Nuklir Takut Radiasi, Panas Bumi Takut Spa
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO JAWA POS
|
JAWA POS, 11 April
2016
Hati-hati. Banyak babi
melintas di sini. Itulah papan peringatan baru di kawasan timur Provinsi
Fukushima. Utamanya di dekat Minamisoma. Kota kecil yang paling menderita
akibat tsunami besar lima tahun lalu.
Ditambah bencana
susulan dua hari kemudian: bocornya radiasi nuklir. Dari pembangkit listrik
tenaga nuklir (PLTN) di situ.
Saya berkunjung ke
lokasi itu minggu lalu. Dalam perjalanan menuju Amerika Serikat. Dari Tokyo
saya naik kereta Shinkansen dulu, 1,5 jam. Ke kota Fukushima. Lalu naik
mobil. Dua jam. Ke arah pantai timurnya.
Babi kini memang
berkembang liar di kawasan yang banyak hutannya itu. Juga kera. Berlompatan
di pinggir jalan.
Manusia memang
meninggalkan kawasan ini. Puluhan ribu orang meninggal karena tsunami.
Lebih banyak lagi
mengungsi takut radiasi. Terutama mereka yang berada di dalam radius 20 km
dari PLTN.
Sejak itu babi yang
semula menjadi ternak mencari hidup sendiri-sendiri. Masuk hutan. Jadi babi
hutan. Tidak ada lagi yang memelihara. Juga tidak ada lagi yang memotongnya.
Meski kawasan ini
sudah tidak berpenghuni, saya melihat banyak kendaraan berlalu-lalang di
sini.
Termasuk di jalan yang
hanya sekitar 2 km dari PLTN. Itulah kendaraan petugas pembersih radiasi
nuklir. Jumlahnya 4.000 orang. Cukup terlihat ramai.
Mengelilingi kawasan
ini, saya melihat banyak alat berat di ladang-ladang yang tidak ada
tanamannya lagi. Tanah permukaan ladang itu dikupas. Dimasukkan karung.
Ditumpuk.
Diselimuti plastik.
Satu tumpukan tingginya sekitar 3 meter. Lebar 8 meter. Panjang 24 meter. Ada
yang lebih kecil dari itu. Atau lebih besar. Tergantung luas tanah yang
dikupas.
Kawasan ini berbentuk
bukit-bukit besar. Juga bukit-bukit kecil. Dengan hutan yang terawat. Di
sela-sela bukit itulah terhampar ngarai-ngarai. Untuk perladangan. Dan
perkampungan.
Kawasan ini memang
salah satu penghasil hortikultura utama di Jepang. Lautnya juga menghasilkan
ikan salmon. Ada sungai besar di sini. Di musim tertentu salmon sedunia
pulang. Ke muara sungai ini.
Apa nama sungai itu?
Ny Zhizue Abe, penduduk asli di situ, tidak segera menjawab. Lama sekali dia
mengingat-ingat.
”Namanya...ya...sungai
salmon,” katanya tertawa.
”Penduduk di sini
menyebutnya begitu,” tambahnya. ”Sejak nenek moyang kami.”
Ny Abe, ibu muda itu,
adalah aktivis yang mengurus pengungsian penduduk sekitarnya. Juga seorang
pengusaha gigih.
Menurut Abe, masih
belum ada yang berani menangkap salmon itu lagi. Takut tidak laku dijual.
Tidak berani memakannya.
Belum ada juga yang
berani cocok tanam. Kecuali satu dua petani. Petani tua. Yang nekat. Mereka
merasa itulah pekerjaannya turun-temurun.
Meski sudah lima tahun
tidak berpenghuni, kampung-kampung itu tidak terasa berantakan. Rumah-rumah
masih terlihat bagus. Mungkin karena kualitasnya bagus. Khas rumah Jepang.
Saya minta berhenti di
beberapa tempat. Ingin melihat kegiatan pembersihan radiasi itu. Saya juga
turun dari mobil. Di titik terdekat dari PLTN.
Agak lama saya menatap
pembangkit itu. Sambil berkhayal: seandainya genset cadangan dulu ditempatkan
di atas bukit...
Sebenarnya sepanjang
pantai timur Fukushima ini kondisinya juga berbukit. Ada lembah di setiap
sela bukit-bukit itu.
Kampung-kampung yang
disapu tsunami adalah kampung-kampung yang berada di ngarai di sela-sela
bukit.
Sapuan tsunami kian
dahsyat karena gelombang yang terhalang gunung menambah gelontoran ke
ngarainya.
PLTN itu dibangun di
bagian salah satu ngarainya. Bukan di bukitnya. Satu ngarai untuk PLTN ini
tidak ada kampungnya. Hanya khusus untuk PLTN.
Kampung terdekat
adalah 2 km dari situ. Dipisahkan oleh bukit-bukitnya.
Tsunami sebenarnya
terbukti tidak mampu merusak reaktor nuklirnya. Yang dibangun dengan kekuatan
khusus.
Bahkan, PLTN yang
dibangun belakangan tahan terhadap bom. Seandainya pesawat sebesar Boeing 747
menabraknya sekalipun tidak akan rusak.
Yang terjadi di
Fukushima adalah ini: jaringan listrik ”PLN” yang menuju ke situ terputus
diterjang tsunami.
Akibatnya: sistem
pendingin reaktornya tidak bekerja. Memanas. Terus memanas. Hari kedua tidak
terkendali. Reaktor meleleh. Radiasi pun bocor ke luar.
Apakah tidak ada
genset cadangan? Ada. Genset cadangan inilah yang terkena tsunami.
Seandainya genset
cadangan itu diletakkan di bagian bukitnya, dan kabel menuju reaktor ditanam
dalam, mungkin bisa lain ceritanya. Wallahu a’lam.
Memang tidak ada angka
yang menyebutkan korban meninggal karena radiasi. Semua korban, 18.000 orang,
meninggal karena tsunami. Bukan karena nuklir.
Ditambah akibat
kepanikan dua hari setelah tsunami. Yakni ketika berita ini tersiar: reaktor
nuklir meleleh.
Mereka lari.
Mengungsi. Dan diungsikan. Pengungsi tsunami diungsikan lagi. Panik.
Mencekam. Menakutkan. Sejak itu 54 PLTN di seluruh Jepang dihentikan.
Krisis listrik di
mana-mana. Sekitar 15 persen kebutuhan listrik Jepang berasal dari nuklir.
Trauma itu berangsur
menurun. Dimakan waktu. Penduduk mulai kembali ke kampungnya. Tapi, yang
berada di jarak 20 km dari PLTN masih belum diizinkan pulang. Kecuali yang
nekat. Seperti petani tua tadi.
Di luar itu kehidupan
mulai normal. Bahkan, ekonomi menggeliat lebih ramai. Banyak proyek.
Ny Abe membuka kembali
bisnis pemakamannya. Bahkan membuka usaha baru: kontraktor, restoran, hotel,
fasilitas kesehatan, termasuk bisnis oksigen.
Semua daerah pantai
yang landai ditanggul. Sibuk sekali. Proyek tanggul sepanjang ratusan
kilometer.
Kini satu per satu
PLTN mengajukan izin operasi lagi. Sudah 25 yang mengajukan. Termasuk PLTN
Genka. Yang dibangun mepet dengan kota. Bahkan, di belakang tembok kompleks
Genka pun sudah penuh dengan penduduk.
Saya pernah masuk ke
PLTN ini tujuh tahun yang lalu. Dan melihat penduduk sekitarnya masih damai
saat itu.
Mereka yang mengajukan
izin itu adalah yang merasa sudah melakukan pengecekan keamanan. Yang sangat
rumit. Dan teliti.
Tapi, sampai hari ini
baru dua yang diizinkan. Yang di Provinsi Kagoshima. Wilayah selatan. Masih
satu provinsi dengan Genka, tapi di sisi pantai yang berbeda.
Penentangan tenaga
nuklir masih sangat kuat. Yang di Kagoshima itu pun masih didemo. Di depan
pintu gerbangnya. Tiap hari. Sesekali demo itu diikuti artis. Atau mantan
perdana menteri.
Kelihatannya masa
depan PLTN sangat suram. Terutama yang menggunakan bahan bakar uranium. Yang
kalau tidak dijaga kedinginannya memanas tidak terkendali.
Tapi, penggunaan
nuklir sulit juga dihindari.
Itulah sebabnya, kini
bahan bakar torium bakal naik panggung. Menggantikan uranium. Torium tidak
seperti uranium. Tidak akan memanas bila tidak ada pendinginnya. Kita punya
sumber torium di dalam negeri.
Jepang sendiri saat
itu belum melirik torium. Jepang zaman itu memang kepepet. Haus listrik.
Dahaga energi. Untuk ekonomi.
Itulah tahun-tahun di
mana ekonomi Jepang sedang tumbuh gila-gilaan. Di atas 10 persen setiap
tahun. Selama hampir 15 tahun. Antara 1955-1973. Mirip dengan Tiongkok antara
1995-2012.
Saat itulah Jepang
memasuki era nuklir. Dengan bahan bakar uranium. Kini, setelah ekonomi Jepang
maju dan rakyatnya modern, mereka menolak nuklir. Kebetulan ekonominya juga
tidak terlalu tumbuh lagi. Sudah digeser Tiongkok.
Jepang sebenarnya
punya banyak sumber energi panas bumi. Tapi sulit dapat izin. Dari penduduk
setempat. Mereka menentang panas bumi jadi listrik. Terutama mereka yang
punya usaha vila dan spa. Atau usaha pemandian air hangat di gunung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar