Satgas 115 dan Rezim Laut Negara PMD
Connie Rahakundini Bakrie ;
President Indonesia Institute
for Maritime Studies
|
KORAN SINDO, 04 April
2016
Insiden Satgas 115
menggunakan kapal KP Hiu dengan kapal coast guard China di Natuna menuai
kontroversi. Tidak tanggung-tanggung kontroversi ini memaksa Dirjen Hukum
Kementerian Luar Negeri ikut berkomentar di media massa setelah rombongan
FDIPUI (Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia) diterima Presiden di
Istana Negara di mana salah satu hal yang dibahas dengan Presiden Jokowi dan
Mensesneg adalah insiden Natuna dengan keberadaan serta tindakan kapal Satgas
115 di ZEE.
Pertanyaan mendasarnya
terletak pada peraturan apakah yang mengizinkan Satgas 115 berada di ZEE dan
sudah tepatkah Satgas 115 untuk menjadi aktor baru penegak hukum hingga di
ZEE ? Peraturan yang melahirkan Satgas 115 sesungguhnya sejak awal sudah
diduga akan menuai kontroversi. Mengapa? Satgas sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 Perpes 115/2015 bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Satgas ini bertugas
mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya
pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi
Indonesia secara efektif dengan mengoptimalkan pemanfaatan personel dan
peralatan operasi, baik kapal, pesawat udara, maupun teknologi yang dimiliki
Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, Kepolisian Negara,
Kejaksaan Agung, Bakamla, dan institusi terkait lainnya.
Dalam melaksanakan
tugasnya Komandan Satgas 115, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan, dapat
memerintahkan unsur-unsur Satgas untuk melaksanakan operasi penegakan hukum
dalam rangka pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di kawasan yang
ditentukannya. Dalam hal ini Satgas 115 memiliki hak untuk melaksanakan
komando dan pengendalian atas kapal, pesawat udara, dan teknologi dari elemen
negara yang sudah berada di dalamnya.
Satgas 115 terdiri
atas Komandan Satgas Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala Pelaksana Harian
Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Wakil Kepala Pelaksana Harian 1 Kepala
Bakamla, Wakil Kepala Pelaksana Harian 2 Kepala Badan Pemelihara Keamanan,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Wakil Kepala Pelaksana Harian 3
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.
Tim gabungan ini
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada komandan satgas yang merupakan
satu-satunya pemegang otoritas dan berwenang melaksanakan komando dan kendali
terhadap unsur-unsur satgas. Dilihat dari aspek pertahanan, sangat jelas
Perpres 115/2015 ini mencederai TNI, menentang UUD 1945, UU TNI Nomor
34/2004, danUUPertahanan.
Jika kita cermati
pedoman umum untuk pelaksanaan operasi, Menteri KKP merupakan komandan satgas
dan satu-satunya pemegang otoritas dan berwenang melaksanakan komando dan
kendali terhadap unsur-unsur satgas. Padahal jelas sangat bahwa organ TNI
tidak boleh lepas kendali baik ke/dari luar TNI. Tentara di mana pun di dunia
ini harus bertanggung jawab kepada panglimanya dan dalam hal ini TNI harus
bertanggung jawab kepada Panglima TNI.
Meskipun Presiden
adalah panglima tertinggi dari TNI, tetap saja perpres ini melanggar UU
karena perpres ini hanya merujuk pada UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan
telah lalai merujuk pada UUD 1945, UU Nomor 34/2004 tentang TNI, UU Nomor
3/2003 tentang Pertahanan.
Pusat Data Informasi
KIARA juga mencatat setidaknya ada 4 kebijakan yang ditabrak oleh Perpres
155/2015 tentang Satgas 115, yakni Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015
tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan
Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2015 tentang Badan Keamanan Laut.
Dilihat dari sisi
hukum laut, United Nation Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah membagi wilayah laut menjadi 4
wilayah : 1. Wilayah perairan sampai dengan 12 mil dari garis pantai ke arah
laut. 2. Zona tambahan sampai dengan 24 mil dari garis pantai. 3. ZEE sampai
dengan 200 mil diukur dari mulai 12 mil wilayah perairan. 4. Laut bebas lebih
dari 200 mil.
Adapun aktor-aktor
penegak hukum di wilayah laut telah juga diatur oleh UNCLOS di mana di zona
laut bebas adalah kapal perang (war
ships), di zona ZEE, adalah war
ship dan kapal negara (government
ship), di zona tambahan, kapal bea cukai dan karantina dan di wilayah
perairan teritorial adalah kapal polisi, pengawasperikanan, Bakamla, KPLP,
juga KRI.
Di ZEE berlaku hukum
internasional, yaitu pelayaran damai. Secara internasional seluruh negara di
dunia wajib menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran di zona tersebut. Di
Indonesia, untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran diatur di UU
17/2008 tentang Pelayaran yang menugasi kapal KPLP bertindak sebagai
governmentship untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran mulai dari
wilayah perairan sampai dengan ZEE.
Di ZEE Indonesia
memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA di laut
dan Article 73 UNCLOS memberikan kewenangan bagi negara pantaiuntuk mengambil
tindakan hukum bila terjadi pelanggaran hukum di situ. Tapi secara tegas
Article 111 UNCLOS juga telah mengatur bahwa penegak hukum di ZEE adalah
hanya war ship & governmentship.
Itulah sebabnya tugas governemnt ship (umumnya dikenal
sebagai coast guard) di seluruh
dunia kemudian bertambah, yaitu untuk menertibkan dan mengamankan eksplorasi
dan eksploitasi SDA. Sangatlah jelas, bagi kapalkapal selain dua jenis kapal
tersebut, tidak ada yang diizinkan untuk menangkap, menindak pelanggar hukum
atau melaksanakan hot pursuit (melakukan pengejaran seketika) di ZEE, sebagai
salah satu sarana yang diberikan oleh UNCLOS kepada negara pantai.
Artinya, bagi kapal
yang melakukan penangkapan dan penindakan di luar kedua jenis kapal tersebut
di ZEE malah dapat dianggap sebagai kapal perompak, pembajak atau teroris di
laut. Di sinilah letak permasalahan atas kapal Satgas 115 yang mencapai ZEE
untuk melaksanakan Perpres 115 karena kapal Satgas 115 tidak dikenal di dunia
internasional.
Argumen bahwa UNCLOS
tidak mengatur kewajiban perolehan nomor International Maritime Organization
(IMO) bagi kapal patroli dikarenakan kewajiban perolehan nomor IMO sebagai
implementasi dari The International Convention for the Safety of Life at Se a
(SOLAS) 1974, yang berlaku efektif sejak 1996, hanya berlaku terhadap kapal
penumpang berukuran 100GT + dan kapal barang/ kargo berukuran 300GT +,
membawa pertanyaan ke manakah kapal Satgas 115 akan bermuara secara hukum
untuk dapat digelar hingga di ZEE ?
Inilah yang harus
dijawab Kemlu karena jika insiden seperti ini terjadi lagi setidaknya Kemlu
harus bisa melindungi kapal-kapal Satgas 115 dalam payung hukum internasional
karena kapal patroli adalah kapal penegak hukum yang harus dikenal secara
internasional apabila bermain di wilayah ZEE karena ZEE bukan wilayah
kedaulatan Indonesia semata tetapi juga ada hak dunia internasional di sana.
Insiden Satgas 115 di
Natuna kemarin kiranya dapat menjadi cambuk utama dalam pembenahan aturan dan
peraturan baik aktor ataupun alat utama sistem senjata penegak hukum di rezim
laut kita dalam rangka menjadi negara poros maritim dunia (PMD) yang digdaya,
benar dan cerdas di lautan dan samudra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar