Perombakan Kabinet
Yudi Latif ;
Steering Committee, Konvensi
Nasional tentang Haluan Negara
|
KOMPAS, 12 April
2016
Salah satu isu politik
terhangat yang menyedot perhatian publik dalam beberapa pekan terakhir adalah
rencana perombakan kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dimensi
perombakan kabinet kali ini mengandung bobot konfliktual yang menegangkan,
menyusul perselisihan internal dalam kabinet.
Saling serang
antarmenteri, bahkan antara menteri dan ”atasannya”, membuka watak dasar
kabinet koalisi pemerintahan ini, yakni koalisi kepentingan tanpa kesamaan
visi ideologis.
Kendati pada titik
keberangkatannya, pasangan ini menjanjikan koalisi ramping tanpa syarat
dengan konsepsi ideologis yang kental dalam sesanti Trisakti dan Nawacita,
dalam perjalanannya telah tercegat di berbagai tikungan. Pemerintahan ini
seperti menanggung beban utang politik yang besar untuk segera dilunasi
kepada para ”investornya” dengan mengakomodasi kaki-tangannya di kabinet.
Akibatnya, yang muncul
adalah kabinet gado-gado yang dipersatukan oleh kepentingan pragmatis. Sejak
itu, konsepsi ideologi Nawacita tidak menemukan basis institusional dan agen
sosialnya dan lekas menjelma menjadi slogan kosong. Menteri-menteri berhaluan
liberal yang ramah kepentingan asing dan korporatokrasi lokal bersanding
dengan menteri-menteri berhaluan kedaulatan nasional/rakyat. Dalam era
kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi, konflik laten dalam kabinet
ini meledak keluar memanifestasikan konflik terbuka yang membingungkan nalar
publik.
Dimensi lain yang
menambah potensi konflik dalam kabinet ini adalah kehausan menteri-menterinya
untuk berlomba mengembangkan politik pencitraan. Obsesi besar untuk
merekayasa pencitraan ini merupakan overkompensasi atas mediokritas rerata
kualitas menteri, yang bersejalan/paralel dengan kelangkaan ”nama-nama besar”
di panggung politik.
Ketika banyak orang
mulai kehilangan kekaguman pada ”nama-nama besar”, secara naluriah mereka
mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri. Banyak menteri yang
mematut-matut dirinya sebagai pemimpin besar. Masalahnya, gejala pemujaan
terhadap diri sendiri itu tidaklah didukung oleh kerangka sosialitas yang
dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu. Dalam lemahnya kepastian
hukum dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh
keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis,
bukan subyek berdaulat yang bisa mengambil jarak dari tradisi buruk.
Kumpulan
individu-individu guyub tak dapat melahirkan masyarakat kreatif. Kreativitas
sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. ”The amount of eccentricity in a society,” ujar John Stuart Mill,
”has generally been proportional to the amount of genius, mental vigor and
moral courage it contained.”
Bahwa saat ini,
Indonesia mengalami defisit orang-orang eksentrik berkarakter yang memiliki
kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral untuk mengambil
pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan pertanda
kegagalan sistem kaderisasi dan desain institusi demokrasi yang mengandalkan
kekuatan uang dan popularitas.
Dalam lemahnya
kekuatan karakter, imajinasi dan orisinalitas, obsesi politik sebagai
ekspresi pemujaan diri lebih menguatkan semangat komodifikasi yang reseptif
dan konsumtif, ketimbang sebagai ekspresi subyek kreatif dan produktif. Dunia
politik dan kabinet disesaki onggokan politikus plastik, kehebohan aksi
selebritas, dan jorjoran pencitraan, tetapi miskin isi, miskin visi, hampa
darma.
Perilaku elite politik
dan menteri tersebut sangat menggelisahkan. Berdasarkan pengalaman sejumlah
negara, yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan suatu demokrasi
bukanlah orang-orang biasa, melainkan perilaku elite politik (Bermeo, 2003).
Sumber utama krisis politik di negeri ini tidaklah terletak pada ”sisi
permintaan” (rakyat di akar rumput). Sebaliknya, sumber krisis politik itu
berasal dari kelemahan ”sisi penawaran”; dari ketidakmampuan aktor politik
untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Dengan meminjam ungkapan Bung Karno,
para pemimpin kita gagal membangkitkan spirit, kehendak, dan perbuatan
rakyat.
Politik dan
pemerintahan tanpa visi ideologis tak menyediakan basis nilai dan harapan.
Tanpa kejelasan visi, politik kehilangan peta jalan ke arah mana masyarakat
akan diarahkan, prioritas nasional apa yang akan dipilih, fokus pembangunan
apa yang akan disasar, dan akhirnya pengorbanan apa yang dituntut dari
rakyat. Politik tanpa visi sekadar kemeriahan pesta pora yang menyesatkan;
memberi harapan semu dengan biaya mahal, tanpa arah ke depan, tanpa
perenungan mendalam, dan tanpa komitmen pada penyelesaian masalah-masalah
mendasar.
Reaksi balik kejenuhan
banyak orang terhadap politik permukaan mulai terlihat dari bangkitnya
kesadaran publik terhadap segi-segi substantif. Salah satu indikasi dari
kesadaran ini adalah mencuatnya kehendak publik untuk memulihkan Garis-garis
Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh seluruh kekuatan rakyat melalui
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Gelombang kesadaran publik pada segi-segi
substatif ini pada gilirannya akan mengempaskan pemerintahan pencitraan ke
tepian.
Jika pemerintahan
Jokowi masih ingin menyelamatkan kewibawaannya dan kepercayaan publik, maka
komitmen pemerintah pada visi Trisakti dan Nawacita harus dipulihkan dengan
mengganti menteri-menteri yang tidak sejalan dengan visi ideologis tersebut.
Jika perombakan kabinet hanya sekadar untuk mempertahankan kekuasaan,
pemerintah yang naik dengan tingginya harapan publik akan turun dengan
tingginya frustrasi sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar