Menjadi Sandera
Kristin Poerwandari ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas
Sabtu
|
KOMPAS, 16 April
2016
Kelompok Abu Sayyaf di
Filipina menyandera 10 WNI sejak 26 Maret 2016. Beberapa hari lalu
diberitakan tentang kontak senjata antara kelompok ini dan militer negara
setempat yang mengakibatkan banyak korban.
Pada penyanderaan,
hidup manusia menjadi alat tawar-menawar untuk memenuhi tuntutan penyandera.
Situasi terancam dan tidak lagi memiliki kendali atas hidup dapat
menghadirkan rangkaian perasaan negatif seperti ketidakberdayaan, ketakutan
akan kematian, dan perasaan terteror.
Stres pasca trauma
Penelitian menunjukkan
bahwa sekitar sepertiga korban penyanderaan masih menunjukkan tanda-tanda
gangguan pasca trauma bertahun-tahun setelah kejadian (Van der Ploeg dan Kleijn, 1989). Individu mengalami lagi simtom
yang berasosiasi dengan trauma, misalnya merasa seperti berada dalam situasi
yang sama saat kejadian, terus teringat dan mengalami mimpi menakutkan, atau
menunjukkan reaksi fisiologis (misal berdebar-debar, berkeringat dingin,
lemas) pada tanda-tanda yang menyerupai atau mirip kejadian. Individu akan
menghindari situasi-situasi (orang, tempat, aktivitas, percakapan) yang akan
membangkitkan kembali pikiran atau perasaannya.
Karena hal di atas,
tidak jarang individu terus tegang, sulit berkonsentrasi, mudah meledak
marah, dan mungkin mengalami gangguan tidur. Pandangan hidup dan konsep
dirinya juga mungkin berubah, misalnya ia melihat dunia sebagai berbahaya dan
tidak ada lagi orang yang dapat dipercaya.
Giebels, Noelanders,
dan Vervaeke dalam The Hostage
Experience: Implications for Negotiation Strategies (2005) melaporkan
penelitian terhadap sebelas orang yang pernah menjadi korban penyanderaan.
Ada yang disandera oleh pelaku kriminal dan teroris saat pengepungan dan
upaya penyelamatan oleh polisi, waktu yang terlama adalah delapan hari. Ada
pula yang diculik dan disembunyikan di tempat terisolasi, waktu penyanderaan
terlama adalah delapan bulan. Semua korban laki-laki, kecuali seorang perempuan
yang disandera sehari saat pengepungan oleh polisi.
Individu yang terjebak
dalam pengepungan ditemukan berada dalam kondisi psikologis yang lebih baik,
mungkin karena waktu penyanderaan yang umumnya jauh lebih singkat, dan karena
pengepungan oleh aparat keamanan sering diberitakan oleh media. Bahkan, tidak
jarang penyandera ataupun korban dapat berkontak dan diwawancara oleh media.
Ini menyebabkan individu paham bahwa banyak orang mengetahui keberadaannya
dan semua pihak sedang berupaya yang terbaik untuk menyelamatkannya.
Sebaliknya, korban
penculikan dengan permintaan tebusan sering dibawa ke daerah terisolasi,
tidak dapat berkontak dengan dunia luar, sehingga tidak mengetahui apa yang
terjadi di luar, termasuk berbagai upaya otoritas untuk menyelamatkan mereka.
Selain perasaan takut, isolasi dapat menghadirkan perasaan sendiri dan sedih,
perasaan "terputus dari dunia luar". Semua korban penculikan
melaporkan bahwa mereka terus bertanya-tanya apakah keluarganya mengetahui
apa yang terjadi pada mereka dan apakah orang lain berupaya untuk
menyelamatkan mereka.
Bahkan dapat terjadi
krisis identitas. Ada korban yang mengatakan: "Kita perlu
mengingat-ingat terus, siapa diri kita. Karena tidak berinteraksi dengan
siapa pun, kita lupa, sebenarnya kita ini siapa." Jadi, kalau ada foto
diri dengan keluarga atau orang dekat, itu dapat sangat membantu mengingatkan
tentang identitas diri. Ada pula yang bilang, cermin membantunya ingat
sosoknya sendiri, saking ia hampir hilang ingatan tentang dirinya.
Pembelajaran
Pekerja kemanusiaan
atau jurnalis yang bekerja di daerah konflik sering disarankan untuk membawa
foto diri bersama orang-orang dekatnya. Ini agar kalau sampai ada dalam
situasi darurat seperti disandera, mereka tetap dapat meminimalkan terjadinya
krisis identitas. Juga, apabila berkomunikasi dengan pelaku dengan
menunjukkan foto diri dan orang-orang terdekat, mungkin muncul perasaan
positif dan kepedulian dari pelaku. Menulis buku harian juga dapat membantu
sedikit mengatasi tekanan sehingga baik jika sebelum perjalanan membawa alat
tulis.
Dalam negosiasi untuk
menyelamatkan sandera, tim sering mencari bukti bahwa sandera masih hidup.
Dari sisi korban, ini menjadi penting karena korban jadi tahu bahwa dunia
luar sedang berupaya menjangkaunya. Tetapi, perlu juga dipikirkan apakah
pertanyaan yang diajukan itu berdampak positif secara psikologis. Misalnya,
ketika berkomunikasi untuk memastikan apakah tim penyelamat memang sedang
bicara dengan korban, bukan orang lain, tim dapat bertanya tentang hal-hal
pribadi yang seharusnya dapat dijawab korban. Tetapi, bertanya yang terlalu
pribadi juga mungkin dapat menghadirkan perasaan sangat sedih dan tak
berdaya.
Reaksi-reaksi stres
yang akut seperti ketakutan, panik, dan penyangkalan muncul di awal, tetapi
semakin lama, korban akan mencoba beradaptasi dengan situasi. Tujuannya
adalah untuk meminimalkan perasaan tertekan sekaligus untuk mencari cara
memperoleh kembali sedikit pengendalian atas situasi.
Penting untuk kita
catat bahwa kadang bertumbuh ikatan emosi dari korban penyanderaan kepada
pelaku. Subyek penelitian Giebels dkk (2005) menyatakan tidak memiliki
perasaan negatif pada penyandera, kecuali tiga orang yang mengalami
penyiksaan. Sebagian korban merasa dekat dengan pelaku tertentu, yang
dilihatnya "lebih baik" dan dapat melindunginya dari agresi pelaku
yang lain.
Adaptasi yang kurang
sehat dapat muncul, populer disebut Sindrom Stockholm. Istilah ini digunakan
setelah suatu penyanderaan menyusul perampokan bank di Stockholm tahun 1973.
Selama periode tersebut, seorang korban yang jatuh cinta kepada penyanderanya
berusaha menyelamatkan penyandera dan tetap berhubungan cinta setelah
penyandera dilumpuhkan tim penyelamat. Tentang ini, tampaknya perempuan lebih
rentan dan mungkin lain waktu dapat kita diskusikan.
Semoga saudara-saudara
kita yang disandera dapat segera diselamatkan dan bertemu kembali dengan
orang-orang yang disayanginya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar