Ke Negeri Abu Nawas
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 08 April
2016
Pada bulan April 1983
saya memperoleh undangan dari Kedutaan Irak di Jakarta untuk menghadiri
konferensi internasional Islam di Bagdad. Ini perjalanan kedua kalinya ke
luar negeri.
Sejak masih di
pesantren saya sudah mengagumi negeri ini melalui cerita-cerita jenaka Abu
Nawas dan dongeng fantastis Negeri Seribu Satu Malam. Saya diundang selaku
wartawan majalah Panji Masyarakat asuhan almarhum Buya Hamka. Sejak
keberangkatan dari Jakarta, saya sudah menduga bahwa forum ini merupakan
forum politik, media propaganda Saddam Hussein untuk mencari dukungan dunia
Islam melawan Iran.
Kita masih ingat,
tahun 1980-1988 meletus perang Iran-Irak yang dikenal sebagai Perang Teluk I
mengingat pada tahun 1991 meletus lagi Perang Teluk II antara Irak dan
Amerika Serikat (AS) serta sekutunya. Yang jadi alasan pada Perang Teluk I
adalah sengketa historis jalur air Syath al-Arab.
Opini yang muncul,
Saddam Hussein khawatir akan kebangkitan komunitas Syiah di Irak Selatan
akibat Revolusi Iran tahun 1979 sehingga tentara Irak lebih dahulu menerobos
masuk wilayah sengketa pada 22 September 1980. Kekhawatiran Saddam ini bisa
dipahami mengingat Ayatullah Khomeini ingin mengekspor revolusinya ke
wilayah-wilayah kantong Syiah di Timur Tengah, sementara Irak selatan
merupakan basis komunitas Syiah.
Lebih dari itu, Saddam
Hussein ingin menjadi jagoan padang pasir yang tak tertandingi di wilayah
Timur Tengah. Menurut cerita teman kedutaan Indonesia di Irak, sebelum
perang, masyarakat Irak cukup makmur hidupnya. Pemerintah banyak membangun
gedung-gedung baru dan jalan raya. Mahasiswa Indonesia penerima beasiswa juga
betah tinggal di sana.
Masyarakat Irak sangat
senang kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan sopir taksi kadang menolak dibayar
setelah tahu penumpangnya adalah mahasiswa Indonesia. Tapi setelah perang
meletus, suasananya berubah drastis. Anggaran pembangunan tersedot untuk
membeli senjata dan biaya perang.
Irak yang semula
dikenal kaya raya lalu merosot seketika. Kekayaannya banyak dibelanjakan
untuk membeli senjata dan ongkos perang. Popularitas Saddam menurun, terutama
di mata komunitas Syiah dan jajaran intelektualnya, tergerus oleh sikap keras
kepala dan ambisi kekuasaannya. Kondisi Irak semakin kacau ketika Saddam
Hussein mencaplok wilayah Kuwait yang merupakan sumber minyak melimpah, pada
2 Agustus 1990 yang pada urutannya memicu meletusnya Perang Teluk II.
Invasi Irak atas
wilayah Kuwait ini mengundang reaksi dunia sehingga pada 8 Agustus 1990, AS,
Inggris, Prancis, Australia dan negara LigaArabmelakukan operasi gurun pasir
untuk menggertak tentara Irak agar keluar dari Kuwait. Ternyata Saddam tidak
mau mundur sehingga pada 16 Januari 1991, AS dan sekutunya menyerang Irak
secara militer selama 100 jam.
Berbagai opini
dimunculkan oleh Barat bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal yang ternyata
tidak terbukti. Saddam juga telah melakukan kejahatan kemanusiaan, membantai
148 warga Syiah di Dujail tahun 1982. Sungguh tragis, Saddam yang semasa
hidupnya gagah perkasa mesti berakhir di tiang gantungan pada 30 Desember
2006 di usianya yang ke-66 tahun.
Pemenangnya tak lain
adalah George W Bush dengan meminjam legitimasi PBB untuk mengakhiri ambisi
Saddam Hussien sebagai orang terkuat di wilayah Teluk, bahkan di dunia Arab.
Pabrik dan pedagang senjata panen setiap terjadi perang adu senjata. Selama
di Bagdad saya tinggal di Hotel Al-Manshur. Sempat melihat pertahanan militer
Irak dari udara di wilayah pertempuran dengan menaiki pesawat helikopter yang
hanya cukup diisi empat orang bersama pilotnya.
Dalam hatiku bertanya,
baik tentara Iran maupun Irak sama-sama muslim, sama-sama mengaku berjihad di
jalan Allah, lalu siapa yang berhak masuk surga kalau meninggal dalam
peperangan? Sebelum kembali ke Jakarta, saya bertamu ke Kantor Kedutaan RI
Bagdad diterima oleh Dubes Abdurrahman Gunadirdja.
Di luar dugaan, saya
malah ditawari meneruskan umrah ke Tanah Suci atas bantuan Pak Gunadirdja.
Rupanya almarhum Lukman Harun, Sekjen Komite Solidaritas Dunia Islam, sudah
mengontak Dubes Gunadirdja agar saya dibantu selama berada di Irak.
Irak yang dalam
sejarahnya pernah menjadi pusat peradaban Islam, hari ini kondisinya sangat
mengenaskan. Ledakan bom bunuh diri sering kali terjadi. Sumber minyak yang
melimpah dalam perut bumi menjadi objek sengketa kekuatan asing. Peperangan selalu
meluluhlantakkan bangunan peradaban yang dibangun dengan ratusan tahun,
hancur hanya dalam hitungan dekade. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar