Korupsi Terstruktur
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia";
Salah Seorang Pendiri Gerakan
Anti Korupsi (GAK) Alumni Lintas Perguruan Tinggi
|
KOMPAS, 12 April
2016
Gunnar Myrdal lewat
karyanya, Asian Drama, An Inquiry into
The Poverty of Nations (1968), mengurai kemiskinan masif di negara-negara
berkembang Asia akibat kebijakan yang rapuh sejak perencanaan. Peraih Nobel
Ekonomi tahun 1974 ini menegaskan, jika kalkulasi atas rentang kendali
politik anggaran tidak memadai, penyalahgunaan merupakan keniscayaan.
Telaah Myrdal masih
relevan hingga saat ini ketika mekanisme penyusunan anggaran dan program
menjadi otoritas eksekutif dan legislatif, menafikan proses pengawasan dan
deliberasi publik. Tertangkap tangannya anggota DPRD DKI Jakarta oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus reklamasi pantai Jakarta, juga
sejumlah kasus perencanaan pembangunan proyek yang melibatkan anggota DPR,
mengindikasikan bahwa praktik kongkalikong penyusunan anggaran dan pembuatan
aturan telah meluas dan semakin sering disusupi kekuatan modal.
Perselingkuhan
eksekutif-legislatif dengan pemodal bukan gejala baru. Laksana wabah, ia
meluas dan berjangkit hampir di seluruh wilayah dengan modus serupa:
melanggar ketentuan dan terhindar dari sanksi hukum.
Sekadar ilustrasi,
sejak tahun 1980-an setiap pengembang anggota Realestat Indonesia (REI) wajib
memenuhi syarat pembangunan permukiman dengan komposisi 1:3:6 untuk rumah
strata atas, menengah, sederhana. Tujuannya adalah untuk mencegah eksklusivisme,
kecemburuan sosial, dan menerapkan subsidi silang. Pada praktiknya,
pengabaian atas ketentuan itu terus berlangsung hingga sekarang.
Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur sanksi bagi para pembuat
kebijakan yang melanggar atau mengubah zonasi tata ruang wilayah dan
nasional. Realitasnya, sampai hari ini, tidak ada satu pun kepala daerah atau
pejabat yang diajukan dan dituntut karena mengubah peruntukan lahan atau
kawasan sesuai peta tata guna dan pemanfaatan ruang.
Negara vs pemodal
Dalam relasi negara
dan modal, kita mendapati jejak panjang sejarah berupa fakta semakin
mundurnya tapal batas kedaulatan hak-hak rakyat. Konflik agraria, eksploitasi
sumber daya alam, dan perwujudan tata ruang selalu meminggirkan golongan
lemah dan membuatnya paria. Keluhan liris Onta, warga Pasar Ikan,
Penjaringan, Jakarta Utara, mewakili gambaran ketidakberdayaan total kaum
papa. "Kami tidak menolak pindah,
tetapi kok kami kayak bukan warga negara, ya? Orang mau digusur, kok kayak
begini caranya." (Kompas, 31/3/2016).
Nasib lebih tragis
melanda Orang Rimba alias suku Anak Dalam di Jambi yang terusir dari
habitatnya sejak berabad-abad lalu akibat ekspansi sejumlah korporasi
perkebunan sawit domestik dan asing. Kendati beberapa kali berjalan kaki dari
Jambi ke Jakarta untuk menuntut keadilan, tak ada respons tuntas dari
pemegang kekuasaan. Meski rezim telah berganti beberapa kali, perlakuan dan
empati terhadap mereka belum berubah.
Ketika negara lebih
memihak kepentingan para pemilik kapital untuk mempertahankan stabilitas
pertumbuhan ekonomi, berlakulah tesis Nicos Poulantzas (1969): "The relation between the bourgeois
and the state is an objective relation. This means that if the function of
the state in a determinate social formation and the interest of the dominant
class in this formation coincide, it is by reason of the system itself: the
direct participation of members of the ruling class in the state apparatus is
not the cause but the effect."
Singkatnya, moralitas
kita dalam berbangsa dan bernegara sedang sakit. Para pengemplang Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia berjaya lagi hanya dalam satu dekade dengan
menyisakan masalah dan beban yang harus ditanggung negara sampai sekarang.
Absennya koreksi memadai ini menunjukkan rapuhnya instrumen hukum dan tergadainya
prinsip keadilan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Bergulirnya Rancangan
Undang-Undang Pengampunan Pajak dapat dimaknai sebagai bentuk kompromi negara
dan pemilik kapital untuk kesekian kalinya. Alih-alih mengambil langkah fundamental
dengan menata kembali, memperkuat struktur dan pendalaman basis produksi yang
melibatkan dan memberdayakan seluruh potensi nasional, pemerintah lebih
memprioritaskan jalan mudah menyelamatkan anggaran dan meningkatkan kegiatan
ekonomi melalui penarikan modal dari luar negeri. Dengan kata lain, tidak ada
pembelajaran sejarah berkaitan dengan perilaku modal dan pemilik modal.
Dalam hubungan ini,
patut direnungkan pula tragedi terusirnya puluhan ribu pedagang kecil di
puluhan stasiun kereta sepanjang Bogor-Jakarta, juga sepanjang
Jakarta-Banyuwangi atas nama kenyamanan, kecepatan, kebersihan, dan
keindahan. Wajah stasiun kini gemerlap dengan kehadiran aneka waralaba
bermodal raksasa, berjaringan nasional dan multinasional. Pembangunan dengan
mengorbankan dan tidak peduli nasib golongan lemah bukan saja mengingkari
falsafah bangsa, melainkan juga menunjukkan watak kekuasaan yang lebih
mengutamakan kepentingan kapital.
Profesor Soetandyo
Wignyosubroto, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Airlangga dan
Universitas Diponegoro, tahun 1998 telah mengingatkan, "Hukum adalah
ekspresi peradaban. Kalau makin beradab, maka cara dan perlakuan hukum juga
makin beradab. Hukum yang tampak kasar dan brutal adalah wujud dari peradaban
yang masih barbar."
Peran vital negara
Pemerintahan yang baik
sudah selayaknya memastikan terbangunnya fondasi kokoh untuk menjamin sistem
redistribusi kekayaan secara merata dan berkelanjutan agar semua anak bangsa
memiliki optimisme tinggi untuk maju bersama di atas landasan persamaan dan
persatuan. Fondasi itu mensyaratkan pendidikan berkualitas tinggi, kebijakan
politik dengan prioritas pemihakan terstruktur, regulasi dan kesamaan akses
dalam meraih peluang di semua lini kehidupan.
Neraca sosial-ekonomi
kita terus-menerus defisit akibat lemah meletakkan struktur pembangunan sarat
keadilan dan pemerataan. Godaan untuk tumbuh cepat, menyebar, dan fenomenal
sering kali meremehkan tatanan rapuh yang kelak terbangun. Pembangunan
infrastruktur, misalnya, seharusnya cermat menghitung pihak mana yang paling
banyak mengambil manfaat, bukan sekadar dorongan kebijakan pragmatis untuk
mendorong kelancaran moda transportasi dan efek berganda berskala terbatas.
Kebajikan sebuah rezim
juga ditentukan dari ketegasannya untuk tidak lagi menolerir praktik-praktik
curang dan korup yang seolah-olah legal atau kemudian dilegalkan. Adanya
4.000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang tidak membayar pajak selama
puluhan tahun dan telah diketahui sejak lama cukup membuktikan negara lemah
di hadapan pemodal.
Di kalangan aktivis
pergerakan mahasiswa 1980-an, disertasi Richard Robison, Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Bureaucratic State
(1978), menjadi salah satu bacaan wajib untuk mengkritisi fenomena korupsi
terstruktur rezim Orde Baru. Sekarang kita mendapati kondisi korupsi dengan
struktur lebih kompleks, akan tetapi dengan petunjuk lebih jelas, yakni
bekerja dan berkuasanya modal.
Legalitas, kapasitas
dan kewenangan KPK terbatas dan mustahil dapat menyelesaikan keruwetan
struktur korupsi ini. Satu-satunya jalan adalah membuat payung hukum lebih
sangkil dan mangkus agar KPK memiliki keandalan dan keleluasaan mendobrak
kejahatan kemanusiaan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar