Ilusi Pengampunan Pajak
Reza Syawawi ;
Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS, 16 April
2016
Dokumen Panama (Panama Papers) telah memberikan sinyal
dan indikasi bahwa ada begitu banyak praktik untuk mengaburkan aset atau
harta kekayaan, baik oleh politisi, pejabat negara, pengusaha, hingga
personal tertentu.
Motifnya tentu bisa
banyak hal, mulai dari untuk kepentingan investasi/bisnis murni atau justru
mengarah pada dugaan pelanggaran hukum, seperti penghindaran pajak hingga
pencucian uang hasil kejahatan. Bak gayung bersambut, Dokumen Panama seperti
memberikan angin segar kepada pemerintah yang telah lama menginisiasi
regulasi pengampunan pajak (tax amnesty).
Hal ini dapat dilihat
dari gencarnya pemerintah mendorong lahirnya UU Pengampunan Pajak melalui
usul/inisiatif pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2015-2019. Bahkan tahun ini, RUU Pengampunan Pajak termasuk dalam kategori
prioritas Prolegnas yang akan segera dibahas dengan DPR.
Disharmoni regulasi
Jika ditelisik ke
belakang, motivasi pemerintah sebetulnya sangat sederhana, yaitu bagaimana
meningkatkan pendapatan di sektor pajak, baik yang berasal dari dalam maupun
luar negeri. Keinginan ini tentu saja positif dalam konteks meningkatkan
penerimaan negara, tetapi mengampuni pajak juga perlu dilakukan dalam koridor
hukum dan regulasi lebih komprehensif.
Problem utama RUU
Pengampunan Pajak adalah soal pemenuhan atas prinsip-prinsip hukum yang
dijamin dalam konstitusi/UUD 1945. Pertama, RUU Pengampunan Pajak didesain
untuk mengeliminasi atau meniadakan fungsi UU lain khususnya yang terkait
dengan tindak pidana. Di dalam RUU ini sangat gamblang dijelaskan bahwa
pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi
administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan,
serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan.
Ketentuan ini tentu
saja akan berpotensi bertentangan dengan beberapa UU, seperti UU tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pencucian Uang, tindak pidana lain yang berkaitan dengan sektor pajak.
Di dalam RUU ini juga
tidak dijelaskan bagaimana ketika subyek pengampunan pajak ini berdasarkan
bukti permulaan yang cukup juga terindikasi melakukan tindak pidana korupsi
atau pencucian uang yang terkait sektor pajak. Ketiadaan pembatasan inilah
yang berpotensi menjadi alat bagi pelaku kejahatan untuk menghindar dari
proses hukum pidana, cukup dengan cara membayar uang tebusan.
Dalam konteks ini,
timbul perbedaan perlakuan negara terhadap subyek hukum tertentu ketika
berhadapan dengan hukum. Bagi yang memiliki uang, mereka dengan mudah
membayarkan sejumlah uang dan terbebas dari proses hukum.
Padahal, menurut
prinsip hukum yang dianut konstitusi, persamaan kedudukan di dalam hukum
adalah hal yang mutlak dipenuhi terhadap semua warga negara. Perbedaan
perlakuan ini juga dengan sendirinya akan menciptakan ketidakpastian hukum di
dalam masyarakat.
Di sisi lain, agenda
pengampunan pajak sebetulnya tidak koheren dengan RUU tentang Perampasan Aset
Tindak Pidana yang juga diusulkan pemerintah melalui Prolegnas 2015-2019.
Pada satu sisi akan ada upaya penguatan terhadap pengembalian aset negara
akibat tindak pidana, tetapi pada sisi yang lain pemerintah seperti
”berkolusi” dengan pelaku kejahatan untuk menambah pendapatan negara ditambah
dengan privilese untuk terhindar dari proses hukum.
Karena itu, pemerintah
sebagai pengusul RUU ini mungkin sebaiknya melakukan penarikan terhadap RUU
Pengampunan Pajak dan melakukan kajian ulang terhadap sistem pengampunan
pajak dengan melibatkan seluruh pihak terkait dan masyarakat. Hal ini penting
agar RUU ini tidak menjadi agenda para pelaku kejahatan yang menyusupkan ide
pengampunan pajak dengan cara yang melanggar prinsip hukum yang sudah berlaku
umum.
Korupsi pajak
Pajak adalah sumber
utama pendapatan negara, kejahatan di sektor pajak seharusnya dianggap
sebagai kejahatan yang mengancam keberlangsungan sebuah negara. Masih begitu
segar di memori bagaimana hiruk pikuk ketika seorang bekas pegawai pajak
(Gayus Tambunan) terbukti secara hukum melakukan tindak pidana korupsi dan
pencucian uang dan menyeret banyak pihak, mulai dari jaksa, pengusaha,
polisi, dan pihak lain. Namun, kasus ini belum sepenuhnya tuntas, ada
keterlibatan perusahaan tertentu yang hingga saat ini belum tersentuh hukum.
Dalam kasus inilah
terjadi pertemuan mafia pajak yang berkolaborasi dengan mafia hukum. Proses
hukum terhadap kejahatan di sektor pajak justru tidak ditujukan kepada korporasi-korporasi
yang melakukan kejahatan pajak dan korupsi.
Pada titik inilah, RUU
Pengampunan Pajak seperti mengambil alih proses hukum dan dihapuskan unsur
pidananya dengan cukup ”dibarter” dengan sejumlah uang tebusan. Akhirnya ide
tentang upaya meningkatkan pendapatan negara di sektor pajak melalui
pengampunan justru akan dinilai sebagai korupsi pajak dalam konteks
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power).
Di sisi lain,
sebetulnya juga tak ada jaminan bahwa RUU Pengampunan Pajak akan memberikan
pendapatan tambahan yang signifikan kepada negara. Siapa yang bisa menjamin
itu? Jangan sampai justru hanya menjadi ilusi pengampunan pajak, meniadakan
proses hukum bagi pelaku kejahatan dan negara hanya mendapatkan secuil uang
tebusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar