Menghidupkan Dana Desa
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 13 April
2016
Dana desa jamak
mengalir ke seluruh desa. Jadi, tak cukup kinerja dievaluasi dari pencairan
anggaran. Lebih berguna menilai kualitas manfaat bagi pemerintah dan warga
desa.
Kenyataan pencairan
dari rekening pemda kepada desa sebesar 82 persen atau Rp 17 triliun pada
2015 harus dipandang sebagai masalah penganggaran. Namun, persiapan yang kian
matang pada tahun kedua ini sebaiknya menggeser sudut pandang ke ujung
kausalitas UU No 6/2014 tentang Desa, yaitu peningkatan pelayanan pemerintah
desa dan kesejahteraan warga.
Semula, diskriminasi
terhadap desa ditandai kelangkaan pembangunan. Proyek hanya mencapai 31
persen desa pada 2008 dan 54 persen pada 2011. UU Desa mengatasi diskriminasi
wilayah melalui kebijakan afirmatif berskala besar berupa penyaluran 10
persen dana transfer ke daerah kepada seluruh 74.754 desa di Indonesia.
Seharusnya, pemerintah desa dan warga terjamin dalam mengambil manfaat UU Desa
mengingat ini tergolong paket kebijakan terlengkap. Pasal-pasalnya koheren
disusun jadi proposisi evaluatif. Kausalitas berpangkal dari masukan dana dan
aset desa. Tahap pembangunan diperlancar lewat pemberdayaan. Hasil yang
diproduksi berupa layanan desa, infrastruktur, dan dana pinjaman bagi warga
adalah untuk memuaskan warga. Serapan beragam manfaat itu harus
menyejahterakan keluarga pedesaan.
Struktur hierarkis
penjaga konsistensi implementasi mewujud sebagai wewenang pemerintah pusat
membuat aturan. Pemprov berfungsi mengelola desa adat. Pemerintah kabupaten
mendapatkan porsi urusan terbanyak: menyiapkan dukungan bagi penataan,
pendanaan, pembangunan, dan pelaporan desa.
Keefektifan komunikasi
dirangkai dalam pelatihan sekaligus penyebaran berkas peraturan kepada aparat
desa. Pada 2015, pelatihan diberikan kepada seluruh desa dan diulang kembali
pada 2016. Sampel kualitas pelatihan mengabarkan pengetahuan aparat desa
meningkat 9 persen hingga 32 persen dari kebiasaan di lapangan; 82 persen
materi dipahami.
Disediakan pula sumber
daya pendukung berupa dana desa dari APBN, alokasi dana desa dari APBD
kabupaten, dan pendamping desa. Sebagai perbandingan, pendapatan seluruh desa
di Indonesia pada 2013 Rp 20 triliun. Karena itu, penyaluran dana desa Rp
20,7 triliun pada 2015 menggandakan pendapatan desa. Pelipatan dana desa Rp
40 triliun pada 2016 menjadi sumber daya finansial terbesar yang pernah
memasuki desa. Begitu pula pada 2011 pendamping hanya memasuki 54 persen
desa. Mulai 2016, asistensi pembangunan dapat dirasakan seluruh desa. Sayang,
kebijakan komplet itu dicemari kepentingan mengeras di antara kementerian dan
lembaga. Indikasinya, peraturan, petunjuk, hingga indikator evaluasi
bersimpang jalan. Muncul indikasi kolusi kegiatan dan pendampingan.
Meski berbagai pihak
sungkan bertatap muka, aturan harus te- tap dikomunikasikan secara virtual.
Seluruh bahan pelatihan (Kemendagri) diunggah agar Kemendesa PDTT
menyesuaikan substansi pelatihan pendamping dan Kemenkeu merevisi butir
pelaporan keuangan desa. Petunjuk pengelolaan BUMD dan lembaga kemasyarakatan
diunggah Kemendesa PDTT agar Kemendagri jitu menata mekanisme pembinaan dan
pengawasan pemerintah pusat/daerah. Pagu alokasi dana desa dari APBD diunggah
Kemenkeu sebagai bahan Kemendagri mendesak pencairan dari pemerintah
kabupaten.
Hidupkan implementasi
Pemerintah desa
beraksi selaku birokrat jalanan mengimplementasikan UU Desa. Keunggulannya
muncul dari kedekatannya dengan masalah lapangan. Alhasil, kualitas manfaat
bertumpu pada kemampuan aparat desa memecahkan soal penggunaan dana desa:
keterlambatan, penggunaan, pelaksanaan, hingga pelaporan hasil dan keuangan.
Konsekuensinya,
diperlukan dukungan kepada pemerintah desa berupa ruang gerak yang luas guna
mengambil keputusan. Diskresi aparat desa dibutuhkan untuk meramu desain
kebijakan anggaran pusat dan daerah dengan kebutuhan riil dari tengah warga.
Agar tak menumpas diskresi puluhan ribu desa, aturan di atasnya perlu memuat
pasal alternatif bagi keputusan mandiri desa. Peraturan Menteri Desa 21/2015
tentang Penggunaan Dana Desa 2016 tak layak menutup implementasi dana desa
hanya bagi infrastruktur, tetapi membuka diskresi desa bagi pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja, produksi pangan, pemasaran, penataan desa,
pendidikan, kesehatan, bencana, dan lain-lain.
Ketiga, mensyaratkan
musyawarah desa sebagai penopang legitimasi diskresi desa. Dukungan jaringan
lokal sebaiknya terjalin dengan Badan Perwakilan Desa, kelompok masyarakat,
dan tokoh. Keempat, menyurutkan peluang mengalirnya dana desa ke kota melalui
partisipasi warga merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi pembangunan desa.
Sumber daya material hanya dipasok dari dalam desa. Setiap rupiah pembangunan
dan kelebihan dana dimasukkan sebagai tambahan aset desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar