Politik dan Kecerdasan Komunikasi
Iding Rosyidin ;
Ketua Program Studi Ilmu
Politik
FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
KORAN SINDO, 08 April
2016
Menarik, mencermati
reaksi politik yang dilakukan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, atas pemecatan
dirinya yang dilakukan oleh partainya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Fahri menganggap tindakan partainya itu sebagai cacat hukum, dan merasa
dirinya tidak bersalah atas semua perilakunya. Oleh karena itu, Fahri secara
tegas menolak pemecatan tersebut dan akan membawa kasusnya ke pengadilan. Isu
pemecatan Fahri Hamzah sebenarnya sudah terdengar cukup lama.
Hal itu terkait dengan
berbagai tindakan dan ucapannya yang dianggap kontroversial, sehingga
dianggap banyak merugikan PKS sebagai institusi partai. Tidak sedikit
kata-kata yang dikeluarkan Fahri justru berseberangan dengan garis kebijakan
partai. Alhasil, PKS kerap merasa kebakaran jenggot dengan ucapan-ucapan
Fahri tersebut sehingga kemudian sibuk melakukan klarifikasi.
Pertanyaannya adalah,
pentingkah keberadaan orangorang yang dianggap bersuara vokal di lembaga
eksekutif dan bagaimana seharusnya mereka melakukan komunikasi publik? Lalu
bagaimana tindakan partai politik yang memecat anggotanya karena dianggap
terlalu vokal seperti yang PKS terhadap Fahri Hamzah sekarang?
Komunikasi yang Cerdas
Banyak kalangan yang
sebenarnya tidak keberatan dengan gaya komunikasi politik Fahri Hamzah.
Meminjam istilah Edward T Hall (1976) gaya komunikasi Fahri cenderung sebagai
komunikasi konteks rendah (low context
communication). Karakteristik gaya komunikasi seperti ini adalah cenderung
berkata apa adanya, berterus terang, tanpa tedeng aling-aling, menyerang
secara langsung atau straight forward.
Dalam sejumlah kasus,
Fahri memang sering memperlihatkan gaya komunikasi yang konteks rendah
tersebut. Tentu saja gaya komunikasi seperti ini rawan terhadap risiko
penentangan, pengecaman, terutama di negara yang masih didominasi budaya
politik Jawa yang kental dengan gaya komunikasi tinggi (high context communication) sebagai lawannya.
Tidak heran kalau
dalam sejumlah kasus, Fahri kerap menjadi bahan cemoohan, cacian (bully),
terutama di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter. Namun demikian,
gaya komunikasi konteks rendah tidak berarti tidak dapat digunakan sama
sekali dalam konteks politik Indonesia. Sepanjang sesuai dengan aspirasi
publik, gaya komunikasi seperti ini sebenarnya tidaklah selalu bermasalah.
Di situlah perlunya
seorang komunikator– khususnya komunikator politik–cerdas dalam menyampaikan
pesan-pesannya kepada publik. Masalahnya, Fahri justru memiliki problem dalam
konteks bagaimana ia menyampaikan pesan-pesan politiknya ke publik. Ia malah
kerap bersuara keras dan lantang pada isu-isu yang sesungguhnya disukai
publik.
Contoh paling jelas
adalah suara kerasnya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, ia
menyerukan untuk membubarkan lembaga penegakan hukum tersebut. Ia juga
menuduh kalangan yang tidak mendukung revisi undang-undang (UU) KPK di DPR
sebagai sok pahlawan dan penakut.
Suara minor Fahri
terhadap KPK ternyata tidak kali ini saja, tetapi sudah berlangsung sejak
lama. Disadari atau tidak, Fahri tampaknya memosisikan dirinya melawan
publik. Bagaimanapun (terlepas dari kekurangannya), KPK sampai saat ini
merupakan lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya publik.
Bukti-bukti
pengungkapan kasus korupsi yang sebagian di antaranya melibatkan elite-elite
politik di negeri ini jelas sulit dibantah. Bandingkan dengan bukti serupa
yang dilakukan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan
kejaksaan. Seharusnya Fahri Hamzah lebih cerdas dalam melakukan kritik
terhadap KPK.
Publik pun sebenarnya
tahu bahwa lembaga penegakan hukum seperti KPK pasti tidak dapat melakukan
tugasnya dengan sempurna. Selalu ada peluang-peluang untuk penyelewengan atau
lepas dari koridor hukum seperti dalam penyelesaian sebuah kasus korupsi.
Bukan tidak mungkin ada tarikan atau tekanan politik yang bisa menyeret
lembaga ini menjadi semacam ”alat politik” bagi yang berkuasa.
Kalau kritik Fahri
Hamzah terhadap KPK lebih diarahkan pada kritik yang konstruktif misalnya
dengan lebih selektif melakukan revisi UU KPK tanpa mempreteli kewenangannya,
dan pada saat yang sama mengajak publik untuk bersamasama melakukan kontrol,
tanpa menyerukan pembubaran, besar kemungkinan publik pun akan mendukungnya.
Alih-alih di-bully seperti yang telah dialaminya, justru ia akan dianggap
pahlawan karena dianggap mendukung KPK yang lebih baik sehingga semakin mampu
menuntaskan kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Betapa pun keberadaan
Fahri Hamzah di lembaga legislatif atau dalam politik Indonesia secara umum
sebenarnya sangat diperlukan saat ini. Di tengah kecenderungan kian
menguatnya bandul dukungan fraksifraksi di DPR ke pemerintah yang ditandai
dengan merapatnya PAN, Golkar, dan PPP yang semakin kuat menunjukkan sinyal
dukungan, tentu kehadiran para ”vokalis” semacam Fahri sangat penting.
Dalam konteks
demokrasi, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif mesti terus dijaga.
Misalnya dengan mekanisme check and balances yang kuat. Kalau koalisi di DPR
yang beroposisi dengan pemerintah, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) makin
kekurangan pendukungnya, jelas situasi ini cenderung tidak sehat.
Lembaga legislatif
bisa kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan eksekutif. Namun,
seyogianya para ”vokalis” tersebut memiliki kecerdasan komunikasi publik
sehingga tidak mudah terjebak dalam arus kontroversi seperti yang dialami
Fahri Hamzah. Suara-suara keras dan lantang mereka sangat diperlukan justru
ketika ada sinyal-sinyal penyelewengan dari eksekutif yang jelas-jelas
bertentangan dengan aspirasi publik.
Tetapi tentu tidak
sematamata juga bergantung pada arah opini publik, apalagi mereka yang
notabene merupakan pendukung fanatik. Di sini lagi-lagi diperlukan kecerdasan
dari para vokalis untuk menyaring isu dan kemudian menyuarakannya ke publik.
Oleh karena itu, penulis termasuk yang menyayangkan langkah yang telah
dilakukan DPP PKS untuk memberhentikan Fahri Hamzah.
Sebenarnya tindakan
yang tepat atas Fahri adalah cukup me-rolling posisinya dari posisi wakil ketua
DPR, meskipun langkah itu pun tidak dapat dilakukan secara langsung. Fahri
sebaiknya tetap dijaga keberadaannya sebagai anggota DPR meskipun tidak lagi
duduk di jajaran pimpinan. Bagaimanapun, tindakan pemecatan Fahri Hamzah
tidak cukup elok baik bagi PKS sendiri, apalagi bagi Fahri secara pribadi.
Bukan tidak mungkin
PKS akan dianggap partai yang tidak dapat melakukan penyelesaian internal
sehingga lebih mudah melakukan pemecatan sebagai jalan cepat. Selain itu,
mungkin muncul dugaan miring jangan-jangan pemecatan tersebut terkait dengan
skenario politik PKS untuk ikut merapat ke pemerintah, karena tidak nyaman
lagi berada di KMP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar