Menakar Kinerja Polisi dari Penjara
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik The University of Melbourne
|
MEDIA INDONESIA,
15 April 2016
FENOMENA lembaga
pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (rutan) yang mengalami kelebihan kapasitas
memang merisaukan. Sekian banyak literatur mencatat LP yang penuh sesak,
ditambah lagi dengan beredarnya narkoba di dalamnya, sebagai penyebab utama
kerusuhan di hotel-hotel prodeo.
Namun, fenomena LP
yang kelebihan kapasitas itu tidak semata-mata bermakna sebagai sesuatu yang
negatif. LP yang kelebihan kapasitas justru mengindikasikan kinerja positif
institusi kepolisian.
Statistik kejahatan
Secara klasik, maju
mundurnya kerja kepolisian diukur berdasarkan statistik kejahatan dari waktu
ke waktu. Tolok ukur itu pula yang dijawab Polri dengan, antara lain,
menyampaikan kepada publik data tahunan tentang kriminalitas di tingkat
daerah dan nasional.
Statistik kriminalitas
tahunan sesungguhnya bukan indikator yang tepat untuk menggambarkan pencapaian
kerja polisi. Kejahatan ialah fenomena kompleks yang disebabkan faktor jamak.
Menjadikan statistik kejahatan sebagai indikator kinerja kepolisian
berpotensi bias sangat tinggi. Pertama, masyarakat bisa beranggapan bahwa
situasi semakin tidak aman. Kedua, seolah menimpakan seluruh tanggung jawab
keamanan hanya kepada kepolisian. Dengan demikian, ketika data kejahatan pada
tahun tertentu lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya, akan mudah bagi
publik untuk serta-merta menyimpulkan institusi kepolisian pada tahun itu
tidak bekerja lebih serius ketimbang pada kurun terdahulu.
Masuknya terdakwa ke
dalam rutan dan beralih statusnya terdakwa menjadi terpidana merupakan hilir
sebuah proses penegakan hukum yang panjang. Proses itu bermula dari kerja kepolisian,
baik berdasarkan laporan masyarakat atas tindak kejahatan yang mereka alami
maupun berdasarkan inisiatif kepolisian tanpa dipantik laporan warga.
Aktivitas investigasi
di lapangan yang berlanjut dengan penuntasan pemberkasan hingga dilimpahkan
ke kejaksaan ialah kerja intens dengan pelibatan sumber daya kepolisian yang
besar. Kerja personel kepolisian, khususnya yang bertugas di bagian reserse
dan kriminal, semakin berat karena ada tiga pihak yang harus terus-menerus
menjadi perhatian.
Ketiga pihak itu
adalah korban kejahatan, masyarakat luas, dan atasan.
Secara normatif,
ketiga pihak itu semestinya mempunyai kepentingan yang sebangun. Namun,
realitas acap kali berbeda, bahkan memunggungi satu sama lain.
Dari situ bisa
dipahami bahwa mana kala hasil pemberkasan kasus oleh kepolisian dinyatakan
lengkap dan siap diajukan ke persidangan, kerja polisi faktualnya sudah
selesai. Pada momen itu, bola kasus sudah berpindah di pihak kejaksaan. Pada
momen itu pula seharusnya kinerja kepolisian ditakar. Pemberkasan kasus yang
telah benar-benar rampung membuktikan kepolisian telah memenuhi ekspektasi
semua pihak bagi dilakukannya penindakan terhadap peristiwa kejahatan.
Bagaimana putusan
akhir atas kasus yang telah ditangani kepolisian sama sekali bukan kewenangan
organisasi Tribrata. Namun, kinerja kepolisian yang sudah bundar sempurna itu
akan kian berpendar-pendar apabila putusan hakim selaras dengan tuntutan
jaksa yang pada dasarnya merupakan 'perpanjangan tangan' kerja kepolisian. Namun,
sekali lagi, argo atas kerja kepolisian sudah harus dimatikan ketika berkas
sudah berada sepenuhnya di institusi kejaksaan.
Atas dasar itu,
fenomena penjara yang kelebihan kapasitas dapat disimpulkan sebagai
perwujudan tidak langsung kinerja kepolisian.
Betapa pun, situasi
kelebihan kapasitas itu pada gilirannya akan memunculkan problem tersendiri
bagi--setidaknya--otoritas pemasyarakatan. Secara konkret, semakin banyak
pelaku kejahatan yang dikirim ke penjara, semakin tinggi pula sesungguhnya
tingkat keberhasilan kepolisian dalam menuntaskan pengungkapan kasus
kriminalitas. Tuntas yang, sebagaimana uraian di atas, mempunyai pengertian
bahwa berkas telah dinyatakan P21 oleh kejaksaan.
Jadi, sebaik apa
kinerja kepolisian saat ini dalam meringkus pelaku aksi-aksi kejahatan? Jika
mengacu ke data mutakhir tentang jumlah tahanan dan napi di Indonesia
(http://Smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly), dapat dikatakan
positif. Meningkatnya jumlah penghuni LP dari waktu ke waktu, bahkan sampai
kelebihan kapasitas, ialah buktinya. Namun, disayangkan bahwa Polri,
khususnya Pusat Informasi Kriminal Nasional (http://Ncic.polri.go.id/) tidak
menyajikan data memadai yang dapat menggenapi indikator kerja kepolisian
berupa jumlah P21 setiap tahunnya. Andai data itu tersedia, akan dapat
dibandingkan rasio antara jumlah P21 dengan jumlah terdakwa. Jumlah terdakwa
bermakna sebagai kongruennya putusan hakim dan kerja polisi (status berkas
P21).
Jangan kriminalisasi
Perspektif sedemikian
rupa bisa saja kemudian mendorong kepolisian untuk menjadikan pemenjaraan
sebagai sasaran kerja yang mereka tuju.
Itu tidak keliru,
apalagi ketika filosofi penghukuman di Indonesia masih condong pada incapacitation.
Incapacitation memandang penghukuman sebagai cara untuk
membangun sekat yang nyata dan tebal antara orang-orang baik dan
individu-individu jahat. Efek jera, rehabilitasi, dan reintegrasi ialah
prinsip penghukuman yang lain yang tidak menjadi penekanan dalam incapacitation. Pokoknya, menurut
filosofi incapacitation, orang baik dan orang jahat tidak boleh hidup
berdampingan dan hak hidup orang jahat harus dirampas. Orang jahat harus
dikucilkan.
Kendati 'semakin
banyak narapidana, berarti semakin sungguh-sungguh kerja polisi' ialah
simpulan yang bisa diterima, parameter itu juga dapat menimbulkan sejumlah
ekses negatif, yaitu pertama, polisi memandang kerja-kerja penindakan lebih
diprioritaskan daripada kerja pencegahan kejahatan. Kedua, semakin tingginya
'ketergantungan' pada kerja penindakan akan menciptakan jarak kemitraan yang
semakin lebar antara polisi dan masyarakat.
Ketika itu yang
terjadi, perpolisian masyarakat sebagai doktrin kepolisian akan ikut
terpinggirkan. Paras polisi yang keras, alih-alih santun, terlihat lebih
menonjol.
Ketiga, polisi sadar
maupun tidak justru terdorong untuk memaksakan diri bahwa setiap kasus
kejahatan harus dapat diungkap dan dalam pengungkapan itu harus ada pelaku
yang ditangkap. Potensi berupa kriminalisasi pun menjadi terbuka.
Apabila kriminalisasi
yang berlangsung, sebanyak apa pun kriminal yang menghuni penjara, jelas
sangkakala kiamat sudah berbunyi sebelum tiba masanya. Allahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar