diri masing-masing. Dalam pendidikan, seseorang
harus bersedia belajar tentang semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi
damai.
Problem kekerasan terhadap
anak seolah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Modus
kekerasan terhadap anak juga sangat beragam, mulai dari problem psikologis
orangtua hingga kerusakan struktural masyarakat karena hilangnya rasa saling
memiliki. Pendek kata, bisa jadi kekerasan terhadap anak saat ini sudah
menjadi epidemi keempat setelah kemiskinan, kekurangan gizi, serta rendahnya
kesempatan belajar anak. Saat ini lebih dari 200 juta anak di bawah usia lima
tahun di negara berkembang berisiko tidak mencapai potensi penuh pembangunan
mereka karena menderita konsekuensi negatif dari kemiskinan, kekurangan gizi,
dan kesempatan belajar yang tidak memadai (Lancet 2007).
Mengontrol
sekolah
Kata mengontrol sebaiknya
berlaku bagi semua pemangku kepentingan. Orangtua dalam hal ini tidak boleh
dibiarkan asing dan minim informasi tentang apa yang terjadi di sekolah. Peta
informasi keseharian sekolah setidaknya harus sampai kepada orangtua setiap
seminggu sekali. Dosa besarlah bagi setiap sekolah yang hanya memberikan
laporan kemajuan anak hanya melalui capaian akademik semata, tetapi lalai
dalam mengelola informasi yang terjadi sehari-hari di sekolah. Tuesday folder
yang berisi informasi harian aktivitas anak di sekolah merupakan salah satu
contoh eksemplar yang bisa digunakan sekolah untuk mengontrol perilaku
anakanak mereka.
Saya kira setiap kepala
sekolah, guru, orangtua, dan para pendidik harus membaca memoar Jodee Blanco,
Please Stop Laughing at Me... One
Womans's Inspirational Story yang diterbitkan oleh Penerbit Alvabet
menjadi `Bencana Sekolah! Memoar
Mengejutkan, Menggugah, dan Menginspirasi tentang Bullying’ (2013).
Dalam pengakuan Jodee,
“Saya membiarkan para siswa tahu bahwa bullying
bisa merusak kita selamanya, dan bahwa bullying
bukan cuma berarti hal-hal keji yang kita lakukan, melainkan juga hal-hal
baik yang tidak kita lakukan, seperti membiarkan seseorang duduk sendirian
saat makan siang, selalu memilih terakhir orang yang sama ketika membagi-bagi
tim di kelas, atau berbicara tentang seseorang alih-alih berbicara dengan
mereka.” Kita harus terus meyakinkan para orangtua, sekolah, guru, siswa,
pegawai, dan para pendidik bahwa kekerasan bukan pilihan utama untuk men
jalankan proses pendidikan yang baik dan benar.
Setiap orang belajar
melalui sebuah interaksi yang intens dengan sesama. Selain itu, karena
kelebihannya sebagai makhluk yang berpikir, manusia juga belajar melalui
interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hasil dari proses belajar melalui
interaksi ini tentu saja sangatlah beragam karena mencakup hampir semua
domain pendidikan yang melingkupi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Melalui serangkaian interaksi, proses belajar pada akhirnya dapat membawa seseorang
bagaimana harus bertindak dan bersikap berdasarkan pemahaman, keterampilan,
dan perasaannya. (lihat Kirsi Tirri and Elina Kuusisto: Interaction in
Educational Domains, 2013).
Akumulasi
kegagalan
Pertanyaan menarik
sesungguhnya datang dari efek proses belajar-
mengajar yang dapat berujung
pada perilaku kekerasan. Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi yang
memuncak dengan tragedi Yuyun patut diuji melalui serangkaian analisis, baik
secara sosiologis maupun pedagogis.
Secara sosial,
jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat kita itu merupakan
akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan kita dalam melakukan transfer
pendidikan secara damai dan berkeadilan, sedangkan secara pedagogis,
jangan-jangan sekolah-sekolah kita memang tak memiliki kendali operasional
resolusi konfl ik yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa
mengatur pola konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif.
Selain itu, ada satu cara
lagi yang sangat efektif dalam konteks mengontrol sekolah, yaitu proses
mediasi melalui mendengar. Bagi anak, jika orangtua, guru, dan kepala sekolah
mau menjadi pendengar yang baik pasti proses belajar-mengajar akan
menumbuhkan karakter anak yang sehat dan positif. Mendengar ialah salah satu
kunci pokok dari sebuah proses komunikasi efektif dalam proses belajar antara
anak dan orangtua serta anak dan guru mereka.
Keterampilan mendengar
tentu sangat dipengaruhi tingkat pendidikan, kematangan, dan kedewasaan
seseorang, terutama juga dari seberapa sering seseorang berinte raksi dengan
orang lain. Dalam konteks pendidikan, tentulah orangtua dan guru yang paling
banyak berinteraksi dengan anak-anak mereka. Karena itu, seharusnyalah guru
dan para orangtua memiliki kemampuan mendengar lebih baik dari siapa pun.
Patut juga dicatat, bahwa
mendengar, termasuk di dalamnya melalui proses mendongeng, sesungguhnya
merupakan keterampilan pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia. Di dalam
ajaran Islam, misalnya jelas disebutkan bahwa ketika seorang jabang bayi
terlahir di muka bumi, keterampilan pertama yang diberikan Tuhan ialah mendengar
(sam’a), baru disusul keterampilan
melihat (abshar), dan mengelola
pengetahuan dengan hati (af’idah).
Bagi saya, ketiga keterampilan ini merupakan strategi belajar yang diinginkan
Tuhan secara tidak langsung kepada orangtua dan guru, agar ketika melakukan
proses belajar mengajar, mendengar terlebih dahulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar