Reklamasi Teluk Benoa
Rony Megawanto ;
Mahasiswa Doktoral Program
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB
|
KOMPAS, 13 April
2016
Jumat (29/1), ribuan
warga Bali berunjuk rasa menolak rencana proyek reklamasi Teluk Benoa. Ini merupakan demonstrasi yang kesekian
sejak pemerintah memutuskan mendukung rencana investasi perusahaan swasta
untuk "merevitalisasi" Teluk Benoa.
Kebijakan pemerintah
ini dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Serbagita)
yang ditandatangai Presiden SBY pada 30 Mei 2014.
Perpres No 51/2014
mengubah rencana peruntukan Teluk Benoa dari sebelumnya sebagai kawasan
konservasi perairan di kawasan lindung-zona lindung menjadi kawasan budidaya
zona penyangga (Pasal 63 A).
Implikasinya, di Teluk Benoa dapat dilakukan kegiatan revitalisasi,
termasuk penyelenggaraan reklamasi (Pasal 101 A).
Zona penyangga?
Payung hukum Perpres
No 51/2014 adalah UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 26/2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Dalam UU No 26/2007 disebutkan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi
utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya (Pasal
5). Tidak disebutkan terminologi zona
penyangga dalam UU ini.
Dalam PP 26/2008,
terminologi zona penyangga memang muncul, tetapi tidak ada pasal yang khusus
mendefinisikan terminologi ini.
Penggunaan zona penyangga dalam PP terdapat dalam dua konteks yang
justru berbeda dengan Perpres 51/2014.
Pertama, zona
penyangga terdapat dalam pengaturan kawasan strategis nasional, yaitu zona
budidaya dan/atau kawasan lindung "tidak terbangun" yang memisahkan
antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya terbangun, atau yang
memisahkan antara kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya
terbangun (Pasal 9).
Kedua, zona penyangga
terdapat dalam pengaturan taman nasional dan taman nasional laut, yaitu zona
untuk kegiatan budidaya bagi penduduk asli di wilayah taman nasional dan
taman nasional laut, tetapi dijaga agar tidak mengurangi fungsi lindung
kawasan (Pasal 101). Dengan demikian, pemahaman zona penyangga dalam PP
26/2008 cenderung dalam rangka mendukung fungsi lindung ketimbang fungsi
budidaya.
Namun, anehnya,
Perpres 51/2014 menempatkan zona penyangga sebagai bagian dari kawasan
budidaya (Pasal 56). Sebagai kawasan
budidaya, di zona ini dapat dikembangkan sistem pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana, seperti jaringan transportasi, energi, telekomunikasi,
sumber daya air, dan prasarana perkotaan (Pasal 120 A). Hal ini tentu saja
bertentangan dengan semangat PP 26/2008, sebagai payung hukumnya, yang
mengarahkan zona penyangga sebagai kawasan "tidak terbangun".
Kebijakan reklamasi
Teluk Benoa mesti juga dilihat dari tiga perspektif pembangunan
berkelanjutan, yaitu perspektif lingkungan, perspektif sosial, dan perspektif
ekonomi. Dari perspektif lingkungan, reklamasi Teluk Benoa akan menyebabkan
kerusakan lingkungan setidaknya di dua tempat: Teluk Benoa sebagai lokasi
proyek reklamasi dan Lombok Timur sebagai lokasi penambangan pasir laut. Di kedua lokasi akan terjadi perubahan
bentang laut yang berpotensi memicu bencana ekologi.
Dari perspektif
sosial, proyek reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan aspirasi adat
masyarakat Bali, terlihat dari pernyataan 15 desa adat yang menolak reklamasi
Teluk Benoa. Penolakan ini merupakan hal yang wajar sebab masyarakat Bali
dipandu oleh budaya Tri Hita Karana yang berarti bahwa pembangunan tidak
boleh lepas dari hubungan antarmanusia, manusia dan lingkungan, serta manusia
dan Sang Pencipta.
Sementara itu, dari
perspektif ekonomi, pertanyaan besarnya adalah siapa yang paling diuntungkan
dari proyek reklamasi ini? Secara
common sense para pemilik modal yang akan memperoleh keuntungan terbesar,
sementara masyarakat di sekitar Teluk Benoa akan menjadi penonton di pinggir
pantai. Selain itu, ketika terjadi
bencana ekologi akibat proyek reklamasi, seluruh masyarakat Indonesia yang
akan menanggung biaya ekonomi perbaikan lingkungan melalui pembayaran pajak.
Cabut perpres
Untuk menghentikan
kegaduhan proyek reklamasi Teluk Benoa, solusi yang ditawarkan sederhana
saja: Presiden Joko Widodo mencabut Perpres 51/2014.
Ada beberapa alasan
Presiden Jokowi mudah mencabut Perpres ini.
Pertama, Perpres 51/2014 tidak ditandatangani oleh Presiden Jokowi,
melainkan oleh SBY, sehingga tidak ada beban bagi Jokowi untuk mencabutnya.
Kedua, proyek reklamasi tidak sesuai dengan
visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Jika Presiden Jokowi dapat menghentikan
rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, tentu tak sulit menghentikan proyek
reklamasi Teluk Benoa.
Ketiga, Bali merupakan
lumbung suara bagi kemenangan pasangan Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014. Pasangan ini memenangi lebih dari 70 persen
suara sehingga penting bagi Presiden Jokowi tetap memenangkan hati masyarakat
Bali. Dan, terakhir, sudah bukan
zamannya proyek pembangunan hanya memihak kepada pemilik modal, meminggirkan
masyarakat kecil, apalagi merusak lingkungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar