Perombakan Kabinet
Y Ari Nurcahyo ;
Direktur Eksekutif PARA
Syndicate
|
KOMPAS, 16 April
2016
Presiden Joko Widodo
beralasan akan merombak kabinetnya jika hal itu ditimbang lebih membawa
manfaat daripada mudarat. Mempercepat kerja pemerintahan menjadi kunci dari
alasan tersebut. Presiden perlu memastikan, program kerja prioritas dan
target pembangunan bisa segera tercapai di tengah sisa waktu ke depan.
Telah lama isu
perombakan (reshuffle) kabinet
jilid dua merebak. Sejak Oktober tahun lalu, menginjak setahun pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla, wacana ini berembus ke publik, tetapi isunya perlahan
surut ke belakang. Baru memasuki April ini, isu reshuffle kembali mencuat
lebih kencang jadi perbincangan luas di publik dan diskusi ramai di media
sosial, bahkan beredar nama-nama baru anggota kabinet.
Boleh jadi publik
memang sedang antusias mencermati kinerja kabinet Jokowi. Namun, di balik
itu, yang sebenarnya tengah terjadi adalah sedang berlangsung tarik-menarik
kepentingan politik dengan menggunakan kekuatan luar mendesakkan agenda
reshuffle demi merepresentasi kepentingan kelompok mereka. Kategori ”kelompok
mereka” ini bisa jadi partai politik, relawan, organisasi, atau sejenisnya.
Karena itu, Presiden perlu menakar dan menimbang matang semua masukan dan
saran terkait rencana reshuffle.
Keseimbangan baru
Di tengah kontestasi
kepentingan yang menghampiri Presiden, perlu ditegaskan bahwa reshuffle adalah hak prerogatif
presiden dalam sistem pemerintahan presidensial. Aturan main ini harus mampu
ditunjukkan kepada publik sehingga Presiden sungguh menggunakan hak
prerogatifnya secara otonom.
Saat membuka rapat
paripurna kabinet (Kamis, 7/4), bahasa tubuh dan mimik wajah Presiden Jokowi
tampak muram ketika mengatakan kepada para menterinya; ”Politik kita adalah politik kerja, bukan politik rencana, bukan
politik wacana…!” Pernyataan ini terbilang sangat keras untuk model
presiden seperti Jokowi yang berlatar budaya Jawa. Dalam perspektif budaya
politik Jawa, gerak tubuh dan bahasa verbal yang lugas seperti itu
mengirimkan pesan kuat adanya kehendak Presiden mencari keseimbangan baru.
Dalam filsafat Jawa
ada ungkapan ”hamemayu hayuning bawana”,
yang secara harfiah berarti menjaga keseimbangan kehidupan dan keselarasan
dunia. Secara kosmologis, keseimbangan ini diwujudkan dalam perilaku manusia
yang selalu menjunjung moral dan keutamaan.
Jika diciutkan dalam
praksis politik, filsafat Jawa itu dapat diartikan sebagai keseimbangan
antara jagat kekuasaan besar (presiden) dengan kekuasaan kecil (menteri dan
pembantu presiden). Dalam relasi kekuasaan di pemerintahan, makna itu berarti
hubungan kerja dan fungsi kerja yang efektif dalam menjalankan pemerintahan.
Karena itu, perlu
dipahami bahwa Presiden Jokowi beralasan kuat untuk menciptakan keseimbangan
baru dalam kabinet pemerintahannya. Setelah berjalan memasuki tahun kedua pemerintahan,
kegaduhan kabinet akibat ulah ”nakal” beberapa menterinya tidak saja telah
mengacaukan tatanan keseimbangan kerja di kabinet, tetapi juga sudah
menggerus kewibawaan Presiden. Bahkan, ada sikap nyentrik menterinya yang
sudah sampai membuat malu Presiden Jokowi di depan publik. Dalam perspektif
budaya politik Jawa, hal-hal ”nakal” di luar pakem seperti itu sering kali
merusak keseimbangan kerja.
Terganggunya
keseimbangan kerja tim kabinet dan tergerusnya kewibawaan Presiden akibat
sikap sengaja ”nakal” beberapa menteri, disadari Presiden Jokowi: menyerang
langsung tepat di jantung kekuasaan Jokowi sebagai Presiden.
Meminjam Ben Anderson
(1972), dalam budaya politik Jawa, konsep kekuasaan itu bersifat konkret,
homogen, konstan, dan memusat. Karena itu, perilaku beberapa menteri yang
mbalelo dan bikin gaduh di publik, dalam perspektif ini, sama saja menggeser
atau mengacaukan sentralitas jagat kekuasaan besar seorang presiden. Seperti
nyala lampu pijar, terang cahayanya jangan sekali-kali diterpa distorsi
cahaya lain yang mengganggu.
Kabinet efektif
Karena itu, keputusan
Presiden Jokowi merombak kabinet adalah tepat jika langkah itu merupakan
jawaban Presiden menciptakan keseimbangan baru untuk mempercepat kerja
pemerintahan. Presiden perlu menjaga semangat tim kerja kabinet tetap di
jalur the dream team yang andal dan
produktif bekerja. Perombakan kabinet ini jadi hal sangat penting bagi
pertaruhan Presiden untuk membumikan Nawacita sebagaivisi besar
merealisasikan program kerja prioritas dan target pembangunan.
Kabinet Kerja, sesuai
namanya, harus membuktikan sebagai kabinet kerja yang efektif, tim kerja yang
berkinerja optimal, berdaya kerja dan berhasil guna menjalankan target kerja
pembangunan yang sudah direncanakan. Kabinet efektif itu akan menampilkan resume power baru dengan menguatnya
kekuasaan presidensial.
Kondisi ini juga akan
menciptakan stabilitas politik yang terjaga, baik di parlemen maupun relasi
antarpartai politik pendukung pemerintah. Dan, terutama, kabinet menjadi
efektif, tidak lagi menuai gaduh karena orientasi utama setiap menteri adalah
kecepatan kerja kabinet.
Dengan perombakan
kabinet yang terukur tersebut, arah resume power yang memusat ke Presiden ini
secara pasti menguatkan posisi politik Presiden Jokowi: ia adalah the real
president yang tak pernah berhenti bekerja untuk rakyat, bukan mengabdi
partai atau kelompok relawan. Ya, semua itu karena kita mencintai Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar