Urgensi Fiskal Tax Amnesty
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik
Financeroll Indonesia
|
MEDIA IDONESIA, 08 April
2016
KEMENTERIAN Keuangan
(Kemenkeu) melaporkan realisasi penerimaan pajak kuartal I tahun ini baru
mencapai Rp 194 triliun atau Rp 4 triliun lebih rendah dari realisasi
penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu, Rp198,23 triliun. Sebagaimana
diberitakan media, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menegaskan akan berupaya
untuk mencapai target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp1.360,1 triliun. Terlebih
lagi, penerimaan pajak menopang pembiayaan sekitar 70% dari APBN 2016 sebesar
Rp1.822,5 triliun. Mau tidak mau, berbagai upaya harus dilakukan segera, di
antaranya mengumpulkan dan memperbaiki informasi wajib pajak (WP) hingga
pemberian insentif pengampunan pajak (tax
amnesty).
Opsi yang tersisa
selain berbagai upaya untuk memenuhi target ialah keberanian untuk memangkas
belanja. Secara tradisional, setiap ada momen APBN-P selalu tebersit harapan
unit-unit kerja pemerintahan untuk mendapat tambahan anggaran yang lebih
tinggi. Tampaknya pemerintah sangat menyadari bahwa pos penerimaan negara
merupakan titik rapuh APBN. Kerapuhan postur APBN sejatinya hanya merupakan
imbas dari sistem penyusunan anggaran yang dianut yang selama ini ternyata
dilakukan dengan menetapkan belanja terlebih dahulu. Anggaran belanja
dikumpulkan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran dari
kementerian/lembaga, termasuk dana yang didaerahkan.
Dengan pagu anggaran
belanja yang ada, pemerintah lalu menggali sumber-sumber penerimaan untuk
pembiayaannya. Artinya, daftar rencana belanja tidak dibarengi dengan
kesiapsiagaan dana (fresh money) di
kas negara. Jika dibandingkan dengan penetapan belanja, penyusunan anggaran
penerimaan sangatlah kompleks. Agar penerimaan negara yang realistis bisa
diraih, pemerintah menggunakan asumsi dasar.
Target penerimaan
total ditetapkan dengan memperhitungkan besaran ekonomi makro nasional dan
internasional. Asumsi dasar atas kuantitas produksi migas dalam negeri, harga
migas Indonesia, dan harga migas dunia dibuat sehubungan dengan pos
penerimaan sumber daya alam.
Fokus perhatian banyak
tertumpah pada perpajakan lantaran statusnya sebagai sumber penerimaan utama.
Estimasi persentase pertumbuhan ekonomi dan inflasi domestik menjadi prasyarat
dalam menghitung target pertumbuhan alami penerimaan perpajakan.
Dengan kondisi seperti
ini, akhirnya pemerintah dipaksa untuk tidak hanya menggali pendapatan dari
sumber yang sudah ada, tapi juga berjuang memancing kepulangan dana yang
ditempatkan di luar negeri melalui RUU Tax Amnesty (repatriasi). Secara umum,
setidaknya ada dua aturan besar yang akan disentuh pemerintah untuk
menggelembungkan pendapatan negara. Pertama, lewat revisi UU Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Kedua, lewat pembentukan RUU Pengampunan
Pajak atau yang populer disebut RUU Tax Amnesty.
Ganggu pembangunan
Pemerintah nampaknya
tak sungkan-sungkan lagi menggali sumber pajak karena ingin mengejar target
pajak tahun ini yang mencapai Rp 1.368 triliun. Sekadar mengingat, tahun lalu
dengan target Rp 1.294,3 triliun, Ditjen Pajak hanya mampu mengumpulkan
81,5%, atau Rp 1.055 triliun. Ini berarti bahwa Ditjen Pajak harus mencapai
pendapatan 30% lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Namun, dari perkembangan
yang ada, jika tidak segera dicarikan solusi fiskalnya, saya menduga,
kemungkinan akan ada selisih target dan penerimaan pajak (shortfall) sampai Rp200-an triliun
yang bisa mengganggu rencana pembangunan tahun ini.
Atas alasan inilah
akhirnya pemerintah berkeinginan mengajukan revisi UU KUP. Secara teknis,
pemerintah salah satunya ingin memperluas WP pribadi. Misalnya, dengan
melegalkan kewenangan menggali data rahasia nasabah dan pribadinya tanpa
batas sebagaimana yang santer diberitakan belakangan ini. Prosesnya dibahas
bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, yakni revisi UU yang
nantinya memayungi keterbukaan pertukaran informasi atau Automatic Exchange of Information (AEOI), diharapkan rampung pada
2017.
Selain merevisi aturan
yang sudah ada, pemerintah juga berniat menyusun RUU Tax Amnesty. Harapannya,
dana hasil ekspor yang selama ini disimpan pengusaha ke luar negeri, bisa
masuk kembali ke Tanah Air (repatriasi). Tarif tebusannya 2% untuk dana yang
dilaporkan tapi tak direpatriasi dan diskon menjadi 1% untuk modal yang
disimpan kembali ke dalam negeri. Menurut pemerintah, dana yang terparkir di
luar negeri diperkirakan mencapai Rp 4 ribu triliun. Dari dana itu,
kemungkinan yang tertarik untuk ikut tax
amnesty diperkirakan sebesar Rp 3 ribu triliun.
Jika benar, pajak yang
masuk bisa mencapai Rp 60 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
malah mengatakan dana tersebut bisa terserap hanya tiga bulan sejak beleid itu disahkan.
Persoalannya, data
yang ada masih simpang siur. Pemerintah berpatokan kepada data dari Mckinsey
dan Formal Tax Authority di
berbagai negara yang belum terperinci secara teknis. Asumsinya, tentu tidak
semua dana tersebut bisa direpatriasi dengan mudah. Saya menduga sebagian
besar dana tersebut justru berupa dana produktif yang terikat dengan daerah
di mana dana itu terletak sehingga kalkulasi Rp 3 ribu triliun dari Rp 4 ribu
triliun yang diasumsikan pemerintah terlihat terlalu ambisius dan berlebihan.
Ini belum termasuk soal ketidakbersediaan para objek tax amnesty, baik karena sudah terlalu nyaman berada di luar
sistem perpajakan nasional (via manipulasi offshore company) ataupun karena alasan-alasan lainnya, termasuk
ketakutan diketahuinya asal-usul dana tersebut (bagi objek tax amnesty yang
takut terjerat pasal pencucian uang).
Alasan politis
Pada tataran lain,
pengesahan RUU Tax Amnesty nampaknya akan menjadi tantangan politis pertama
bagi pemerintah. Pasalnya, ada indikasi DPR ingin menunda pembentukan RUU
ini. Hal ini patut juga dimaklumi, toh DPR memiliki wewenang untuk itu. Jadi,
pemerintah jangan terlalu cepat berasumsi bahwa lantaran kocek negara sedang
ketat, lalu DPR dianggap akan setuju begitu saja. Konon, pembahasan RUU Tax
Amnesty baru akan mulai dibahas di DPR setelah masa reses.
Di mata pemerintah, kengototan untuk merampungkan RUU Tax
Amnesty agar terbentuk tahun ini tentu memiliki alasan yang sangat kuat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Pasalnya, kekurangan penerimaan pajak akan
membawa dua risiko lain. Pertama, risiko fiskal dari kemungkinan shortfall penerimaan pajak. Kedua,
risiko defisit anggaran lebih besar jika tax
amnesty akhirnya tidak mendorong penerimaan pajak sesuai harapan.
Bahkan, kabarnya
Menteri Keuangan pun mengakui bahwa skenario menghadapi ancaman pelebaran
defisit sangat tergantung kepada kebijakan tax amnesty.
Berhasil atau tidaknya
tax amnesty akan menentukan porsi
jumlah utang, pemangkasan anggaran, sampai penggunaan sisa lebih penggunaan
anggaran (SiLPA) 2015. Pemerintah sejatinya dalam APBN 2016 menargetkan
defisit tahun ini sebesar Rp273,2 triliun, atau 2,15% dari Produk Domestik
Bruto. Dengan asumsi menggunakan SiLPA Rp20 triliun, pemerintah ingin bisa
melebarkan defisit menjadi Rp293,1 triliun, atau 2,31%.
Jika pemerintah
mengalami kekurangan penerimaan lagi, salah satu cara efisiensi bujet ialah
pemangkasan anggaran dan dipastikan bakal ada pemotongan anggaran
nonprioritas. Besar kemungkinan kementerian dan lembaga akan diminta menyisir
anggarannya, mengurangi belanja barang atau belanja rutin non-gaji, sampai
memangkas biaya perjalanan dinas.
Kesamaan sikap antara
pemerintah dan DPR akan menjadi jawaban krusial atas pertanyaan 'seberapa
mampu pemerintah tahun ini merealisasikan target penerimaan negara dari
sektor perpajakan?' Salah satu jawaban pentingnya ada pada UU Tax Amnesty,
seberapa kuat niat kedua belah pihak untuk mencapai target penerimaan negara
dari sektor perpajakan dan seberapa positif political will mereka untuk memberi pelumas kepada perekonomian
nasional yang terancam macet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar