Logika Terbalik Hadapi Panama Papers
Soetanto Soepiadhy ;
Dosen Pascasarjana Untag
Surabaya
|
JAWA POS, 11 April
2016
PADA 4 April 2016, Direktur ICIJ (International Consortium of Investigative
Journalists) Gerard Ryle mengatakan, dokumen Panama Papers yang terkuak
menjadi bukti adanya bisnis kotor Mossack Fonseca selama sekitar 40 tahun
terakhir. Menurut Gerard Ryle, ini menjadi pukulan telak bagi para pemimpin
dunia yang menggunakan jasa firma hukum tersebut. Kini, mereka harus menjelaskan
persekongkolan tersebut (jpnn.com, 5/4).
Dunia harus tahu! Telah terjadi dugaaan
persekongkolan bisnis kotor selama puluhan tahun untuk menghindari pajak dan
mencuci uang. Tokoh-tokoh politik dan pebisnis dunia menjadi kliennya,
termasuk 2.961 pebisnis Indonesia.
Sejumlah 2.961 nama individu dan perusahaan
dari Indonesia diduga menyembunyikan uang mereka dari endusan petugas pajak
kita. Mereka semua terhubung dengan 43 perusahaan perekayasa bebas pajak (offshore).
Lalu, apa pengaruhnya bagi Indonesia? Pengaruhnya
amat positif. Terutama, telah menyadarkan kita semua bahwa telah terjadi
penggelapan pajak. Dan, itu tak bisa dianggap sepele karena menyangkut
dokumen rahasia, termasuk catatan keuangan, pajak, pencucian uang, dan
korupsi mereka.
Siapa pun mereka kini punya kewajiban
memberikan penjelasan setransparan mungkin ke publik Indonesia tentang dugaan
persekongkolan pajak yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan.
Pemerintah perlu segera menindaklanjuti kasus
skandal keuangan tersebut. Sekaligus menyambut baik serta menyampaikan ucapan
terima kasih atas aksi penyebarluasan dokumen rahasia Mossack Fonseca oleh
para jurnalis.
Dokumen itu adalah sebuah data dan petunjuk
bagus. Pendapatan negara kita dari sektor pajak jelas akan bertambah
signifikan kalau kita cerdas meresponsnya. Negara perlu membuka siapa yang
memiliki apa dan ke mana uang itu mengalir. Selanjutnya, dugaan akal-akalan
pajak itu harus bisa diakhiri.
Sayangnya, heboh Panama Papers berbalik
mengejutkan ketika DPR cuma menanggapi praktik akal-akalan pajak itu dengan
pernyataan: ''Tidak ada pelanggaran hukum di sana dan itu sebuah kewajaran
bagi usaha bisnis.''
Begitulah, logika kita menjadi terbalik-balik
dengan pernyataan DPR seperti itu. Padahal, firma hukum yang berbasis di
Panama tersebut jelas disebut sebagai fasilitator pencucian uang bagi para
pengemplang pajak global. Juga disebutkan Mossack Fonseca tak segan-segan
membantu kliennya melakukan penipuan berkedok investasi dengan skema Ponzi.
Betapa logika kita terusik ketika DPR malah
menunda dulu pembahasan rancangan Undang-Undang Tax Amnesty (UUTA) yang
semestinya segera dipercepat (Jawa Pos,
7/4).
Harus dipahami, kondisinya kini darurat.
Sebab, diduga kuat telah terjadi penggelapan pajak dalam jumlah besar yang
semestinya masuk ke kas negara.
Logika kita lebih terusik lagi ketika pihak
Istana, diwakili Sekretaris Kabinet Pramono Anung, malah menyatakan data yang
dimiliki pemerintah lebih lengkap ketimbang Panama Papers.
Pertanyaannya, kalau benar telah memiliki data
yang lebih lengkap, mengapa pemerintah tidak segera melakukan tindakan berani
dan tegas terhadap mereka yang terindikasi melakukan penggelapan pajak itu
sejak dini? Mengapa harus melakukan pembiaran? Mengapa tindakan hukum tidak
benar-benar ditegakkan?
Pernyataan Pramono yang bernuansa meremehkan
itu diperkuat pula oleh Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Dia
menyatakan, pihaknya lebih memilih data resmi dari G20 yang lebih akurat
ketimbang Panama Papers. Bahkan, dinyatakan dokumen Panama Papers hanya layak
jadi referensi dalam menelusuri aset dan kepatuhan wajib pajak di luar negeri
(cnnindonesia.com, 5/4).
Pengungkit
Percepatan pembahasan segera rancangan UUTA
haruslah dipahami sebagai langkah amat penting seiring munculnya dokumen
Panama itu. Artinya, penting untuk dipercepat menjadi UUTA.
Dan, penting pula dibuat secara terperinci,
cermat, dan responsif terkait penetapan bunga yang harus kompetitif. Juga
penting lagi bagaimana caranya kita bisa menarik kembali ke Indonesia dana
yang diparkir di Panama Papers itu bagi kepentingan membangun ekonomi
Indonesia.
Respons positif terhadap dokumen Panama Papers
yang telah menyadarkan kita terjadinya dugaan penggelapan pajak sangat besar
harus dilakukan pemerintah. Sebab, dokumen itu jelas menyiratkan modus
pengemplangan pajak dan pencucian uang.
Jadi, tak perlu memakai logika terbalik dengan
mengintroduksi kesan-kesan meremehkan atas terungkapnya skandal keuangan
global tersebut. Justru itu menunjukkan kelemahan pemerintah.
Hadirkan saja segera UUTA yang didesain mampu
memberikan ''kenyamanan'' bagi para pebisnis kita agar mau memarkir dananya
di Indonesia. Dengan demikian, hadirnya UUTA bisa menjadi pengungkit nyata
perekonomian kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar