Guangzhou
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 15 Mei 2016
Guangzhou
adalah Kota Bunga. Begitu selalu disebut. Disebut kota bunga mungkin karena
indahnya kota itu: yang bersih trotoarnya, rapi, banyak taman, dan banyak
lahan hijau. Pohon-pohon beringin dengan rimbun daunnya berjajar rapi seperti
tentara berbaris, berdiri tegak di pinggir jalan, dan bunga bermekaran indah
warnanya di sepanjang jalan di mana-mana.
Apabila
malam hari, lampu-lampu berpijaran dari gedung-gedung tinggi yang
berlomba-lomba ingin menggapai langit. Dan, lihatlah betapa indahnya lampu
Menara Kanton yang berketinggian (sampai antena puncak) 610 meter dan, jika
sampai atap saja, 454 meter. Menara yang berdiri di daerah Chigang Pagoda, Distrik
Haizhu, Guangzhou, Tiongkok, itu mulai dioperasikan pada 29 September 2010
untuk Asian Games 2010.
Bunga,
menurut Petr Rafaelyevich Fedorov, Direktur Urusan Internasional Radio dan
Televisi Rusia (milik negara) dalam "ÄSEM Media Dialogue" di
Guangzhou, menyimbolkan kehidupan dan kematian. Dalam mitos dan legenda,
bunga memiliki banyak arti. Bunga juga diasosiasikan dengan masa muda,
kecantikan, dan kebahagiaan. Akan tetapi, ketika menjadi layu dan mati, bunga
melambangkan keringkihan dan begitu cepat berlalu dari kehidupan ke kematian.
Itulah
sebabnya bunga menyimbolkan, sekaligus, kehidupan dan kematian. Namun, ketika
bermekaran dengan warna yang begitu indah, bunga-bunga tidak pernah
beteriak-teriak memamerkan diri, memamerkan keindahannya, berlagak penuh
keangkuhan. Karena, memang, ketika bunga mekar, pada saat itu lembut, penuh
warna, dan terkadang menebarkan bau wangi, tetapi ringkih.
Dari
sinilah muncul kualitasnya sebagai simbol penuh makna. Dan, ketika pada
akhirnya layu dan mati, bunga tidak pernah pula mengeluh, menyesali
keindahannya yang dalam waktu singkat hilang. Kelopak bunganya yang indah itu
rontok satu per satu. Padahal, banyak bunga yang hanya mekar selama beberapa
pekan, bahkan hanya pada musim tertentu saja. Ada pula bunga yang hanya mekar
beberapa jam, bahkan hanya pada malam hari.
Guangzhou
memang kini "bunga" Tiongkok yang mekar di Sungai Mutiara, yang
membelah kota berpenduduk 16 juta jiwa itu. Kota yang terletak 120 kilometer
barat laut Hongkong dan 145 kilometer utara Makau itu adalah kota terbesar
kelima di Tiongkok dan terbesar ketujuh di dunia. Inilah pintu gerbang
Tiongkok ke kawasan Laut Tiongkok (China) Selatan, wilayah yang kini diklaim
sejumlah negara sebagai milik mereka. Kota inilah tempat lahir Jalur Sutra
Laut di zaman Tiongkok kuno (kini kita, Indonesia, juga sedang senang bicara
tol laut, yang semoga juga menjadi jalur sutra di masa depan).
Sejarah
menceritakan, bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di
Guangzhou-yang dalam bahasa Portugis disebut Kanton-adalah bangsa Portugis,
masuk lewat laut pada 1514. Di kota ini, mereka memonopoli perdagangan. Pada
abad ke-18, Kanton menjadi salah satu pelabuhan perdagangan terbesar di
dunia. Di sini pula pecah Perang Candu Pertama (1839-1842) dan Perang Candu
Kedua (1856-1860) yang diakhiri, antara lain, dengan diserahkannya Hongkong
kepada Inggris lewat Perjanjian Nanking.
Guangzhou
sekarang adalah sebagian dari potret keberhasilan reformasi dan kebijakan
membuka diri yang dilakukan Tiongkok sejak lebih dari tiga dasawarsa silam.
Kebijakan "Pintu Terbuka" dimaklumkan Deng Xiaoping pada Desember
1978. Sebelumnya, mitra dagang utama Tiongkok adalah Uni Soviet dan
negara-negara satelitnya.
Pada
2001, Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia, lembaga yang
menetapkan aturan perdagangan dunia. Tiongkok berharap keanggotaannya akan
menjamin reformasi dan sistem ekonominya yang berorientasi pasar terus
bertumbuh dan berkembang. Dan, harapan itu menjadi kenyataan. Kini, Tiongkok
menjadi kekuatan besar ekonomi; tidak hanya di Asia, tetapi juga di dunia.
Itulah
sukses Tiongkok setelah reformasi dan keterbukaan. Menurut Kishore Mahbubani,
hal itu pertama-tama mengafirmasi sebuah revolusi besar dan konstruksi
Tiongkok. Itu berarti juga mengafirmasi kekuatan bangsa Tiongkok. Akan
tetapi, yang paling penting adalah mengafirmasi otentisitas peradaban dan
tradisi rakyat Tiongkok. Kekuatan ini bukan sekadar lagu dan tarian dalam
menyambut globalisasi dan praktik-praktik internasional yang telah membawa
Tiongkok memasukinya. Ini bukan bentuk xenophobia sempit, tetapi inilah
kepercayaan dan harapan besar yang diletakkan pada peradaban Tiongkok kuno.
Dan, inilah yang telah membawa Tiongkok, tidak hanya Guangzhou, menjadi
kapitalis bendera merah. Yang merah hanyalah benderanya, tetapi roh dan napas
bendera itu kapitalis.
Guangzhou,
Kota Bunga, terus berbunga dalam segala artinya; melebarkan pengaruhnya lewat
Laut Tiongkok Selatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar