Korporasi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 07 April
2016
Pekan lalu jagat
bisnis kita dibuat heboh oleh aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menangkap CEO dari perusahaan pengembang papan atas di Indonesia. Sebelumnya,
KPK juga sudah menangkap petinggi BUMN. Aksi KPK menangkap para petinggi dari
kalangan bisnis bukan hanya terjadi saat itu. Sebelumnya juga sudah ada
beberapa kasus. Di antaranya, yang paling menghebohkan adalah kasus Hambalang
yang melibatkan petinggi dari PT Adhi Karya Tbk dan menyeret sejumlah pejabat
negara, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta petinggi partai
politik.
Saya kira kasus ini,
ditambah sejumlah kasus lainnya, membuat masyarakat kita akhirnya memandang
korporasi dengan tatapan mata penuh curiga. Sinis. Apalagi banyak nama
eksekutif disebut-sebut dalam Panama Papers. Seakan-akan mereka semua adalah
penjahat yang kurang cinta Tanah Air.
Bagi sebagian
masyarakat, setiap aksi korporasi seakan-akan melontarkan isyarat bahwa
mereka siap melakukan segala cara untuk menguasai aset-aset yang ada di
negeri ini. Mungkin termasuk aset-aset yang sekarang ini kita miliki.
Korporasi itu simbol keserakahan. Kata Aaron Hillel Swartz, “Large corporations, of course, are
blinded by greed.
The laws under which they operate require it—their shareholders
would revolt at anything less .” Swartz adalah pengusaha, penulis dan
programer komputer asal Amerika Serikat. Ia meninggal dalam usia muda, 27
tahun. Simak juga ungkapan aktivis buruh Amerika Serikat Cesar Chavez yang
gemas dengan kelicikan korporasi-korporasi besar, yang menyulitkan negerinya.
“Who gets the risks? The risks are given to the consumer, the
unsuspecting consumer and the poor work force. And who gets the benefits? The
benefits are only for the corporations, for the money makers .”
Transisi Peradaban dan Peran Korporasi
Seburuk itukah
reputasi korporasi dan corporate
leaders di mata masyarakat? Baik di masyarakat kita maupun masyarakat
dunia. Kalau iya, bagi saya, sayang sekali. Sebab sesungguhnya korporasi
memainkan peran yangtidaksedikitdalamkemajuan peradaban umat manusia.
Misalnya, melalui
revolusi industri, korporasi memainkan peranan penting dalam transisi
peradaban manusia dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Juga,
berkat revolusi industri, pendapatan per kapita banyak negara di dunia
meningkat hingga enam kali lipat. Anda tahu bukan perubahan- perubahan yang
terjadi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.
Menurut kajian Alvin
Toffler, setidak-tidaknya ada enam ciri perubahan: tenaga manusia berganti
dengan tenaga mesin, penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar untuk mesin,
penggunaan energi secara masif, mobilitas manusia dan barang yang menjadi
semakin cepat, berkembangnya kolonialisme untuk memburu berbagai sumber daya
alam—terutama sumber daya energi.
Revolusi industri juga
memicu penemuan banyak mesin. Ada mesin uap dari James Watt, mesin pemintal
benang dari James Hargreaves, mesin tenun rancangan Edmund Cartwight, sampai
mesin cetak. Berkat ditemukannya mesin cetak, produksi surat kabar yang
semula ditulis dengan tangan sehingga hanya mampu cetak 100 eksemplar sekali
terbit, bisa dicetak hingga 400-an eksemplar per jam.
Ini tentu lompatan
yang luar biasa. Bahkan lompatan terjadi lagi dengan ditemukannya mesin
offset. Mesin ini mampu mencetak hingga 60.000-an eksemplar per jam. Inimembuat
informasi menjadi semakin terdistribusi dan mendorong terjadinya percepatan
perubahan sosial di masyarakat.
Distribusi informasi
menjadi semakin deras seiring dengan ditemukannya transistor oleh William
Schokley dan kawankawan pada 1947, yang dilanjutkan dengan penemuan integrated circuit (IC) dan chip
komputer. Itulah temuantemuan yang mendorong terjadinya gelombang ketiga
transisi masyarakat dunia, yakni dari masyarakat industri ke masyarakat
informasi.
Kita sangat menikmati
era ini yang memiliki sejumlah ciri: Informasi yang mengalir sangat deras
sehingga efisiensi meningkat secara tajam; Mobilitas barang dan manusia
menjadi semakin cepat; Dimulainya penemuan energi alternatif seiring dengan
kian langkanya energi fosil; Meningkatnya produksi pangan seiring dengan
penggunaan bioteknologi; Meningkatnya penggunaan perangkat lunak (software); Dan, ditemukannya teknologi
informasi serta pengolahan data.
Semua kemajuan
tersebut jelas tak lepas dari peran korporasi. Anda masih ingat bukan dengan
perkembangan globalisasi ala Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat. Globalisasi 1.0
adalah globalisasi negara, sementara Globalisasi 2.0 dipelopori oleh korporasi,
terutama multinational corporation
(MNC).
Semakin besar
korporasinya, perilaku mereka kian mirip negara. Persis seperti kata kolumnis
Jim Hightower, “The corporations don’t
have to lobby the government anymore . They are the government.”
Tiga UU
Di mana-mana memang
begitulah perilaku korporasi. Orientasi mereka adalah profit. “Corporations are not in business to
besocial-welfare organizations; they are there to make money,” tegas Ben
Carson, ahli bedah yang kemudian menjadi politisi. Di tengah kian sengitnya
persaingan, untuk memburu profit, mereka mungkin terjerat melakukan cara-cara
yang kurang elok di mata publik.
Entah kurang
nasionalis, mengejar efisiensi, bermain di dua kaki, bahkan mengatur “aturan
main” dan menyuap. “Multinational corporations do control. They control the
politicians. They control the media. Theycontrol the pattern of consumption,
entertainment, thinking,” tegas Jerry Brown, pengacara dan politisi.
Maka mesti ada pihak
yang harus mengendalikan mereka. Siapa? Jelas, pemerintah. Untuk itulah, kita
memerlukan pemerintahandenganpara pejabatnya yang kuat dan tak bisa dibeli.
Dan tentu saja pembuat aturannya tak boleh ikut jadi pemain. Maksud saya,
orang yangdudukdigedung parlemen wajib tak berbisnis sama sekali.
Namun, itu semua belum
cukup. Pemerintah juga mesti memiliki senjata yang ampuh, yakni UU. Apa saja?
Menurut saya, setidaktidaknya ada tiga. Pertama, UU tentang Pembatasan
Transaksi Tunai. Misalnya, untuk setiap transaksi yang nilainya Rp50 juta tak
boleh tunai, melainkan harus melalui sistem perbankan sehingga bisa dilacak
oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Adanya UU ini jelas
akan membatasi ruang gerak baik pemberi maupun penerima suap. Kedua, UU
tentang Pembuktian Terbalik. Dengan adanya UU ini, mereka yang didakwa
melalukan korupsi justru yang harus membuktikan bahwa harta dan kekayaan yang
diperolehnya bukan dari hasil korupsi.
Jadi, bukan seperti
saat ini, justru pihak kejaksaan yang harus membuktikan bahwa seseorang
melakukan korupsi. Dan ketiga, UU tentang Konflik Kepentingan. Ini adalah
aturanuntukmelarangpembuat aturan terlibat langsung atau tidak langsung dalam
bisnis.
Saya tahu, berharap
pemerintah dan DPR bersedia menerbitkan tiga UU ini sama saja bak pungguk
merindukan bulan. Tapi bukankah kita tak boleh lelah berharap. Sama seperti
kita tak boleh lelah berharap agar Indonesia menjadi negara yang bersih dari
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar