Mendudukkan Program JHT
Taufik Hidayat ;
Anggota DJSN; Dosen MM UI
|
KOMPAS, 13 April
2016
Sesuai dengan
filosofis, best practices dan
perundangan yang berlaku sebagaimana dituangkan dalam Pasal 35 UU No 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, penyelenggaraan program Jaminan
Hari Tua dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar pekerja yang menjadi
peserta program tersebut bisa menerima manfaat berupa uang tunai yang
dibayarkan sekaligus (lump-sum)
pada saat mereka memasuki masa pensiun, meninggal, atau mengalami cacat total
tetap.
Dengan ketentuan itu,
program Jaminan Hari Tua (JHT) bertujuan untuk memberikan jaminan kepada para
pekerja agar mendapatkan penghasilan kembali (income replacement) yang dapat digunakan pada saat memasuki
periode yang secara definitif sudah tidak produktif lagi. Keberadaan dana
program JHT bersama- sama dengan program Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) lainnya juga mempunyai kedudukan dan peran yang sangat strategis dalam
perekonomian Indonesia, khususnya sebagai sumber pendanaan nasional (national source of funds).
Sejak diberlakukannya
Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2015 yang ditindaklanjuti dengan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 19 Tahun 2015, peserta yang berhenti
bekerja karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mengajukan klaim
untuk mendapatkan seluruh hasil akumulasi iuran beserta pengembangannya.
Dengan adanya kebijakan
ini, telah terjadi penarikan dana program JHT lebih awal (early withdrawal)
secara besar-besaran akibat dari adanya PHK dalam jumlah yang cukup besar.
Bahkan, penarikan dana JHT ditengarai juga telah dilakukan para pekerja yang
sebetulnya tidak mengalami PHK.
Terhadap kebijakan
ini, tentunya perlu segera dilakukan evaluasi secara lebih mendalam agar
dapat didudukkan kembali posisinya sesuai dengan filosofi, best practices dan perundangan yang
berlaku. Dengan demikian, kelangsungan (sustainability)
dari program JHT dapat tetap terjaga dengan baik.
Manfaat JHT vs tunjangan PHK
Pada dasarnya, status
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami seorang pekerja sama sekali tidak
ada kaitannya dengan pengambilan manfaat program JHT.
Dari awal
pembentukannya, mulai sejak berbentuk program Tabungan Hari Tua (THT) yang
merupakan bagian dari program asuransi tenaga kerja (Astek) sejak tahun 1977,
ataupun pada saat beralih menjadi program JHT yang masih bagian dari program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sejak tahun 1992, sampai kepada
program JHT dalam bentuk saat ini memang didesain sebagai suatu program
kesejahteraan pekerja sebagaimana program pensiun, tetapi skema manfaatnya
diberikan secara lump-sum.
Pada sisi lain,
pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja sudah mempunyai jaminan untuk
mendapatkan pesangon. Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada
Pasal 156 dan 157 telah diatur dengan sangat jelas hak-hak dan besarnya
pesangon yang bisa diterima para pekerja yang mengalami PHK. Besarnya hak
yang harus dibayarkan pengusaha berkisar satu bulan upah sampai dengan 10
bulan upah, sesuai masa kerjanya.
Fenomena yang terjadi
sejak merebaknya gelombang PHK pada semester kedua tahun 2015 telah
menimbulkan lonjakan pengajuan klaim program JHT dalam jumlah yang sangat
besar. Dalam periode semester pertama yang masih mendasarkan pada PP No 14
Tahun 1993 di mana pengajuan sebagian klaim manfaat sebelum jatuh tempo bisa
dilakukan setelah memenuhi masa kepesertaan minimal lima tahun, jumlah kasus
pengajuan klaim dalam periode tersebut adalah 494.886 kasus dengan nilai
klaim Rp 6,42 triliun.
Selanjutnya, dalam
periode Juli-Agustus 2015, dengan sudah dilakukan pemberlakuan PP No 46 Tahun
2015 dan pengajuan sebagian klaim manfaat sebelum jatuh tempo bisa dilakukan
setelah memenuhi masa kepesertaan minimal 10 tahun, maka jumlah klaim program
JHT yang diajukan para pekerja adalah sebanyak 198.532 kasus dengan nilai
klaim sebesar Rp 1,90 triliun.
Puncak pengajuan klaim
JHT terjadi pada periode pemberlakuan PP No 60 Tahun 2015 selama periode
September-Desember 2015 telah terjadi pengajuan klaim sebanyak 991.992 kasus
dengan besaran klaim Rp 6,12 triliun. Dengan telah meredanya gelombang PHK,
seharusnya pengajuan klaim JHT ikut mereda. Namun, sampai saat ini masih
banyak sekali peserta JHT yang mengajukan klaim sehingga terjadi antrean yang
sangat panjang.
Di negara-negara lain
seperti halnya di Jepang ataupun Jerman, pekerja yang mengalami PHK sama
sekali tidak keluar dari sistem jaminan sosialnya, tetapi hanya melakukan
cuti dalam memenuhi kewajibannya membayar iuran. Dengan demikian, hasil
akumulasi iurannya masih berada dalam sistem jaminan sosial negara-negara
tersebut sehingga masih bisa terus dikembangkan secara lebih optimal.
Pada sisi lain, negara
berperan untuk menyediakan berbagai fasilitas pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan keterampilan para pekerja yang mengalami PHK tersebut dan
selanjutnya mempertemukan lagi dengan perusahaan-perusahaan yang memerlukan
tenaga dan keahlian mereka. Dengan demikian, para pekerja tersebut dapat
meneruskan kembali kepesertaannya dalam program jaminan sosialnya.
Sumber pendanaan nasional
Dana yang terakumulasi
dari program JHT pada umumnya baru akan digunakan untuk memenuhi kewajibannya
kepada peserta dalam jangka panjang (longterm liabilities) sehingga dana
tersebut juga mempunyai horizon investasi yang panjang. Kondisi ini
seharusnya dapat dilihat oleh negara (baca: pemerintah) sebagai sumber
pendanaan nasional yang sangat potensial dan strategis.
Melalui penempatan
dana investasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), obligasi, saham,
investasi langsung, deposito, dan berbagai instrumen investasi lain, dana
program JHT dapat mempunyai peran dan kontribusi yang sangat besar dalam
pembangunan sarana dan prasarana ataupun baik dalam pengembangan badan-badan
usaha milik negara maupun swasta serta pengembangan sektor riil.
Dengan kondisi yang
ada saat ini, dana program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa
tumbuh secara signifikan dan bahkan justru dikhawatirkan akan mengalami
penurunan.
Lain halnya dengan
program sejenis yang ada di Malaysia dan dikelola Kumpulan Wang Simpanan
Pekerja (KWSP) atau Employee Provident Fund (EPF) dan yang ada di Singapura
dan dikelola oleh Central Provident
Fund (CPF), dananya sudah terkumpul dalam jumlah yang sangat besar.
Berdasarkan publikasi yang dilakukan Towers
Watson and Pensions & Investments (2015), kedua lembaga penyelenggara
jaminan sosial tersebut masing-masing menempati peringkat 13 dan 10 dari
seluruh lembaga sejenis di seluruh dunia.
Total aset yang
dikelola kedua lembaga tersebut masing-masing sebesar 184,7 miliar dollar AS
atau ekuivalen dengan nilai Rp 2.427,5 triliun (nilai tukar 1 dollar AS sama
dengan Rp 13.143) dan sebesar 207,8 miliar dollar AS atau ekuivalen dengan
sebesar Rp 2.731,1 triliun. Sementara itu, dana kelolaan program SJSN yang
dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan saat ini masih dalam kisaran Rp 200
triliun.
Atas dasar
permasalahan tersebut dan adanya urgensi untuk mempertahankan kelangsungan
(sustainability) program JHT, perlu dilakukan evaluasi secara lebih
komprehensif terhadap pemberlakuan PP No 60 Tahun 2015 dan Permenaker No 19
Tahun 2015 yang mengatur tentang early withdrawal manfaat JHT. Dengan
demikian, pemanfaatan dana program JHT dapat dikembalikan kedudukannya
sebagai jaminan penghasilan bagi para pekerja pada saat benar-benar sudah
tidak produktif lagi secara permanen (income
replacement).
Selain itu, dengan
tetap mempertahankan dana JHT dalam sistem pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan,
diharapkan dapat berkembang secara lebih optimal dan signifikan serta bisa
dijadikan sebagai sumber pendanaan nasional (national source of funds) sebagaimana yang dilakukan oleh EPF
Malaysia ataupun CPF Singapura. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar