Memori
Bre Redana ;
Penulis Kolom UDAR RASA Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 15 Mei 2016
Bagaimana
sebenarnya mengatasi memori? Peristiwa lama, kota lama, pacar lama, atau apa
saja yang hendak kita lupakan kadang muncul berkelebat tanpa kita kehendaki.
Memori dan imajinasi: selain jadi rahmat dan keberuntungan, kadang jadi
beban.
Tanpa
saya bisa cegah, ketika orang membicarakan peristiwa 1965 seperti dalam
Simposium Tragedi 1965 di Jakarta bulan lalu, saya membayangkan Umberto Eco
yang kini telah jadi roh hadir duduk di sebelah saya. Sebagai filosof, ahli
semiotika, sejarah, dan peminat segala hal yang berhubungan dengan
keganjilan, mendadak ia bertanya kepada saya.
"Mengapa
disebut peristiwa 30 September?"
"Memangnya
kenapa, Tuan?" tanya saya takzim. Ia idola saya. Di mata saya, ia
seperti dewa.
"Bukankah
peristiwanya terjadi tanggal 1 Oktober?"
Jelas
semua yang berminat pada sejarah tahu hal itu. Dini hari tanggal 1 Oktober
1965, sejumlah pasukan bergerak dari kawasan pinggiran Jakarta masa itu,
Halim Perdanakusuma, menuju Menteng di jantung Jakarta. Di kawasan ini semua
jenderal yang jadi target penculikan tinggal. Pasukan disebar ke tujuh rumah
yang menjadi sasaran. Kejadian berlangsung sekitar pukul 04.00 pagi.
"Ya,
persiapannya, kan, beberapa jam sebelumnya," jawab saya, tak ingin orang
asing mengotak-atik anakronisme sejarah bangsa.
"Peristiwa
seserius itu dipersiapkan beberapa jam sebelumnya?" dia melotot.
Baru
saya sadar. Yang saya hadapi penulis sejumlah novel berlatar belakang konspirasi
kekuasaan, dari The Name of the Rose
sampai The Prague Cemetary.
"Ya,
itu pelaksanaannya, Tuan," saya membela diri, tak mau kehilangan muka.
"Kalau persiapannya, seperti ditulis para ahli, berlangsung sejak
beberapa bulan sebelumnya."
Dalam
hati saya berharap, ia berhenti bertanya. Dalam The Prague Cemetery, ia menggambarkan rumitnya operasi rahasia
untuk mendongkel kekuasaan. Selain rumit, juga ia gambarkan berlangsung
sangat lama, dengan menanam agen di mana-mana.
Ah,
fiksi berbeda dibandingkan sejarah, kata saya dalam hati. Meski kalangan
post-modernis saya tahu akan menukas: fakta dan fiksi tak ada beda, Bung.
"Beberapa
bulan sebelumnya...," Eco mendesah tanpa menoleh ke saya. "Itu
berarti suatu operasi yang direncanakan untuk gagal."
Tak
saya tanggapi pernyataannya. Kenyataannya, peristiwa penculikan para jenderal
terjadi dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada hari yang sama, sekitar pukul
20.00 atau 16 jam sesudahnya, serangan balik oleh Soeharto memorakporandakan
kalangan penculik sekaligus membalikkan keadaan.
Tidak
ada perlawanan berarti dari pihak komando operasi penculikan. Tokoh-tokohnya
telah kabur meninggalkan Halim Perdanakusuma beberapa jam sebelumnya. Begitu
pun Presiden Soekarno yang pada 1 Oktober itu sempat berada di Halim Perdanakusuma.
Dia telah diungsikan ke Bogor. Tanggal 2 Oktober sekitar pukul 06.00, operasi
pemulihan keamanan praktis bisa dianggap beres.
"Bukankah
penamaan peristiwanya ganjil?" Eco bertanya sembari menatap saya.
Sudah
saya duga, sebagai orang yang berminat pada keganjilan, dia akan bertanya
seperti itu. Banyak buku tentang keganjilan ia tulis, antara lain On Ugliness. Mengenai kekuasaan yang
selalu membutuhkan sosok musuh, ia menulis kumpulan esai berjudul Inventing the Enemy.
"Yang
tengah kami bicarakan bukan kronik sejarah, Tuan," saya membikin
ancang-ancang untuk mendebatnya. "Kami tengah membicarakan upaya
rekonsiliasi dan maaf. Sing wis yo uwis,"
kata saya mengutip pernyataan bijak seorang tokoh. Siapa tahu saya ketularan
bijak.
"Kalau
kronik peristiwa tidak jelas, siapa harus memaafkan siapa?" dia terus
mendesak. "Maaf itu mudah. Waktu mampu menyembuhkan luka. Apalagi dalam
peristiwa bangsa yang melibatkan begitu banyak orang. Di antara para pelaku
dan keturunannya pasti terekonsiliasi dan terhubung dengan sendirinya. Bukan
tidak mungkin di antara mereka terjadi hubungan cinta dan pernikahan,"
ia melanjutkan.
"Iya,
Tuan," kata saya seperti pesakitan.
Mungkin
kesal, ia menghilang meninggalkan saya.
Mudah-mudahan
dia tak datang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar