Praktik Kartel Industri Perunggasan
Bustanul Arifin ;
Guru Besar Unila;
Ekonom Senior Indef Ketua
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)
|
MEDIA INDONESIA,
16 April 2016
INDUSTRI perunggasan
sedang menghadapi cobaan tidak ringan, yaitu diduga melakukan praktik kartel
dan pelanggaran lain terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat. Industri
perunggasan berkembang amat pesat sejak dekade 1980an, menjadi penghidupan
lebih dari 10 juta rumah tangga peternak dan berkontribusi pada pangsa
sekitar 2% sektor peternakan terhadap perekonomian nasional atau produk
domestik bruto (PDB).
Sekadar perbandingan,
sektor pertanian secara keseluruhan pada 2015 tercatat 14,6% dan menyerap
tenaga kerja 32,7% atau hampir 38 juta tenaga kerja. Produksi daging ayam
nasional mencapai lebih dari 2,4 juta ton, jumlah populasi unggas mencapai
2,6 miliar ekor, dan produksi telur juga telah melampaui 2,2 juta ton.
Masyarakat berpenghasilan rendah sekali pun kini mulai memperoleh akses
pangan lebih mudah, khususnya dalam pemenuhan protein yang berasal dari
daging ayam dan telur.
Revolusi peternakan
Industri perunggasan
seakan berkembang sendiri, dengan sedikit sekali intervensi dari pemerintah,
mengikuti fenomena revolusi peternakan (livestock
revolution) yang lebih banyak didorong peningkatan pendapatan konsumen.
Berbeda dengan industri beras, industri perunggasan dibangun dengan
prinsip-prinsip agrobisnis modern, dengan fokus peningkatan daya saing dan
efisiensi produksi, memanfaatkan teknologi pemuliaan ternak (breeding) dari hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan peluang bisnis yang terbuka amat lebar,
industri perunggasan berkembang lebih pesat lagi sejak 1990-an.
Meski sempat terpuruk
pada saat krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an karena kandungan pakan impor
yang terlalu besar, industri peternakan secara perlahan mulai pulih pada awal
2000-an. Produk unggas berupa daging ayam dan telur telah mulai masuk pasar
ekspor di kawasan ASEAN.
Di tengah ekspektasi
yang mulai membaik, terjadi wabah flu burung atau avian influenza pada
2003-2004 yang membawa kerugian ekonomi tidak sedikit. Problema penanganan biosecurity, kebersihan kandang yang
jauh dari memadai, perdagangan unggas hidup yang terbuka, dan interaksi
unggas dengan manusia yang amat intensif dan lain-lain, akhirnya menuntut
peran pemerintah yang lebih besar.
Dengan memperoleh
bantuan teknis dari Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), Badan
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), lembaga riset peternakan
internasional (ILRI), Pemerintah Indonesia kemudian menerapkan sistem surveillance, yaitu pengamatan unggas harian
dan peningkatan kapasitas bagi petugas peternakan di seluruh Indonesia.
Investasi besar dari
modal asing dan modernisasi industri perunggasan terus berlangsung karena
peluang dan keuntungan ekonomi yang demikian menggiurkan. Para analis
kemudian membagi empat lapis industri peternakan sesuai dengan skala usaha
dan tingkat integrasi dari hulu ke hilir, yaitu lapisan satu, terdiri atas
perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan biang bibit atau grand parent stock (GPS), bibit ayam
atau parent stock (PS), industri pakan, dan produksi daging ayam serta telur
ayam.
Lapisan dua, terdiri
atas perusahaan bibit ayam (DOC=day old
chick) yang juga memproduksi daging ayam dan telur ayam. Lapisan tiga
terdiri atas peternak skala menengah dan kecil, yang harus bermitra dengan
lapisan satu dan dua, jika ingin mempertahankan eksistensi usaha. Terakhir,
lapisan empat terdiri atas peternak skala rumah tangga, yang tidak telah
berorientasi komersial, tetapi umumnya terkendala permodalan dan pembiayaan
usaha peternakan lainnya.
Dengan empat lapis
pelaku industri itu, struktur industri peternakan memang timpang. Tidak
mengherankan penguasaan aset, omzet pasar, dan pangsa pasar masih terpusat
pada beberapa pelaku industri kelas besar. Integrasi pasar vertikal dan horizontal
demikian tinggi sehingga mereka sering mendapat disebut integrator.
Produsen biang benih
ayam atau great GPS (GGPS) hanya
satu perusahaan. Industri benih ayam GPS tidak lebih dari 15 perusahaan,
dengan dua perusahaan menguasai pangsa pasar 70%. Industri pembiakan bibit
ayam terdiri atas 100 perusahaan, dengan lima perusahaan menguasai pangsa
pasar 80% dan sisanya terbagi di antara 95 perusahaan kecil dan menengah
lainnya (Arifin, 2016).
Rencana pemerintah
sejak era sebelumnya untuk melakukan restrukturisasi industri dalam
memperbaiki kualitas kemitraan antara pelaku peternak rakyat skala kecil,
menengah, dan besar, bahkan untuk meningkatkan daya saing industri,
menciptakan rasa keadilan yang seakan berjalan di tempat.
Dugaan kartel
Setelah melakukan
investigasi yang komprehensif, pada awal tahun ini KPPU akhirnya mengumumkan
12 perusahaan dalam industri perunggasan terindikasi melakukan pelanggaran
hukum atas UU No 5/1999. Mereka ialah PT Charoen Pokphand Jaya Farm, PT Japfa
Comfeed Indonesia, PT Satwa Borneo, PT Wonokoyo Jaya Corp, PT CJ-PIA (Cheil
Jedang Superfreed), PT Malindo, PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari
Farm, CV Missouri, PT Ekspravet Nasuba, PT Reza Perkasa, dan PT Hybro
Indonesia.
Dugaan pelanggaran
hukum persaingan usaha kepada mereka cukup berlapis dan agak berat, yaitu (1)
dugaan perjanjian eksklusif (tying
agreement) dalam pembelian DOC dan pakan ternak, (2) dugaan kartel dalam
penetapan harga ayam potong (live bird),
(3) dugaan jual rugi (predatory pricing)
dalam penjualan DOC dan ayam potong, (4) dugaan diskriminasi harga dalam
penjualan DOC antara peternak mandiri dengan peternak mitra dan peternak
terafiliasi, dan (5) dugaan penyalahgunaan posisi tawar dalam hubungan
perusahaan inti dan perusahaan mitra.
Pada Maret, proses
penegakan hukum itu sudah memasuki fase-fase persidangan, pemeriksaan
terduga, dan para saksi, termasuk pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Pertanian. Upaya pemerintah untuk mengurangi kelebihan pasokan bibit ayam
melalui program afkir dini yang telah mencapai 2 juta ekor dianggap melanggar
prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Walaupun pemerintah
telah membantahnya, KPPU tetap pada pendirian mereka, maju terus sampai ke
meja persidangan. Sangat besar kemungkinan bahwa proses persidangan akan
berlanjut di Pengadilan Negeri, yang memerlukan waktu lama dan energi yang
tidak sedikit.
Sambil menunggu hasil
persidangan atau proses penegakan hukum oleh KPPU terhadap dugaan praktik
kartel, berikut ini ditawarkan beberapa opsi solusi nonlegal yang perlu
diambil. Pertama, pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap
pelaksanaan kebijakan impor GGPS dan GPS yang diberikan kepada industri
unggas skala besar yang seharusnya mampu menghasilkan data objektif tentang
keseimbangan pasokan bibit ayam dan tingkat serapan peternak skala kecil dan
industri terintegrasi.
Kedua, pemerintah
perlu melanjutkan fasilitas dialog antarpelaku, setidaknya pada lapisan satu,
dua, dan tiga, sekaligus menemukan solusi yang lebih komprehensif. Khusus
untuk pelaku pada lapisan satu dan dua, pemerintah perlu menawarkan solusi
kalah-kalah dan kebesaran hati untuk berkorban demi terciptanya industri
perunggasan yang tangguh di masa depan.
Ketiga, pemerintah
perlu lebih serius melanjutkan upaya restrukturisasi industri perunggasan,
mengaitkannya dengan road map
industri pangan dan industri agro secara umum yang lebih bervisi peningkatan
daya saing industri dalam kancah regional dan dalam memenuhi akses pangan
berkualitas serta ketahanan pangan bangsa secara keseluruhan.
Keempat, pemerintah
perlu tegas mengupayakan langkah konsolidasi usaha peternak skala kecil dan
menengah, melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sekaligus
memberikan bimbingan memadai dan bantuan teknis yang diperlukan, serta
dukungan akses pembiayaan yang mudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar