Panggung Tragis Kepala Daerah
Umbu TW Pariangu ;
Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA INDONESIA,
16 April 2016
KASUS korupsi tak ada
mati-matinya di bangsa ini. Satu belum tuntas, muncul kasus baru lagi.
Tampaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menjadi komisi yang
menakutkan buat koruptor sehingga kejahatan rasywah itu terus dilakoni
seperti hobi. Lihat saja, walau sejumlah pejabat ditangkap lewat operasi
tangkap tangan (OTT), itu tak pernah memberikan efek gentar buat para koruptor.
Kasus teraktual yang menimpa kepala daerah ada di Subang, Jawa Barat. Ojang
Sohandi, Bupati Subang, ditetapkan KPK pada Selasa lalu (12/4) sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan di Subang. Ojang diduga berperan sebagai pemberi suap agar dirinya
tidak ikut sebagai pelaku penyimpangan dana BPJS.
Sungguh ironis, di
saat pemimpin di berbagai daerah lain sedang giat-giat melakukan inovasi
pelayanan, bahkan harus menabrak ruang-ruang diskresi yang rentan
dipersalahkan secara hukum agar berbagai kebijakan yang dilahirkan bisa
membuat rakyat mampu melihat masa depan dengan lebih baik, di tempat lain
justru ada kepala daerah yang memerosokkan dirinya dalam kubangan korupsi.
Kasus itu kian menambah data Kementerian Dalam Negeri, yaitu ada 343 kepala
daerah yang tersangkut kasus hukum sampai akhir 2015. Mereka beperkara hukum
baik di kejaksaan, kepolisian, maupun KPK, dan sebagian besar tersangkut
masalah pengelolaan keuangan daerah.
Pragmatisme
Habitus buruk
pengelolaan pemerintahan daerah itu pun sudah diingatkan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada 471 kepala daerah beserta wakil mereka
di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (8/4). Baik Jokowi maupun Kalla mengkritik
kebiasaan buruk kepala daerah dalam mengelola anggaran. Mereka lebih
mengutamakan pembiayaan operasional dengan segala kenyamanan dan kemewahan
ketimbang merealisasikan sebanyak-banyaknya pembangunan (Editorial Media Indonesia, 9/4). Intinya, kecenderungan korup
atau penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi instrumen machiavelis para kepala
daerah untuk memperkaya diri. Padahal, mereka pejabat yang dipilih langsung
oleh rakyat.
Mestinya prinsip
kedaulatan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam mengemban jabatan atau
amanah rakyat. JJ Rousseau dalam bukunya Du
Contract Social (1763) secara jelas mengatakan bahwa dalam penerapan asas
kedaulatan rakyat, rakyatlah yang memiliki hukum dan aturan dan harus
dijalankan pemimpin atau yang disebut sebagai kehendak umum. Inilah yang
harus jadi roh dasar kepemimpinan agar tidak terjadi pengkhianatan terhadap
nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat. Untuk menjalankan kehendak umum,
masih menurut Rosseau, diperlukan sebuah keutamaan (virtue) untuk bisa membedakan mana yang termasuk kepentingan
pribadi/kelompok dan mana yang digolongkan kepentingan umum.
Di sinilah jebakan
moralitas bagi pejabat publik. Kerap kali yang terjadi di dunia kekuasaan,
ada pembalikan logika etis dan moral, bahwa sesuatu yang menyangkut kebutuhan
diri/kelompok justru menjadi tujuan paling mendasar dalam memimpin ketimbang
upaya mendahulukan kepentingan rakyat. Tidak hanya itu, etika dan kepantasan
sosial seorang pejabat publik menjadi sesuatu yang tidak penting lagi ketika
pragmatisme diagung-agungkan.
Tidak mengherankan
ketika di suatu daerah yang warganya miskin, pejabat malah memamerkan hidup
berfoya-foya (menuntut fasilitas, rumah, mobil mewah, pelesir ke luar negeri
atas nama studi banding, dll). Di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, istri
seorang pejabat terkemuka bersama rombongan istri pejabat lainnya beberapa
waktu lalu berpelesir ke Eropa. Ini lalu jadi sorotan karena pelesiran itu
dilakukan saat kondisi masyarakat NTT sedang dililit kesulitan, baik itu dalam
hal pemenuhan kebutuhan ekonomi akibat gagal tanam maupun gagal panen. NTT
pun masih dinobatkan sebagai provinsi termiskin.
Kejadian mirip juga
terjadi di Jawa Timur. Sebanyak 20 anggota DPRD melakukan kunjungan kerja ke
New York, Amerika Serikat, pada 4-11 April 2016. Ironisnya lagi, yang
melakukan kunjungan ke New York ialah Komisi Kesejahteraan Rakyat. Rakyat
menggugat kunjungan itu, bukan karena mempertanyakan prosedur atau urgensi
kunjungan, melainkan sejauh mana wakil rakyat menerapkan skala prioritas
dalam menelurkan kebijakan. Ini soal dugaan uang rakyat yang dipergunakan
tidak sepantasnya dalam situasi krisis.
Saling memunggungi
Kita miris ketika rasa
kepekaan sosial untuk menunjukkan solidaritas dan empati yang seharusnya
intrinsik dalam kepemimpinan menjadi lenyap dan tergantikan dengan
justifikasi parsial bahwa hidup mewah ialah hak asasi. Padahal, dalam negara
demokrasi, hak asasi hanya bisa ditegakkan secara murni jika tidak mengurangi
hak-hak orang lain.
Dalam praktik hidup
mewah dan konsumtif pejabat kita, di situ ada kemanusiaan rakyat yang
dikuliti. Ada kemerdekaan rakyat yang dirampas karena tujuan bernegara dan
bermasyarakat antara rakyat dan pemimpin ternyata tak sejalan lagi yang
ditunjukkan dengan orientasi bersikap dan berperilaku yang saling
memunggungi.
Kasus Ojang juga telah
melukai spirit kemanusiaan karena ia terlibat suap untuk urusan vital yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini memperkuat tesis kebijakan publik
bahwa banyak kebijakan atau aturan yang dibuat sejatinya bagus untuk
memproteksi kepentingan dan memperkuat posisi publik dalam pemenuhan hak dan
kebutuhannya, tapi tidak mampu terealisasi karena dibajak permainan kebijakan
pemimpin yang berbau rente dan transaksional dalam kamar-kamar gelap.
Memang bukan hal aneh
saat sesat kebijakan itu terjadi. Erving Goffman dalam teori dramaturginya
sudah lama mengingatkan kehidupan sosial ibarat pertunjukan drama penuh
sandiwara oleh seseorang. Di panggung depan ia mempertunjukkan dirinya
berbeda dengan apa yang dipertunjukkan di panggung belakang. Itu dilakukannya
demi mendramatisasi pencapaian kepentingan dan pesona diri semata. Kurang
lebih inilah sketsa kepemimpinan yang banyak kita temui. Padahal, dalam
logika kausalitas, politik memainkan panggung depan dan belakang itu selalu
berujung di panggung tragis yang memuat kisah miris, yaitu para pejabat
mengakhiri karier politik mereka karena masuk bui, tersandung korupsi.
Kita sangat berharap
rencana Mendagri Tjahjo Kumolo membuat aturan untuk langsung memecat kepala
daerah yang korup tanpa harus melalui proses yang berbelit segera dieksekusi.
Ini sebuah langkah progresif dan berani untuk menertibkan para kepala daerah
penilep uang rakyat sehingga rakyat, sang pemegang kedaulatan, tidak terus
dikhianati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar