Dilema Belanja Langsing dan Defisit Tambun
Haryo Kuncoro ;
Dosen Keuangan Negara FE
Universitas Negeri Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi lulusan
PPs-UGM Jogjakarta
|
JAWA POS, 12 April
2016
PEMERINTAH baru saja merampungkan rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBN-P) 2016. Kecuali
pertumbuhan ekonomi dan suku bunga SPN (surat perbendaharaan negara) yang
tetap, asumsi makroekonomi lain mengalami perubahan yang signifikan.
Di satu sisi, tampak ada sinyal optimisme yang
dikirim pemerintah melalui RAPBN-P ini. Asumsi kurs, misalnya, yang semula
ditetapkan Rp 13.900 menjadi Rp 13.400 per dolar AS. Demikian pula target
inflasi yang semula 4,7 persen di¬turunkan menjadi 4 persen.
Di sisi lain, pemerintah cukup realistis
menyikapi berbagai perkembangan ekonomi yang terjadi selama beberapa bulan
terakhir. Asumsi harga minyak Indonesia dipatok dari USD 50 menjadi USD 30.
Dampak langsung atas perubahan asumsi di atas
adalah turunnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam. PPh migas diperkirakan hanya
Rp 24,4 triliun, turun Rp 17 triliun dari target di dalam APBN 2016.
Penurunan PNBP dari sektor migas sekitar Rp
50,6 triliun, dari ancangan sebelumnya Rp 78,6 triliun. Sedangkan PNBP sektor
nonmigas, khususnya tambang, menurun hampir Rp 25 triliun dari target
mula-mula Rp 46,3 triliun.
Pada sisi belanja, penurunan paling besar
terjadi di pos kementerian/lembaga (K/L). Belanja K/L dipangkas Rp 45,5
triliun. Sebaliknya, belanja non-K/L naik Rp 9,6 triliun dan belanja untuk
keperluan mendesak menjadi Rp 5,2 triliun.
Pemotongan belanja itu sejatinya sangat
berisiko, yaitu berkurangnya daya stimulus APBN. Dalam situasi yang dipenuhi
dengan turbulensi ekonomi global dan perlambatan ekonomi domestik, belanja
APBN tetap diharapkan menjadi penggerak utama dinamika perekonomian nasional.
Dalam tataran teori, belanja pemerintah
memiliki multiplier effect yang akan menciptakan dorongan bagi aktivitas
ekonomi. Besaran angka pengganda belanja rutin umumnya lebih kecil daripada
belanja modal. Sayangnya, belanja infra¬struktur malahan ikut terpotong
sejumlah Rp 8 triliun.
Secara psikologis, anggaran pos belanja lebih
banyak disorot publik relatif dibandingkan dengan sisi penerimaan. Pemotongan
atas belanja publik, terutama yang berkenaan langsung dengan kehidupan
sehari-hari (seperti subsidi), niscaya melunturkan ekspektasi rakyat atas
perbaikan ekonomi mereka di masa depan.
Dari sudut pandang politik, pemotongan belanja
bukan cuma soal angka. Masalah tersebut membawa akibat yang jauh lebih
serius, yaitu kredibilitas kebijakan fiskal. Kredibilitas kebijakan banyak
disebut sebagai salah satu aspek yang paling fundamental dalam keberhasilan
implementasi kebijakan ekonomi makro.
Alhasil, total pemangkasan belanja yang
besarnya Rp 50,6 triliun masih saja belum mampu menekan pelebaran defisit
dari 2,1 persen menjadi 2,5 persen dari PDB. Dengan demikian, akan ada
kebutuhan utang sejumlah Rp 40 triliun, dan Rp 21 triliun di antaranya
sebagai penarikan utang baru.
Menutup defisit dengan memilih mengedarkan
surat utang negara (SUN) dan surat berharga negara (SBN) semacam obligasi di
dalam negeri potensial meningkatkan tensi perebutan likuiditas nasional
antara sektor publik dan sektor privat sehingga menghambat realisasi target
suku bunga single digit sampai akhir tahun ini.
Menerbitkan SUN dan SBN ke luar negeri
memberikan risiko tambahan. Sensitivitas terhadap imbal hasil (return) aset
finansial lain di luar negeri cukup kuat untuk mendorong kembali kaburnya
dana asing ke luar negeri.
Selain itu, menerbitkan SUN dan SBN ke luar
negeri sudah tentu mengakumulasi stok utang negara. Berdasar data Kementerian
Keuangan, utang negara per Desember 2015 mencapai Rp 3.098 triliun, terdiri
atas Rp 752 triliun utang luar negeri dan Rp 2.347 triliun utang dalam
negeri. Angka itu melesat 18,4 persen hanya dalam tempo satu tahun.
Imbasnya, rasio utang pemerintah atas PDB
selalu meningkat. Pada 2014, misalnya, rasio utang publik mencapai 24,7
persen, dan merangkak ke level 27 persen pada 2015. Rasio utang tersebut
merupakan yang tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Bagi pemerintah, kenyataan di atas memunculkan
dilema. Di satu sisi, tingginya suku bunga mendorong pemilik dana bersedia
memegang SUN dan SBN yang selanjutnya melancarkan operasi APBN. Di sisi lain,
tingginya suku bunga SUN dan SBN berakibat pada beban pembayaran saat jatuh
tempo nanti.
Pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri
memang sudah dianggarkan dalam komponen belanja pemerintah. Total peneri¬maan
dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang didapatkan keseimbangan
primer. Keseimbangan primer menunjukkan posisi kebijakan fiskal suatu negara.
Oleh karena itu, demi mengamankan APBN 2016,
keseimbangan primer ini wajib positif. Keseimbangan primer bisa surplus
asalkan defisit hanya 1,1 persen dari PDB. Dengan demikian, pelebaran defisit
hingga 2,5 persen dikhawatirkan 1,4 persen sisanya dialokasikan untuk
membayar bunga utang.
Kecenderungan semacam ini patut diwaspadai.
Keseimbangan primer yang negatif sejak 2012 mendorong hasrat berutang menjadi
semakin besar. Alhasil, dengan risiko default yang tinggi dan gradasi rasio
utang yang semakin tinggi, bukan mustahil Indonesia akan terjebak ke dalam
jebakan utang (debt trap).
Berkaca dari kinerja APBN-P 2015 dan
pengalaman sejauh ini, konsistensi dalam menjalankan disiplin kebijakan
fiskal mutlak harus dikedepankan. Utang hanya semata-mata digunakan untuk
membiayai kekurangan belanja infrastruktur.
Pemerintah perlu juga memastikan bahwa belanja
infrastruktur yang dibiayai dari SUN dan SBN harus mampu menstimulasi
perekonomian domestik. Outcome dari stimulasi ini adalah peningkatan
kapasitas ekonomi yang akan mengkreasi penerimaan negara guna mengamankan
neraca keseimbangan primer APBN 2016.
Alhasil, postur belanja langsing atau profil
defisit tambun sama-sama tidak enak. Harus diakui, perekonomian Indonesia
saat ini memang tidak sedang dalam kemewahan yang bergelimang dengan banyak
pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar