Ironisme Kurikulum
Doni Koesoema A ;
Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara, Serpong
|
KOMPAS, 12 April
2016
Jumlah sekolah peserta
Ujian Nasional Berbasis Komputer 2016 meningkat pesat dari 500 sekolah tahun lalu
menjadi 4.400. Jumlah peserta dari
170.000 menjadi 921.000. Apa arti dari tren ini?
Kita perlu menelaah
tren ini dalam kerangka tiga persoalan besar pendidikan pasca revisi
Kurikulum 2013, yaitu kebijakan tentang penilaian pendidikan, persoalan ketidakjujuran
yang setiap tahun menjadi cela pendidikan nasional kita dan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pengajaran dan pembelajaran.
Penilaian pendidikan
Pertama, persoalan
penilaian pendidikan. Kebijakan penilaian pendidikan kita selama ini masih
bersifat sumatif (assessment of
learning), yaitu menilai sejauh mana peserta didik dapat menunjukkan
pengetahuan dan keterampilannya tentang materi pembelajaran yang sudah
dipelajari. Tujuannya adalah untuk menunjukkan besaran penguasaan materi
pembelajaran. Model penilaian ini selalu dilakukan setelah peserta didik
menjalani proses pembelajaran, untuk melacak sejauh mana siswa telah
menguasai dan memahami materi pembelajaran.
Istilah yang terkait
dengan model ini adalah adanya kebijakan tentang kriteria ketuntasan minimal
(KKM) untuk melihat apakah seorang siswa sudah berhasil atau belum dan
kebijakan tentang remedial, yaitu proses pembelajaran kembali isi materi bila
siswa belum memenuhi KKM. Dalam konteks ini, meskipun ujian nasional (UN)
tidak lagi dipakai sebagai syarat kelulusan, Kemendikbud mempersyaratkan
bahwa nilai minimal UN adalah 5,5. Ini adalah passing grade yang dipatok
pemerintah. Siswa yang memperoleh nilai di bawah 5,5 boleh (tidak wajib)
mengikuti UN untuk memperbaiki nilainya.
Sedangkan KKM
ditentukan secara mandiri oleh sekolah. Karena itu, ada kebijakan bahwa salah
satu syarat mengikuti UN adalah siswa memiliki nilai minimal sesuai KKM.
Gelojoh kebijakan
penilaian belajar inilah yang membawa malapetaka bagi pendidikan nasional
kita. Alih-alih penilaian pendidikan berfokus pada proses akuisisi ilmu
sesuai dengan tahapan perkembangan pembelajaran individu siswa, evaluasi
belajar hanya memotret hasil akhir secara klasikal dengan standar- standar
yang sebenarnya jauh dari makna pembelajaran itu sendiri. Kriteria KKM telah
direduksi menjadi syarat minimal belajar untuk lulus. Kalau peserta didik
nilainya belum sampai KKM, sekolah "terpaksa" mengatrolnya agar
sesuai KKM karena kalau nilai siswa tidak sesuai KKM, namanya tidak dapat
dimasukkan dalam pangkalan data pokok pendidikan sebagai peserta UN. Secara
sistem, KKM telah mengunci sekolah dalam memberikan penilaian siswa.
KKM yang sudah
terkunci ini menjadi lebih terdistorsi lagi ketika kebijakan seleksi masuk perguruan
tinggi untuk jalur undangan, data pokoknya adalah dengan mempergunakan
kriteria nilai rapor sekolah. Yang terjadi adalah masing-masing sekolah
berusaha mematok nilai KKM tinggi sehingga kesempatan lolos seleksi jalur
undangan besar. Proses pendidikan menjadi tidak rasional lagi, semakin jauh
dari otentisitas proses pembelajaran.
Kebijakan UN, baik
yang berbasis kertas maupun komputer tidak akan memberikan dampak signifikan
dalam proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas pendidikan bila kultur dan
sistem yang membentuknya cacat secara moral. Sistem ini cacat secara moral
karena memaksa guru mengingkari suara hatinya dan menutup mata untuk
mengatrol nilai siswa minimal sesuai KKM sehingga siswa tetap bisa ikut UN
dan kalau bisa lolos dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Persoalan penilaian
pendidikan bukanlah terdapat pada bentuk sarana ujiannya, apakah itu ujian
berbasis kertas atau komputer, melainkan apakah sistem yang melingkupi
kebijakan penilaian pendidikan itu sehat, menumbuhkan moral pendidik, dan
meningkatkan otentisitas belajar. Selama tujuannya untuk menilai hasil
belajar siswa (assessment of learning)
dan bukan menilai untuk meningkatkan kualitas belajar individu (assessment for learning) kebijakan UN
patut dipertanyakan validitasnya sebagai sistem evaluasi yang mendukung
proses pembelajaran. Dari sudut pandang ini, meningkatnya sekolah peserta UN
dan peserta UN tidak terkait langsung dengan peningkatan kualitas
pembelajaran. Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) hanya pilihan sarana,
sementara persoalan pendidikan yang utama yaitu memberikan ruang pembelajaran
otentik bagi siswa tetap belum tersentuh.
Persoalan kejujuran
Kedua, persoalan
kejujuran pelaksanaan UN. Sampai sekarang, hajatan nasional UN selalu
disertai dengan merebaknya kebocoran soal, jual-beli kunci, dan berbagai
kecurangan lain yang sifatnya terstruktur dan sistematis. Kemdikbud bahkan
perlu mengeluarkan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) untuk menumbuhkan
budaya jujur di lingkungan pendidikan.
Ujian berbasis
komputer, sejauh ini dianggap aman dari kebocoran, sulit diprediksi
jawabannya karena sistem acak soal yang berasal dari bank soal, sehingga
kebocoran soal bisa dikurangi. Bahkan, Pak Anies dalam sebuah kesempatan
mengatakan bahwa UNBK memiliki indeks integritas tinggi.
Dari sisi ini,
meningkatnya sekolah peserta UNBK bisa dilihat sebagai keinginan untuk
meningkatkan skor IIUN. Dengan mengikuti UNBK, mereka berharap bahwa skor
IIUN mereka akan tinggi, sehingga sekolah akan dianggap sebagai sekolah
jujur. Kesimpulan seperti ini terlalu prematur, karena IIUN berbasis komputer
hanya menilai kejujuran dalam pelaksanaan UN. Sekolah dengan IIUN tinggi
tidak berarti semua siswanya jujur.
Dengan kata lain,
keberhasilan meningkatkan kualitas kejujuran sekolah tidak bisa diukur dari
pemakaian UNBK. Mereka hanya bisa dianggap jujur saat melaksanakan UN sejauh
seluruh prosedur ditaati. Namun, ini tidak berarti bahwa sekolah itu telah
mampu meningkatkan kejujuran. Yang dilakukan hanya berubah dari berbasis
kertas menjadi berbasis komputer. Tidak ada kaitannya dengan peningkatan
kualitas kejujuran individu di lingkungan pendidikan.
Era informasi
Ketiga, meningkatnya
kepesertaan sekolah UNBK menjadi tanda ironisme revisi kurikulum. Di saat
semakin banyak sekolah berpaling pada proses penilaian digital, mata
pelajaran TIK justru dihapus dalam Kurikulum 2013 dan tidak kembali lagi.
Kemajuan TIK adalah
sebuah keniscayaan. Mengandaikan bahwa seluruh sekolah sudah memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sarana TIK yang maju sehingga TIK dihapus
adalah pandangan yang kabur. Justru di era masyarakat informasi seperti ini
TIK sangat perlu sebagai sarana penting bagi pengajaran dan pembelajaran.
Tidak semua siswa dan guru mampu mempergunakan sarana ini meskipun mereka
memiliki perangkatnya. Ini semua butuh pelatihan, pengajaran, dan
pengembangan budaya.
Peningkatan sekolah
peserta UNBK harus dimaknai sebagai kesadaran tentang pentingnya literasi
digital. Sayangnya, animo ini tidak didukung oleh sistem kurikulum yang ramah
TIK.
Tiga hal ini menjadi
tantangan ke depan bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pertama mendesain
sistem kebijakan evaluasi pendidikan yang menumbuhkan moral pendidik dan
meningkatkan pengalaman belajar otentik siswa. Kedua, menumbuhkan nilai kejujuran
sejak dari awal siswa masuk sekolah, bukan saat akhir ujian sekolah. Ketiga,
mendesain kebijakan TIK yang sesuai dengan kebutuhan unit sekolah dalam
konteks perbedaan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesia.
Meningkatnya sekolah peserta UNBK harusnya
menjadi tanda pengingat bagi Kemendikbud bahwa dunia berubah dan cara
mengelola pendidikan pun harus berubah bila tidak ingin tertinggal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar