Revitalisasi Koperasi Mendesak
Dedi Purwana ES ;
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta
|
KORAN SINDO, 08 April
2016
Seandainya Bung Hatta
masih hidup, tentu beliau terenyuh dan menangis melihat kondisi mengenaskan
perkoperasian di Tanah Air. Jauh dari apa yang beliau cita-citakan sebagai
bapak koperasi.
Padahal dengan jelas
Bung Hatta mengatakan bahwa koperasi bukan barang impor, tetapi sangat dekat
dengan keseharian bangsa Indonesia. Ironisnya, entitas yang satu ini seolah
hidup enggan mati tak mau. Masyarakat pun enggan untuk bertransaksi ekonomi
melalui entitas usaha kerakyatan ini. Apalagi di perkotaan seolah tidak ada
lagi ruang gerak bagi pilar ekonomi rakyat tersebut.
Kondisi itu jelas
mendegradasi peran koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional. Sistem
ekonomi pasar yang kental di negara ini telah menggerus kontribusi koperasi
sebagai pilar ekonomi kerakyatan. Ekonomi pasar yang cenderung
individualistis dan membenarkan kekayaan terpusat pada sekelompok individu
tertentu ternyata lebih disukai masyarakat kita.
Koperasi dianggap ndeso meski falsafah yang diusung
sangat mulia. Kesejahteraan bersama anggota dan asas gotong-royong tampaknya
tidak lagi mendapatkan tempat layak di masyarakat kapitalisme. Oleh
karenanya, sulit berharap koperasi mampu berperan mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan.
Kiprah koperasi dalam
perekonomian nasional pun tenggelam. Pemerintah lebih senang mengucurkan
penanaman modal negara kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) daripada mengurusi pilar ekonomi kerakyatan ini.
Data Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), misalnya, menyebutkan jumlah
koperasi di Indonesia tahun 2015 sebanyak 209.488 unit. Dari jumlah tersebut,
koperasi yang aktif sebanyak 147.249 unit (70,28%) dan tidak aktif 62.239
unit (29,72%). Fakta tersebut membuat miris mengingat entitas ini diharapkan
berkontribusi terhadap pemerataan ekonomi masyarakat.
Kehilangan Jati Diri
Pada masa Orde Baru,
koperasi begitu dimanja pemerintah meski di balik itu ada alasan politis yang
mendasarinya. Hingga saat ini pun koperasi masih dijadikan konsumsi politik
jelang pemilu dan pilkada. Isu koperasi dijadikan agenda seksi untuk meraih
masa saat kampanye. Akhirnya, koperasi hanya dijadikan objek penderita.
Toh tak terealisasinya
janji-janji saat kampanye dianggap lumrah dalam tatanan politik di negeri
ini. Harus diakui bahwa daya tarik ekonomi dan sosial dari kelembagaan
koperasi minim. Dari segi ekonomi, koperasi tidak menarik karena tidak bisa
memberikan nilai tambah ekonomi.
Dari segi sosial,
koperasi tidak menarik karena bukan komunitas solid. Namun anehnya masyarakat
akan berbondong-bondong masuk koperasi manakala entitas ini menawarkan imbal
hasil yang menggiurkan meski tidak logis. Berapa banyak korban investasi
bodong yang dikelola dengan menggunakan payung hukum koperasi?
Minat anak-anak muda
untuk menggeluti perkoperasian sangat rendah. Ini tecermin dari minimnya
jumlah peminat pada program studi koperasi di perguruan tinggi negeri (PTN)
maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Rasio antara peminat dengan daya
tampung yang tersedia sangat rendah.
Selain itu pendidikan
koperasi tidak mendapatkan porsi lebih dalam kurikulum pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Koperasi sekolah dan mahasiswa kehilangan orientasi
sebagai sarana pembelajaran bagi tumbuhnya minat berkoperasi. Persoalan lain
adalah hilangnya modal sosial dalam berkoperasi.
Berangkat dari
pemikiran bahwa koperasi tumbuh karena kultur sosial yang kental, seharusnya
koperasi mudah beradaptasi dengan transformasi sederhana. Namun ternyata
transisi ini gagal, koperasi kehilangan roh sosial ekonomi ketika sudah
terbentuk. Pada akhirnya makna kebersamaan hanya dalam konteks jumlah, bukan
kerja.
Revitalisasi Peran
Mengembalikan kejayaan
koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat adalah harapan kita semua. Revitalisasi
peran koperasi sebuah keniscayaan. Namun ini tentu tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Upaya berikut ini patut dipertimbangkan para pengampu
kepentingan. Pertama, tingkatkan minat berkoperasi di kalangan pelajar dan
mahasiswa.
Orang tua dan guru
memiliki peran sentral menumbuhkembangkan kecintaan anak terhadap koperasi.
Mewajibkan anak menjadi anggota koperasi sekolah dan bertransaksi ekonomi
melalui koperasi, secara perlahan membangun kesadaran mereka tentang arti
penting koperasi. Koperasi sekolah sejatinya dijadikan ruang eksperimen bagi
konsep ekonomi kerakyatan.
Koperasi mahasiswa di
kampus-kampus sudah saatnya diberdayakan untuk mampu memberikan solusi
finansial bagi anggotanya. Koperasi pun dapat dijadikan sarana inkubator
kewirausahaan di perguruan tinggi. Kedua, tingkatkan kapasitas sumber daya
manusia. Entah pembina, pengawas maupun pengurus sudah saatnya dibekali
kemampuan manajerial layaknya mengelola perusahaan bisnis.
Profesionalitas
sebatas tata kelola namun tidak mengabaikan misi kesejahteraan bersama para
anggota. Kemampuan inovasi dan kreativitas menjadi kata kunci bagi manajer
koperasi. Produk inovatif harus lahir sebagai penguatan lini usaha. Ketiga,
kemitraan dengan badan usaha milik desa (bumdes).
Saatnya bumdes
dijadikan holding bagi koperasi
wilayah cakupan. Bumdes harus menata ulang lini usaha koperasi-koperasi
tersebut disesuaikan dengan competitive
advantagenya. Melalui holding,
kendala supply chain akan teratasi
karena adanya sikronisasi sektor hulu dan hilir. Penyatuan koperasi
serbausaha (KSU), simpan pinjam, tani dan ternak dalam satu desa akan
menggerakkan roda ekonomi desa.
Kemandirian ekonomi
warga dengan mudah tercapai. Keempat, peran pemerintah perlu ditingkatkan.
Alokasi dana desa selain harus terus ditingkatkan nominalnya, juga perlu
diarahkan untuk penguatan kapasitas koperasi dan bumdes. Pendampingan dari
perguruan tinggi perlu diupayakan agar alokasi tepat sasaran.
Harmonisasi program
antara Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal serta Kementerian Koperasi dan
UKM menjadi kata kunci. Kelima, BUMD dan BUMN harus menjadi bapak angkat
koperasi. Penyediaan bahan baku seyogianya melibatkan koperasi. Tentu dengan
mengedepankan pendekatan simbiosis mutualisme. Sinergi antarpilar ekonomi
terus-menerus dioptimalkan.
Bila ini semua
dilakukan, kedaulatan ekonomi tidak lagi sekadar mimpi belaka. Pada akhirnya
mimpi mewujudkan kedaulatan ekonomi tidak akan pernah tercapai manakala
koperasi sebagai pilar ekonomi kerakyatan terabaikan. Pemerintah, masyarakat
dan pengampu kepentingan koperasi lainnya, semestinya bahu-membahu
mengembalikan khitah koperasi sebagai penggerak ekonomi rakyat sesuai amanat
konstitusional. Selain itu, tentu kita pun berharap koperasi mampu bersaing
di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar